Kolom Mohamad Cholid
“Aywa lunga yen tan weruha ingkang pinara ing purug, lawan sira aywa nadhah yen tan wyuha rasanipun.” — Sunan Kalijaga. “Jangan pernah melangkah tanpa tahu tujuannya, jangan pernah menyembah jika tak tahu tujuan hakikatnya.”
Itu penggalan indah salah satu kidung Sunan Kalijaga yang dilantunkan oleh Sindhen Lulu, dalam babak kedua Madania in Concert, di Makara Art Centre Universitas Indonesia, Sabtu (29/2) malam pekan silam. Bu Lulu, guru arts Sekolah Madania, melengkapi senandung panjang yang elok dari Audric, siswa kelas 12, dalam mengekspresikan dengan penuh penghayatan kidung menggetarkan tersebut.
Mereka tampil amazing, diiringi gamelan yang juga tersaji dengan rancak. Barangkali Anda bakal lebih takjub jika mengetahui para penabuh gamelan itu ternyata siswa-siswa sebuah sekolah umum berorientasi internasional. Daya pikat sekolah itu, antara lain, karena mereka tetap menyemaikan aneka ekspresi budaya Indonesia. Mengimbangi kegigihan mencapai prestasi akademis berstandar internasional dengan prestasi olah raga dan di bidang olah rasa.
Dari sekian konser Sekolah Madania di gedung pertunjukan umum – pernah juga mereka tampil di Gedung Kesenian Jakarta – selain perlu diapresiasi courage dan kesungguhan mereka tampil di luar multi purpose hall sekolah, yang juga sebaiknya kita hargai adalah kemampuan mereka membangun kolaborasi efektif. Antara guru, siswa, orang tua murid, para staf teknis, dan stakeholders lainnya.
Mereka bukan para seniman profesional. Namun, dengan sentuhan beberapa sosok profesional di bidangnya – selain para guru, ada juga penyanyi seriosa the one and only Aning Katamsi (yang juga tampil malam itu) dan drummer sekaliber Gilang Ramadhan – serta dengan kolaborasi yang baik, para siswa tampil mengesankan.
Kolaborasi efektif terbukti telah menjadi salah satu kunci sukses di ribuan organisasi di dunia, bisnis dan nonprofit, dalam meraih kinerja unggul.
Bagi sebagian kalangan, kolaborasi merupakan buzzword yang mudah diucapkan, namun belum tentu mereka kerjakan secara konsisten. Diperlukan sejumlah syarat bagi sebuah unit bisnis, suatu organisasi, atau tim, untuk layak disebut telah melakukan kolaborasi efektif.
Kolaborasi efektif sangat memerlukan, antara lain, adanya kesetaraan dalam menyampaikan pendapat, tumbuh saling percaya di antara anggota tim, dan antara anggota dengan team leader. Lebih penting lagi adalah respect, utamanya dari atasan ke tim.
Apakah Anda sebagai eksekutif cukup legowo untuk memenuhi syarat-syarat tersebut? Sejauh mana Anda mempercayai tim dan apakah mereka merasa nyaman untuk menyampaikan pendapat?
Ini belum menyangkut respect. Apa saja upaya terbaik Anda untuk memperlihatkan respect kepada tim? Kepada para stakeholder?
Kata orang-orang bijak, bukankah kita hanya bisa memberi dari yang kita punya, termasuk kemampuan menghormati orang lain?
Pertanyaan tersebut untuk saling mengingatkan. Karena masih ada saja para eksekutif — dan yang mengaku diri sebagai leader — lebih sering menghardik atau memperlihatkan perilaku counterproductive terhadap tim, misalnya mudah marah atau menyampaikan kata-kata sarkastis. Utamanya saat mendapati hal-hal yang kurang pas dengan persepsinya. Padahal, “kenyataan” yang terlihat sesungguhnya baru syndrome dari problem lebih fundamental yang mungkin saja bersumber pada proses kerja di organisasi sendiri, yang mereka abaikan selama ini.
Para eksekutif yang belum bisa respect kepada tim diindikasikan karena mereka gagal paham, bahwa jabatan dan segala fasilitasnya itu hanya pinjaman sementara. Apalagi jika mengaku bersekolah tinggi, mereka alpa pula, bahwa, sebagaimana kata Peter Drucker, “Our mission in life should be to make a positive different, not to prove how smart or right we are.”
Sejumlah survei juga memperlihatkan cerita berbeda dengan yang selama ini dipercaya orang bahwa kenaikan gaji secara masif, fasilitas kesenangan di kavetaria kantor, dapat meningkatkan motivasi karyawan mengejar target. Kenyataannya, menurut jajak pendapat, tim lebih terpacu, betah bekerja, dan bersemangat karena merasa dihargai.
Respect, yang diekspresikan sehari-hari secara timbal balik, sangat signifikan impact-nya. Terutama dalam membentuk syarat-syarat lain bagi organisasi dalam meraih prestasi.
Untuk satu kali pertunjukan di panggung, kolaborasi dan semangat saling menghargai, barangkali memadai. Namun untuk sebuah organisasi besar – di bisnis, nonprofit, dan institusi pemerintahan – perlu, minimal, tiga syarat tambahan lain agar mampu terus berprestasi, sustainable.
Kenyataannya, dengan saling respect dalam interaksi sehari-hari, kita lebih mudah mengajak tim untuk memenuhi tiga syarat sukses lainnya, yaitu aligned (selaras) dengan visi & misi organisasi; membangun energi positif menjemput masa depan; berorientasi pada achievement yang memberikan benefit semua pihak dan fokus meningkatkan value bagi para pelanggan.
Berkolaborasi efektif, saling menghargai, aligned, selalu siap menjemput masa depan, dan fokus pada achievement adalah lima elemen membangun emotional connectedness. Ini penting bagi setiap organisai untuk meraih prestasi puncak secara berkesinambungan. Para karyawan yang emotionally connected, merasa dihargai, tentunya akan memacu diri masing-masing meraih prestasi tinggi.
Praktisi yang layak kita kutip untuk itu antara lain Louis Carter, founder dan CEO Best Practice Institute (BPI), yang telah mendedikasikan belasan tahun waktu kerjanya membantu organisasi-organisasi di pelbagai tempat di dunia masing-masing menjadi “a place where people were dedicated to working toward collective success.”
Berdasarkan upayanya 15 tahun terakhir membantu ratusan organisasi meningkatkan kolaborasi dan prestasi tim, Louis Carter kemudian menulis buku In Great Company, 2019. Ini tentang How to Spark Peak Performance by Creating an Emotionally Connected Workplace.
Sebagaimana sama-sama kita ketahui, hubungan interpersonal di dalam organisasi sangat berpengaruh pada kualitas kerja sama tim, engagement, tingkat produktivitas, dan kemampuan melakukan eksekusi strategis dalam berinteraksi dengan pelanggan.
Para pemimpin akan selalu diuji tindakan, ucapan, dan kemampuannya mengarahkan tim untuk mengerjakan hal-hal besar. Kita selalu perlu hati-hati melangkah, berkomentar, dan bertindak. Rasanya wejangan Sunan Kalijaga tetap relevan, “Aywa lunga yen tan weruha ingkang pinara ing purug, lawan sira aywa nadhah yen tan wyuha rasanipun.”
Mohamad Cholid adalah Head Coach di Next Stage Coaching.
- Certified Executive Coach at Marshall Goldsmith Stakeholder Centered Coaching
- Certified Marshall Goldsmith Global Leadership Assessment
- Alumnus The International Academy for Leadership, Jerman