#Leadership Growth: What is Your Stairway to Heaven?
Kolom Mohamad Cholid
There’s a lady who’s sure
All that glitters is gold
And she’s buying a stairway to Heaven
When she gets there she knows
If the stores are all closed
…...
There’s a sign on the wall
But she wants to be sure
‘Cause you know sometimes words have two meanings
……………
Sometimes all of our thoughts are misgiving
(Robert Plant, Jimmy Page: Led Zeppelin)
“Ini nyanyian tentang harapan…,” kata Robert Plant saat mau melantunkan Stairway to Heaven pada konser Led Zeppelin di Madison Square Garden, New York City, 1973. Sejak itu, Stairway to Heaven mendunia, jadi salah satu nyanyian anak-anak muda dari pelbagai bangsa sepanjang zaman.
Desember 2012 atau 39 tahun kemudian, di hadapan Presiden Obama dan First Lady Michelle Obama serta ratusan tamu undangan di The Kennedy Center, Washington D.C, Stairway to Heaven dinyanyikan dengan sangat impresif oleh Nancy Wilson (vocal) didukung Ann Wilson (gitar) dan Heart rock band.
Acara yang hangat di tengah musim dingin itu untuk menghormati Led Zeppelin sebagai rock band yang sangat fenomenal. Robert Plant, Jimmy Page, John Paul Jones dkk yang sudah pada gaek duduk di deretan tribun kehormatan. Obama dan Michelle nampak menggoyangkan kepala mengikuti irama selama Nancy dan Ann Wilson tampil rancak di panggung.
Di antara Anda barangkali ada yang masih mendengarkan Stairway to Heaven ya, sambil nyetir atau menikmati kecepatan mobil di atas 150 km/jam di jalan bebas hambatan? Hari-hari ini, saat social distancing dan work from home masih berlaku sebagai upaya menghentikan penularan wabah, menikmati Stairway to Heaven bisa sembari jogging atau gowes. Bisa juga sambil nggenjot sepeda statis.
Percayalah, di tengah tekanan ekonomi, kecemasan publik dan kebingungan massal, serta pembangkangan di sana sini, Anda tetap berhak bernyanyi – minimal mendengarkan musik kesukaan Anda. Kata orang bijak, hanya manusia yang hatinya sudah membatu tidak bisa menikmati musik.
Sepanjang masih hidup dan bisa bernafas bebas, dalam kondisi tidak menentu akibat tekanan krisis multi dimensi kali ini, siapa pun patut memiliki atau diberi harapan. Apa pun kata media, bagaimana pun perangai para pejabat publik, seperti apa pun pendapat para ahli, atau prediksi IMF dan Bank Dunia tentang terjadinya kontraksi ekonomi, semua itu bisa jadi hanya event di salah satu dimensi kehidupan kita.
Tidak perlu dirisaukan benar. Karena, sebagaimana penggalan lirik Stairway to Heaven, “…sometimes words have two meanings. Sometimes all of our thoughts are misgiving.”
Apakah Anda yakin, kata-kata yang terhidang di media atau diucapkan pejabat publik, serta disuarakan para pakar, membawa pesan apa adanya atau ada agenda di balik itu? Apakah semua semburan kalimat-kalimat normatif mereka akan diartikan sama oleh anggota masyarakat yang berlatar belakang beda, kepentingan tidak sama, atau dengan daya tafsir masing-masing yang variatif?
Sering sekali kata-kata memiliki makna ganda dan pikiran-pikiran kita pun tidak luput dari bias pula – antara lain cenderung bereaksi kelewat cepat, tanpa penggalian lebih dalam.
Daripada terbelenggu oleh kagalauan massal akibat krisis, mending kita simak dan apresiasi semangat bangkit sejumlah eksekutif yang berinteraksi dengan kami dalam beberapa coaching session secara online selama dua bulan terakhir di tengah pandemi.
Mereka mulai terpicu menggali kreativitas masing-masing agar merdeka dari kepungan krisis. Mereka terbuka untuk mengembangkan entrepreneurship masing-masing – kendati masih berpijak hanya pada pemahaman umum bahwa entrepreneurship adalah membangun bisnis.
Pemahaman tersebut tidak salah, sebagian bahkan sudah mempraktikkannya dan mulai menghasilkan uang, sehingga ada pemasukan lebih selain gaji – tanpa mengganggu fungsi sehari-hari mereka sebagai team leader di korporasi.
Agar dapat membuat fondasi yang lebih kokoh untuk bangunan hidup baru yang Anda dirikan dalam kegiatan perniagaan, utamanya terkait mindset dan perilaku sehari-hari, rasanya perlu pemahaman lebih gamblang tentang apa yang dalam Bahasa Indonesia disebut “berwirausaha”. Bagi yang sudah mempelajari, atau praktik bisnis sekian lama, ini untuk mengingatkan kembali.
Dalam Bahasa Jerman ada istilah “unternehmergeist” untuk entrepreneurial spirit atau entrepreneurial acumen. Ekonom dan political scientist Amerika kelahiran Austria Joseph Schumpeter menekankan, kontribusi utama para entrepreneur adalah “the doing of new things or doing of things that already being done, in a new way.”
Mereka, yang dalam khasanah inovasi ekonomi disebut sebagai penggerak creative destruction dalam proses mutasi industrial, secara berkesinambungan melakukan revolusi struktur ekonomi dari dalam, terus-menerus menghancurkan yang lama dan membentuk yang baru.
Contoh kongkritnya antara lain Uber atau Gojek. Jasa pelayanan transportasi sudah ada sejak sekian abad silam, tapi pengembangan aplikasi teknologi informasi telah mengubahnya jadi fenomena bisnis luar biasa.
