Oleh Farid Gaban – Yayasan Zamrud Khatulistiwa
Bahkan sebelum wabah Covid-19 merebak, sudah banyak sinyalemen yang meramalkan dunia akan menghadapi krisis ekonomi-keuangan besar yang merupakan siklus 10-tahunan. Krisis sebelumnya terjadi pada 1988 (Black Monday), 1998 (Krisis Asia) dan 2008 (Krisis Mortgage).
Semua krisis itu memperluas pengangguran dan kemiskinan, yang pada gilirannya membawa dampak multi-dimensi: sosial, budaya, pangan, kesehatan dan keamanan.
Memang tidak terjadi krisis besar pada 2018. Namun sejumlah pengamat menyatakan krisis akan datang juga, meski terlambat, yakni pada tahun 2020-2021 ini.
Corona, yang kini datang tiba-tiba, tak hanya mempercepat realisasi krisis tadi, tapi juga memicu dampak yang jauh lebih luas dan mendalam. Keluasan dan kedalaman krisis ini bahkan belum sepenuhnya bisa kita takar.
Yang pasti, lebih dahsyat dari Krisis 1998 dan Krisis 2008. IMF sendiri menyebut ancaman krisis ekonomi kali ini yang terburuk sejak Great Depression pada 1930-an. Ketika dunia dilanda problem kronis pengangguran, kemiskinan dan kelaparan.
CORONA: TRAGEDI DAN BERKAH
Wabah Corona memaksa kita untuk tinggal di rumah dan menghentikan mobilitas. Juga memaksa kita lebih peduli pada hal-hal dasar dalam hidup, seperti cuci tangan demi kebersihan, tentang kesehatan dan ketercukupan pangan.
Corona juga memaksa orang merenungkan hal yang lebih mendasar tentang aspek hakiki dari agama, tentang spiritualitas; ketika orang justru dilarang pergi ke masjid atau gereja; ketika ibadah haji/umroh atau misa Paskah ditiadakan.
Di sisi lain, wabah corona sebaliknya membawa berkah bagi alam: berkurangnya polusi dan pencemaran, turunnya emisi karbon, pulihnya kembali lapisan ozon, serta kemunculan kembali satwa-satwa liar di sungai, kebun dan laut, ketika manusia mengurung diri dalam rumah.
Di samping membawa tragedi, setiap krisis memberi kita peluang untuk introspeksi dan koreksi. Makin besar krisis, makin mendasar koreksi yang harus dilakukan.
Sudah seharusnya, krisis kali ini juga memicu renungan jauh lebih mendalam tentang sistem ekonomi dan arah kebijakan pembangunan. Tidak hanya di tingkat daerah dan negara, tapi juga di tingkat global.
Kegagalan kita merumuskan arah pembangunan dan kebijakan baru pasca-corona, tak hanya akan memperparah risiko krisis di masa mendatang, tapi juga kemampuan dan daya tahan kita dalam menghadapi krisis dunia yang kian serius.
REAKSI JUMUD PEMERINTAH
Tapi, sepertinya pemerintah kita belum akan beruabah. Terobsesi pada pertumbuhan ekonomi dan investasi sejak periode pertama, Pemerintahan Jokowi cenderung menanggapi wabah corona dari pertimbangan ekonomi ketimbang perspektif kesehatan masyarakat.
Bulan kemarin pemerintah menerbitkan Pandemic Bond dengan motif utama membiayai stimulus dunia usaha agar ekonomi cepat pulih dari perlambatan dan kemunduran (Recovery Bond).
Jangan terkecoh oleh istilah teknis keuangan. Bond adalah obligasi atau surat utang. Kasarnya pemerintah berutang, lalu uangnya dibagi-bagikan kepada pengusaha lewat perbankan, yang totalnya diperkirakan mencapai Rp 400-600 triliun.
Ini mengingatkan kita pada “Skandal Bank Century pada Krisis 2008 dan Skandal BLBI pada Krisis 1998.
Menyusul Krisis 1998, atas saran IMF dan Bank Dunia, pemerintah menerbitkan obligasi rekap (sekali lagi utang). Utang dipakai untuk menyuntik bank-bank sakit, baik milik pemerintah maupun milik para konglomerat raksasa seperti Lippo, BCA dan Sinar Mas.
Obligasi rekap berjasa memulihkan ekonomi, tapi juga di sisi lain memicu ketimpangan. Indeks gini Indonesia pada akhir Pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono mencapai nilai tertinggi, artinya ketimpangan ekonomi terburuk, sepanjang sejarah negeri ini.
Alih-alih mengoreksi penguasaan ekonomi oleh segelintir orang di era Orde Baru, obligasi rekap justru memulihkan dan memperkuat konsentrasi.
Obligasi rekap berjasa memulihkan ekonomi konglomerat. Mereka yang nyaris bangkrut pada awal reformasi, kini kembali menjadi raksasa yang makin digdaya dan makin menggurita.
RAKYAT MENSUBSIDI KONGLOMERAT
Audit BPK pada tahun 2000 menunjukkan 95% dana obligasi rekap diselewengkan dari tujuan awal menyelamatkan bank.
Hanya 5% yang dipakai secara tepat, sementara selebihnya dipakai untuk ekspansi bisnis para konglomerat serta gaji besar direksi dan komisaris bank-bank negara.
