Oleh Farid Gaban
Muannas Alaidid, pengacara dan politisi PSI, mengancam melaporkan saya ke polisi jika saya tidak menghapus kritik saya terhadap kebijakan Menteri Koperasi-UKM Teten Masduki. Somasi Muannas disandarkan pada penilaian bahwa saya telah menyebarkan kabar bohong (hoaks), yang bisa diancam pidana penjara sesuai UU ITE (Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik).
Ketika mengkritik kebijakan itu di Twitter saya menulis: penguasa membantu pengusaha. Apa yang saya maksud jelas: Kementerian (penguasa) membantu Blibli (pengusaha).
Muannas menyatakan kalimat itu hoaks karena, berdasar pengetahuannya (entah dari mana), kerjasama itu tidak melibatkan uang negara (APBN) yang diberikan oleh Kementrian kepada Blibli.
Ini menunjukkan cara berpikir Muannas yang naif dan sempit. Seolah “membantu” itu hanya dalam bentuk uang atau dana APBN.
Bagi saya, membantu itu bisa dalam bentuk memberi fasilitas atau kemudahan, atau bahkan sekadar memberi panggung untuk berkiprah. Kerjasama itu sendiri jelas mengandung unsur-unsur tadi. Dan itu kenapa saya cenderung menyarankan Kementerian bersinergi dengan BUMN: Telkom, Sarinah, dan Pos Indonesia.
Tapi, saya tak mau terlibat lebih jauh untuk urusan semantik “membantu”. Saya ingin fokus pada substansi.
Pertama, kritik saya kepada Kementerian adalah hak dan partisisipasi saya sebagai warga negara yang dilindungi konstitusi (UUD 1945). Kalau kita bicara hirarki hukum, UU ITE yang mau dipakai Muannas itu ada di bawah konstitusi.
Kedua, Menteri Teten Masduki, yang menjadi sasaran kritik saya, justru mengapresiasi. Dua hari lalu, Kang Teten mengontak saya secara pribadi via WA dan mengajak diskusi. Dalam chat itu, saya mendengarkan penjelasan dia tentang kerjasama itu. Dan sebaliknya, dia mendengarkan kritik saya.
Kita sepakat untuk tidak sepakat menyangkut beberapa hal. Tapi, intinya dia berterima kasih atas kritik saya; dan saya berterima kasih atas tanggapan dia.
Kita sama-sama tidak puas dengan diskusi pendek itu. Kang Teten mengundang saya untuk suatu ketika datang ke kantornya dan berdiskusi lebih komprehensif.
Diskusi kebijakan publik seperti itu tak semestinya menjadi urusan personal, melainkan seharusnya menjadi diskusi publik yang diketahui banyak orang. Dalam kaitan ini, saya mendukung langkah Suroto Ph, seorang pegiat koperasi, yang mengajak debat publik Menteri Teten Masduki.
Itu akan menjadi tradisi bagus bagaimana sebuah kebijakan publik dirumuskan dan memperoleh feedback untuk penyempurnaan. Dari situlah partisipasi warga negara dan akuntabilitas pejabat publik menemukan bentuknya secara substantif, bukan cuma basa-basi.
Orang tidak harus setuju dengan kritik atau pendapat saya; bahkan bisa membantainya dengan argumen yang lebih kuat. Itu pula yang seharusnya dilakukan oleh Muannas. Silakan bantai saya dengan argumen, bukan dengan cara lapor ke polisi.
Jika itu dilakukan, Muannas Alaidid, seorang politisi dari partai yang mengklaim diri progresif, telah benar-benar ikut mempromosikan partisipasi demokratis warga ketimbang memberangusnya.*