Kolom Mohamad Cholid
Dalam perjalanan menuju negeri Syam, Khalifah Umar bin Khattab berhenti di suatu komunitas untuk beristirahat. Saat itu ada berita, di Syam sedang ada wabah. Umar bin Khattab sempat bimbang, sebelum kemudian memutuskan untuk berbalik arah dan batal ke Syam.
Abu Ubaidah, salah seorang sahabat dekatnya, agak keberatan dan protes, kenapa Sang Khalifaf seperti menghindari takdir.
Sebagaimana diriwayatkan di pelbagai sumber, jawaban Umar seperti ini: “Benar, ini seperti berpaling dari takdir Allah. Tapi untuk menuju ke takdir Allah yang lain. Misalnya Anda memiliki unta dan lewat di suatu lembah, lantas menemukan dua tempat, yang pertama subur dan yang kedua gersang. Bukankah ketika Anda memelihara unta itu di tempat yang subur, itu adalah takdir Allah. Demikian juga apabila membawanya di tempat yang gersang, itu juga takdir Allah?”
Kisah Umar bin Khattab tersebut hampir selalu dikutip ketika berbicara antara “takdir” Tuhan dan “pilihan” manusia.
Apa pun keyakinan Anda, kalau mau mengalokasikan waktu untuk menelaah kitab-kitab ajaran agama, akan kita temukan, dengan variasi di sana-sini, kalimat-kalimat yang menyebutkan bahwa umat manusia di Bumi hidup dalam dilema (ada yang menyebutkan “kesusahan” ada yang menggunakan istilah “perjuangan” atau “selalu dalam ujian”). Tapi Tuhan menyediakan solusi, lebih dari satu jalan. Manusia dipersilahkan mengerahkan kecerdasan dan upaya lainnya untuk memilih jalan mana yang akan mereka tempuh.
Dalam bahasa abad sekarang: “Fate is the hand of cards we’ve been dealt. Choice is how we play the hand,” kata Marshall Goldsmith, executive coach dan leadership guru #1 di dunia.
Kasus coronavirus atau Covid-19 adalah realitas yang kita hadapi bersama, ibarat “the hand of cards we’ve been dealt”. Sebagian kalangan menyebutkan, serentetan rangkaian kejadian tersebut –sejak mulai terkuak di Wuhan, China, sampai pandemik memagut umat manusia di lebih dari 100 negara di dunia– sebagai takdir.
Realitas tersebut menjadi ujian kepemimpinan orang-orang yang –karena keahlian dan jabatan mereka– sedang dalam posisi bisa memutuskan pilihan solusi menghadapi front bersama ini. Para pemangku kepentingan tentunya mengharapkan mereka dapat memilih solusi terbaik, untuk membuktikan bahwa mereka mampu how to play their hands.
Kalau tidak sanggup, apalagi malah menimbulkan kebingungan atau kecemasan publik, sebaiknya tahu diri.
Ada tiga kebajikan (virtues) yang tampaknya selalu relevan bagi kita semua, utamanya para pengambil keputusan di lingkungan organisasi bisnis, nonprofit, dan dalam penyelenggaraan negara, serta dalam kehidupan pribadi saat memilih untuk menjadi lebih bermakna.
Pertama, courage — keberanian menembus batasan-batasan semu di pikiran sendiri; berani menghadapi fakta (bukan membelokkan kenyataan dengan membayar “pasukan elektronik”); teguh menembus dimensi-dimensi baru dalam kehidupan.
Kedua, rendah hati – menyadari keterbatasan diri sebagai manusia, membuka peluang pihak lain yang relevan untuk membantu; mampu mengendalikan ego dan mengkikis arogansi jabatan/departemen. Ketiga, disiplin – setiap tahap pilihan solusi selalu diukur, dievaluasi, dan diperbaiki, follow up.