Pasar sebagai pusat transaksi antara pemasok dan pembeli untuk pelbagai produksi sejak zaman para nabi sudah eksis, tapi dengan pembentukan market platform berbasis aplikasi oleh para pendiri Tokopedia atau Bukalapak, produsen dan konsumen memasuki dimensi baru lebih ringkes dalam bertransaksi. Contoh-contoh bisnis model yang baru makin banyak belakangan ini.
Guru manajemen modern kelas dunia Peter Drucker mengatakan, para entrepreneur selalu merindukan perubahan, untuk mereka respon dan mereka jadikan peluang. Dan, ini penting, “Entrepreneurship is neither a science nor an art. It is a practice,” katanya.
Setelah dapat gambaran lebih baik tentang apa itu entrepreneur, bekal penting lainnya untuk action adalah mengetahui alasan utama, kenapa Anda ingin berwiraswasta. Why?
Jurus dan strategi manajemen paling fit (how to) untuk jenis-jenis usaha khas, sekarang makin mudah kita pelajari dari sumber-sumber yang dapat diandalkan. Produk dan jasa pun bisa Anda pilih (what is the product/ service), boleh dibilang mau apa saja selalu ada pembelinya – termasuk hasil gergajian kayu yang dulu dibuang-buang, ternyata bisa jadi barang dagangan yang laku.
Tapi, Why, kenapa Anda mau berbisnis? Apa alasan utama dan tujuan Anda membangun usaha? Untuk urusan paling fundamental ini perlu penggalian diri lebih dalam, memahami waktu lebih baik, dan berinteraksi dengan sesama manusia lebih etis.
Dalam suatu sesi coaching bersama, ketika tentang Why dibahas, seorang peserta menyergah, “Membangun usaha ya biar kaya, dong. Punya uang banyak, mau beli apa saja bisa. Memang perlu alasan apa lagi?” katanya.
Itu sah saja. Mayoritas orang di dunia, di negara mana pun, umumnya akan menjawab senada. Buktinya banyak orang berbisnis tanpa alasan filosofis macam-macam bisa “sukses”.
Kenyataannya, kelompok mayoritas manusia yang sama itu pula –sebagiannya juga sudah kaya — yang mudah mengeluh dan melenguh saat ada goncangan di pasar. Akibat perubahan kebijakan penguasa, karena dampak krisis, atau bencana alam. Mereka lantas ramai-ramai menyalahkan pihak lain. Mereka mudah kalap.
Sebaliknya, kelompok kecil manusia dan organisasi yang menjalankan usaha berdasarkan Why, alasan filosofis yang kuat, lazimnya lebih tahan uji. Contoh paling fenomenal untuk korporasi besar antara lain Southwest Arlines, perintis penerbangan murah di AS yang sejak berdiri 45 tahun lebih yang lalu tidak pernah rugi.
Hari-hari ini, saat maskapai lain kelimpungan akibat pandemi, Southwest dikabarkan masih punya cash untuk operasional lebih dari setahun ke depan.
Why merupakan alasan Anda dan bisnis Anda eksis, tujuan utamanya apa. Kadang-kadang ada usaha yang sudah berjalan lebih dari setahun, baru kemudian ketemu Why-nya.
Di Indonesia ada beberapa perusahaan yang juga tetap tegar menghadapi krisis, termasuk level UKM — di antara mereka memiliki Why mulia, yaitu membangun kebersamaan lokal (dengan para vendor). Dalam kondisi apa pun mereka terbukti tetap memperlihatkan ownership, dapat diandalkan (accountable), dan responsible — mampu merespon keadaan dengan cara terbaik untuk tumbuh menjadi lebih kuat.
Seperti kata filsuf Friedrich Nietzsche, “He who has a Why to live can bear almost any how.”
Bagi yang belum mantap ke sana, sementara saat ini juga masih dalam payroll korporasi, Anda tetap dapat mengembangkan entrepreneurial spirit, yaitu bangun setiap pagi dengan bersyukur dan mengobarkan semangat berbuat sebaik mungkin untuk organisasi. Ini seperti pesan yang disampaikan Steve Jobs saat pidato menantang lulusan Stanford University 2005, untuk “Stay hungry. Stay foolish.”
Dalam kondisi sekarang, para team leader seperti Anda ditantang membuktikan kreativitas dan kegigihan menjadikan organisasi lebih ligat dan fleksibel menghadapi realitas. Bagi yang selama ini interaksi dengan tim, peers, dan stakeholder dalam format “dinas”, ubahlah jadi lebih manusiawi. Apakah Anda sudah mengetahui kisah hidup orang-orang yang menopang kepemimpinan Anda?
Beberapa organisasi saya lihat sudah memulainya dan mereka — setelah meningkatkan kolaborasi antar personal menjadi lebih indah — lebih siap mental memasuki the unknown territory saat bisnis mulai aktif kembali di tengah situasi makro yang diprediksi terkontraksi akibat pandemi. Ada yang sudah membuat inovasi di bidang jasa mereka, antara lain berupa drive through wedding ceremony.
Menumbuhkan entrepreneurial spirit di dalam diri kita mestinya membantu memaknai Stairway to Heaven, membangun harapan — sebagai wujud demokratisasi sukses.
Mohamad Cholid adalah
- Head Coach di Next Stage Coaching.
- Certified Executive Coach at Marshall Goldsmith Stakeholder Centered Coaching
- Certified Marshall Goldsmith Global Leadership Assessment
- Alumnus The International Academy for Leadership, Jerman