Senin, November 18, 2024

Menyudahi perselingkuhan tak senonoh dengan pemerintahan

Must read

Oleh Mohamad Cholid, Practicing Certified Executive and Leadership Coach

Hubungan percintaan politis kita dengan pemerintahan dan birokrasi sudah menjadi perselingkuhan tidak senonoh. Utamanya ketika kita semua di seluruh dunia tengah menjalani proses transisi mental, spiritual, manajerial, dan leadership, akibat Covid-19.

Kita semua saat ini sedang menjalani ujian agar lebih siap memasuki portal kehidupan baru pasca wabah.

Hari-hari ini kita umumnya mempertanyakan kembali peran pemerintahan. Kita di sini adalah warga negara, sebagian pembayar pajak dan sebagiannya tidak, di pelbagai negara yang sekarang dipersatukan oleh kecemasan, kewaspadaan, ketidaksabaran yang kurang lebih sama akibat pandemi Covid-19.

Birokrasi pemerintahan dimana-mana sekarang ditantang membuktikan efektivitas kerja mereka. Tidak dapat mengelak sodokan wabah, mereka umumnya mendadak jadi kurang kapabel, gagal mengambil keputusan tepat. Tiba saatnya, kata Peter Drucker, “Government has to regain a modicum of performance capacity.” (Post-Capitalist Society).

Kewajiban pemerintahan adalah membuat keputusan fundamental secara efektif, terutama saat wabah sekarang ini. Hanya segelintir pemerintahan saja yang memperlihatkan kapabiltasnya, utamanya Vietnam. WHO mengakuinya. Sejak awal WHO dilibatkan dalam upaya-upaya pengendalian wabah Covid-19. The World Economic Forum (WEF) juga memuji keberhasilan Vietnam tersebut.

Pemerintahan Vietnam telah menafsirkan dictum “the purpose of government is to govern” secara terukur. Efektif. Apakah itu karena para pengelola negara dan rakyat sudah terlatih menghadapi situasi gawat secara kompak, sebagaimana mereka dulu dengan ligat menghadapi gempuran tentara AS dalam perang Vietnam? Wallahu ’alam.

Sementara itu pemerintahan di negara-negara lain pada kehilangan fokus membangun the political energies of society. Sekarang ini, bagaimana memperbaiki kondisi itu dengan hasil excellent kalau para pejabat publik tetap menggunakan cara-cara lama, menuhankan birokrasi (penyebab bottleneck) demi melayani syahwat mereka?

Kegagalan mereka menghadapi kegawatan akibat wabah barangkali karena kelewat eksesif dalam tugasnya mengelola, mengatur, dan mengontrol penyelenggaraan negara. Mereka telah kehilangan kepercayaan publik.

Namun kita juga tidak begitu saja bisa menggantikan para aparatur pemerintahan yang sudah established, dengan melahirkan bentuk pengelolaan yang lebih menguasai (governing more). 

Lantas, apakah sekarang ini civil societybuzzword yang populer sekian puluh tahun lalu itu, perlu ditafsirkan kembali lebih dalam dan diwujudkan dalam rangkaian tindakan nyata untuk mengatasi keadaan?

Publik sendiri saat ini, dan dalam beberapa bulan kedepan, tengah menjalani proses menata kembali pola hidup dan cara bereaksi menghadapi fenomena-fenomena sosial, ekonomi, politik, spiritual –termasuk belajar kembali aturan agama ketika keimanan diuji oleh realitas– yang sangat berbeda.

Juga perlu belajar kembali merespon alam secara lebih positif. Ketika langit lebih jernih dan Bumi menjadi adem setelah pabrik-pabrik di pelbagai negara menghentikan operasi.

Mungkin saja sebagian orang mengalami “mind-quake”, akibat tidak berhasil mengatasi diri mereka sendiri ketika menghadapi kenyataan pahit, banyak hal tidak sesuai dengan ego mereka, dan harus membangun habit baru.