Ketika pemerintah berutang, siapa yang membayar? Siapa lagi kalau bukan publik atau warga negara, alias kita semua.
Total obligasi rekap yang diterbitkan pemerintah kala itu senilai Rp 430 triliun. Tapi, pemerintah harus membayar bunga sebesar Rp 600 triliun. Keseluruhan menjadi Rp 1.000 triliun lebih.
Dan pemerintah masih harus membayar itu sampai sekarang, 20 tahun kemudian.
Obligasi rekap sering disebut “rekayasa keuangan” yang cuma ada di atas kertas. Tapi, dampaknya sangat nyata bagi masyarakat. Setiap tahun pemerintah harus menyisihkan ratusan triliun dari APBN untuk membayar utang itu, antara lain dengan menyunat subsidi rakyat dan anggaran sosial yang vital seperti kesehatan.
Buruknya sistem jaminan dan layanan kesehatan jelas memperlemah kapasitas negeri kita untuk menghadapi wabah seperti corona. Bahkan di masa normal, kita masih kedodoran menangani penyakit “tradisional” seperti TBC, malaria dan demam berdarah.
CERITA KOLOSAL PENGKHIANATAN
BLBI dan obligasi rekap adalah cerita tentang pesta-pora para elit di atas beban rakyat kebanyakan. Sebuah pengkhianatan kolosal mencederai rasa keadilan, yang terlalu busuk dan memalukan bahkan untuk dijadikan pelajaran di sekolah-sekolah ekonomi.
Ironisnya, kebijakan elitis itu bahkan diulangi, meski dalam skala jauh lebih kecil, ketika terjadi lagi krisis pada 2008. Yakni ketika uang negara/publik dipakai untuk mensubsidi pemilik Bank Century.
Dan sepertinya masih sedang diulangi lagi sekarang di tengah wabah corona, ketika pemerintah menerbitkan Pandemic Bond.
Menteri Keuangan Sri Mulyani, yang juga mantan Direktur Pelaksana Bank Dunia, mengatakan penyaluran kali ini akan prudent, tepat sasaran dan sesuai aturan.
Tapi, jika benar begitu, mengapa Presiden Jokowi harus mengeluarkan peraturan pemerintah pengganti undang-undang (Perppu) untuk mendukung tanpa syarat kebijakan pemulihan ekonomi akibat corona?
Salah satu isi terpenting Perppu Nomor 1 Tahun 2020 adalah membebaskan para pelaksana dan pembuat kebijakan dari kemungkinan tuntutan hukum.
Itu seperti memberi blanko kosong kepada aparat pemerintah untuk kemungkinan menyalahgunakan dalih “memulihkan ekonomi” demi kepentingan pribadi, kelompok maupun kepentingan para kroni politisi.
DUA TEORI SARAT MITOS
Indonesia tidak sendirian, baik sekarang maupun di masa lalu. Menyusul krisis 2008, Pemerintah Amerika juga memakai dana publik untuk mensubsidi lembaga-lembaga keuangan, di samping membebaskan pajak perusahaan-perusahaan besar. Pada dasarnya menyelamatkan para konglomerat dan Wall Street.
Tidak hanya elitis, kebijakan itu juga sebenarnya mengkhianati konsep dasar kapitalisme sendiri yang tidak membenarkan negara campur-tangan dalam urusan swasta (privat).
Campur-tangan negara dijustifikasi lewat teori too big to fail, bahwa perusahaan swasta tertentu, khususnya perbankan, begitu besar dan saling terkait sedemikian rupa sehingga jika mereka ambruk akan menyeret runtuh ekonomi negara. Itu sebabnya, pemerintah harus membantu dan menyelamatkan mereka.
Kebijakan itu juga sering diperkuat oleh argumen teori trickle down effect, jargon ekonomi sejak 1970-an, yang percaya bahwa jika kita membantu yang besar-besar, bantuan itu pada akhirnya akan menetes ke yang kecil-kecil, yang akhirnya menguntungkan masyarakat secara keseluruhan.
Beberapa kajian mutakhir mengungkapkan bahwa trickle down effect cuma mitos ekonomi, sementara dampak negatifnya tak bisa diabaikan.
Dua teori itu bertanggungjawab atas munculnya anggapan semu bahwa kelangsungan hidup para konglomerat identik dengan kepentingan negara, yang pada kenyataannya cuma menjustifikasi kolusi antara politisi dan penguasaha kroni.
Kebijakan tadi juga jelas memicu moral hazard karena memanjakan para bankir serta pemilik bank. Di sisi lain kuat mencerminkan bias-keuangan seraya mengabaikan problem riil kemiskinan dan ketimpangan.
Di Amerika sepuluh tahun setelah bail-out, Presiden Barack Obama menyatakan bahwa negerinya menghadapi problem ketimpangan dan kemiskinan yang makin kronis, di tengah buruknya sistem kesehatan akibat komersialisasi industri asuransi, farmasi dan rumah sakit swasta.
Fakta bahwa kini Amerika menderita kematian terbanyak akibat wabah corona benar-benar membuktikan kekhawatiran Obama beberapa tahun lalu.
Dibumbui oleh konflik politik, corona seperti tengah menghancurkan berkeping-keping The American Dream yang pernah menjadi sumber kecemburuan orang seisi planet. [BERSAMBUNG]