Sederhana? Mungkin. Common sense? Bisa jadi, ya, tapi belum common practice. Sederhananya, kita sesungguhnya selalu diminta lugas menghadapi diri sendiri. Ketiga virtues tersebut di atas umumnya belum bisa diterapkan konsisten utamanya di kalangan orang yang menganggap kepemimpinan atau jabatan sebagai celebrating (merayakan) kemunafikan. Buat mereka, jadi pimpinan bukan pengabdian untuk berkontribusi membangun kehidupan lebih baik.
Padahal, jika kebajikan-kebajikan tersebut dikerjakan secara berkesinambungan, akan membantu kita memiliki persiapan lebih baik untuk memasuki dimensi kehidupan baru, tantangan level berikutnya.
Jika ketiga virtues konsisten dilaksanakan dan hasilnya memberikan positive impact, bermanfaat bagi orang-orang dalam orbit eksistensi kita (keluarga, tim, dan para stakeholder lainnya) sampai saat api kehidupan di ujung sumbu habis, meninggal, bisa menjadi bekal positif dalam perjalanan menuju Keabadian.
Coronavirus, gunung meletus, pergantian menteri atau sebaliknya yang dianggap sebagai pencapaian, seperti jabatan tinggi di organisasi atau dalam pemerintahan, serta Ferrari di garasi atau bahkan jet pribadi, sejatinya semuanya –menurut kalangan ulama, pendeta, para rahib– merupakan dereten events belaka dalam hidup. Targantung pada kemampuan otak dan kecerdasan kita masing-masing, apakah kita terikat atau terpenjara oleh semua events itu atau jiwa kita bisa merdeka dari kesementaraan tersebut, sehingga bisa lebih punya kepantasan menatap Langit.
Semua events di dunia itu menjadi triggers positif bagi tindakan-tindakan kita atau menjerumuskan seseorang ke dalam perilaku tidak terpuji – seperti bicara tanpa landasan ilmu atau mengambil keputusan gegabah tanpa perduli dampaknya — merupakan pilihan masing-masing. Kita akan meneruskan kehidupan dengan pikiran terjajah oleh events atau mampu membangun eksistensi lebih mulia, Tuhan memberikan kebebasan kepada kita untuk memilih.
Dalam perspektif dunia, untuk menjadi pribadi yang lebih bernilai, sebagaimana pembelajaran yang saya terima dari Dr. Marshall Goldsmith, dalam menentukan sikap penjelasannya begini: Event (trigger) – impulse – awareness – choice – perilaku (baru).
Setelah event ada tiga momen krusial yang menjadi interval sebelum muncul perilaku (tindakan). Selama interval, bisa jadi hanya dalam tiga kedipan mata, kita sepantasnya mengerahkan kecerdasan untuk berada dalam moda “penuh kesadaran”. Eling lan waspada, kata ajaran Jawa.
“We make a choice not out of unthinking habit but as evidence of our intelligence and engagement,” kata Marshall Goldsmith.
Situasinya menjadi lebih genting ketika perilaku kepemimpinan seseorang menimbulkan akibat signifikan bagi banyak manusia lain – di lingkungan organisasi mungkin puluhan ribu orang, di pemerintahan bisa berdampak bagi puluhan juta kepala keluarga (pencari nafkah).
Bagi yang mengaku pemimpin, ukuran kedewasaan (ada pertumbuhan jiwa) dan akuntabilitasnya, dapat kita lihat dari kemampuannya selalu eling lan waspada (bukti memiliki intelligence dan tanggungjawab) dalam menentukan pilihan, setelah kondisi lingkungan (events) memicunya harus bertindak tepat. Kehormatan seseorang dipertaruhkan dalam proses tersebut.
Mohamad Cholid adalah Head Coach di Next Stage Coaching.
- Certified Executive Coach at Marshall Goldsmith Stakeholder Centered Coaching
- Certified Marshall Goldsmith Global Leadership Assessment
- Alumnus The International Academy for Leadership, Jerman