Orang-orang yang mengalami mind-quake kadang menjadi seperti anak-anak manja yang memaksakan kehendak, merasa telah berjasa lantas minta pihak-pihak lain selalu menuruti standar diri mereka.

Silakan perhatikan di sekitar Anda di masa social distancing, karantina mandiri tinggal di rumah, beberapa minggu ini. Ada ‘kan orang dewasa yang berubah menjadi selalu minta diladeni egonya, tanpa mengindahkan kepentingan bersama? Alam Semesta tengah berbenah, kata para ulama dan guru spiritual.

Kalau kita meyakini sebagai bagian alam semesta, sepantasnya kita juga perlu menata diri. Ikut membangun kehidupan bermasyarakat secara lebih baik. Dengan mulai mempertanyakan kembali kita ini siapa, apa fungsi kita di Bumi, apa kontribusi kita bagi kehidupan bersama, pola hidup bagaimana yang sepantasnya kita jalani selama dan pasca wabah.

Kalau mengelak dari proses tesebut, apa konsekuensinya untuk diri sendiri dan stakeholder kita? Apa upaya-upaya terbaik kita menjemput hidup baru pasca wabah?

Menjalani hidup seimbang dan menjaga selalu seirama dengan gerak Alam Semesta barangkali bisa dijadikan bukti kita taat pada Sang Pencipta. 

Di tahap ini setiap orang dapat mengandalkan gyroscope ruhani masing-masing.

Perilaku para pengendali pemerintahan yang to govern tanpa kendali, eksesif, terbukti menjadi counterproductive. Menyebabkan mereka kehilangan energi politik publik. Karena menjauhkan manusia dari hidup selaras dengan Alam Semesta.

Sudah waktunya kita bersikap lebih mandiri, melepaskan diri dari ketergantungan pada pemerintahan. Kenyataannya para birokrat tidak menjamin bisa memberikan solusi terbaik atas setiap masalah, termasuk menyangkut krisis kesehatan masyarakat saat ini.

Kalau Anda pemimpin di organisasi bisnis atau nonprofit, mestinya sekarang ini saatnya mengolah diri untuk proaktif, bertindak lebih efektif. Anda memiliki otoritas untuk itu.

Dalam tradisi pemikiran berbasis Dao (sering juga disebut Taoism), ada anjuran umat manusia sepantasnya berlatih membangun kesadaran agar selalu sigap menghadapi transformasi konstan Jalan Kehidupan.

Dengan menumbuhkan sikap 自然, zìrán (atau tzu-jan menurut romanisasi Wide-Giles), yaitu berperilaku tulus, apa adanya, membiarkan alam berproses, dan tegar memasuki dimensi-dimensi baru kehidupan.

Dalam praktik pengembangan kepemimpinan zaman sekarang, katakanlah di lingkungan Marshall Goldsmith Stakeholder Centered Coaching (MGSCC), menumbuhkan perilaku setara zìrán dikerjakan secara sistematis dan terukur.

Meneruskan hidup di tengah darurat wabah, dan atas izin Tuhan sesudah periode itu nanti, selain courage (tegar memasuki lapisan kehidupan baru), kita perlu rendah hati menerima masukan dari orang-orang yang terkena impact perilaku kita.

Selanjutnya disiplin follow up, cek pada para pemangku kepentingan memastikan perilaku kita sudah lebih efektif. Sekarang ini juga saat terbaik investasi memperkuat tim, agar lebih sigap menghadapi realitas dan tantangan baru pasca wabah, saat ekonomi pulih.

Mohamad Cholid 

  • Head Coach di Next Stage Coaching
  • Certified Executive Coach at Marshall Goldsmith Stakeholder Centered Coaching
  • Certified Marshall Goldsmith Global Leadership Assessment
  • Alumnus The International Academy for Leadership, Jerman
- Advertisement -

More articles

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini

- Advertisement -

Latest article