Kamis, Desember 19, 2024

Uang negara Rp75 triliun ke mana?

Must read

Presiden merasa terganjal?

Kolom Mohamad Cholid, Practicing Certified Executive and Leadership Coach

#Leadership Growth: What Kind of Dividend Do You Need?

Kerusuhan sosial di AS yang dipicu oleh kematian George Floyd di tangan polisi mengingatkan dua hal. Hipokrisi pemerintah, terutama menyangkut hajat hidup black American, dan nasib para pemuda mereka masuk ke pendidikan tinggi.

A mind is terrible thing to waste adalah slogan untuk menggugah para donatur memberikan kontribusi kepada United Negro College Fund (UNCF). Slogan tersebut kreasi biro iklan Young & Rubicam, lebih dari 45 tahun silam. Sampai hari ini ternyata tetap relevan.  

UNCF dilembagakan 1944 sebagai upaya membantu black American, dengan konstituen utama para lulusan SLTA (Senior High), agar bisa masuk universitas. Banyak remaja berbakat ditolak kuliah bukan karena mereka tidak pintar, tapi karena tidak punya uang cukup. Hanya segelintir remaja black American, utamanya para atlet hebat dan yang IQ-nya memang sangat istimewa, berhasil menembus hambatan tersebut.

Perjuangan golongan kulit berwarna di AS, khususnya black American, agar mendapatkan perlakuan setara di hadapan undang-undang sudah berabad-abad lalu. Sebagian dari mereka berhasil bangkit, bahkan menjadi tokoh-tokoh yang extraordinary, melalui prestasi di bidang entertainment (musik, filem), olah raga dan pendidikan.

Sampai Abad 21 ini upaya UNCF belum kendur. Pada 2013, di kantor Kementrian Pendidikan di Washington D.C., CEO UNCF Dr. Michael Lomax mengumumkan pola kampanye baru, yaitu melibatkan para penerima beasiswa sebagai bintang iklan, tidak lagi menyewa aktor atau aktris.

Di samping itu, slogannya diubah jadi lebih panjang: “A Mind Is a Terrible Think to Waste but a Wonderful Thing to Invest In.” Tagline baru untuk kampanyenya: “Invest in Better Future.”

Sejumlah penerima beasiswa UNCF, para mahasiswa undergraduate, tampil dengan mantap mengungkapkan aspirasi mereka dan bagaimana beasiswa telah membantu mereka meraih impian lulus universitas. Selain cerita pribadi, mereka sama-sama menekankan: “I am your dividend.” 

Gambar oleh StockSnap dari Pixabay

Mind sebagai kata benda diterjemahkan jadi benak, isi pikiran. Penjelasannya: “The mind is the set of thinking faculties including cognitive aspects such as consciousness, imagination, perception, thinking, judgement, language and memory, as well as noncognitive aspects such as emotion.” Slogan UNCF “A mind is terrible thing to waste” mengacu pada mind sebagai kata benda.

Isi benak setiap orang, meliputi aspek kognitif (kesadaran, imajinasi, persepsi, pola pikir, kemampuan menimbang, bahasa, ingatan) dan aspek nonkognitif (emosi), merupakan aset. Menyia-nyiakannya merupakan tindakan tidak senonoh. Mudah-mudahan Anda juga sepakat dengan para penggerak UNCF, tentu juga dengan umumnya manusia normal di dunia ini, bahwa investasi mengembangkan seluruh isi benak, mind, merupakan upaya sangat mulia.

Penyamaan pemahaman, dalam hal ini tentang mind, sangat perlu. Kata Socrates, “The beginning of wisdom is the definition of terms.”

Kita menyadari, hari ini masih saja ada bos organisasi (bisnis, nonprofit, dan di pemerintahan), termasuk sebagian menteri kabinet, belum mengoptimalkan mind mereka. Akibatnya tugas terhormat demi kepentingan publik mereka abaikan.

Uang negara yang mestinya bisa menstimulir kegiatan masyarakat, ikut memutar roda ekonomi, tersumbat entah di mana gara-gara mind yang mandek. Atau disumbat oleh ego?

Kasus paling mutahir dapat kita simak dari Arahan Presiden pada Sidang Kabinet Paripurna di Istana Negara 18 Juni lalu. Menurut video yang dilansir Sekretariat Negara, Presiden Jokowi menegaskan perlunya tindakan extraordinary untuk mengatasi krisis, jangan biasa-biasa saja. “Apa nggak punya perasaan, ini krisis.”

Saat mengatakan itu, telapak tangan kiri Jokowi tampak mengetuk-ngetuk podium, seperti bergetar menahan rasa kesal. Belanja di kementrian-kementrian juga dinilainya belum memperlihatkan kerja lebih baik, belum di atas standar normal, untuk penanganan krisis.

Contohnya bidang kesehatan, dianggarkan Rp75 triliun, antara lain untuk tunjangan para dokter, dokter spesialis, dan tenaga medis, serta keperluan peralatan. Baru keluar cuma 1,53 persen.

Bidang ekonomi juga, stimulus ekonomi perlu segara masuk ke usaha kecil, usaha mikro. “Jangan biarkan mereka mati dulu baru kita bantu. Tidak ada artinya,” kata Presiden. ”Saya ngomong apa adanya, tidak ada progres.”

A mind is terrible thing to waste. Kita semua tahu, para penanggungjawab di kementrian-kementrian yang disebut presiden tersebut tentunya memiliki skill dan kompetensi teknis – serta mungkin prestasi di masa lalu — yang hebat di bidang masing-masing.

Tapi, kalau kita lihat dari perspektif mind sebagaimana definisi di atas, ada indikasi mereka telah mengabaikan sejumlah faktor lain, termasuk rasa sebagai manusia dan moralitas profesi untuk mengatasi krisis. Mereka mungkin telah mengabaikan mind.

Kenyataan ini juga sekaligus membuktikan bahwa prestasi di masa lalu tidak bisa begitu saja diterapkan untuk mengatasi tantangan hari ini. Kelihatannya mereka perlu lebih rendah hati untuk mengasah batin, mind.

Kondisi tidak sehat semacam itu sepertinya symptom dari masalah fundamental yang melanda birokrasi di pemerintahan (di banyak negara di dunia), di beberapa usaha milik negara, dan bahkan di sejumlah organisasi bisnis swasta. Mereka sampai hari ini masih menganggap pengembangan para eksekutif hanya perlu dengan meningkatkan ketrampilan teknis.

Manusia dilihat dari satu aspek saja, yaitu terampil di bidang masing-masing sesuai fungsi mereka. Ini salah satu penyebab banyak bos kemudian mengalami leadership blind spot. Kehilangan arah dan melakukan eksekusi tidak efektif.

Jika semangat kerja di suatu organisasi berlama-lama seperti itu, bisa menyebabkan para karyawan mengalami burnout – kondisi psikis dan fisik sesorang yang tidak fit, atau tertekan, merasa hidup sia-sia. Galau.

Karena dihalangi untuk meningkatkan diri dalam upaya mengatasi realitas tantangan hari ini agar menjadi lebih berprestasi, lebih bermakna. (Stay Hungry & Kick Burnout in the Butt, Dr. Steven Berglas, 2018). UNCF eksis untuk mengatasi burnout yang dialami para remaja black American.

Bagaimana kalau pejabat publik yang memimpin kementrian banyak terkena wabah merasa paling pintar dan paling benar, lantas mengabaikan mind seutuhnya? Presiden bisa jadi mengalami burnout – upaya-upayanya untuk mengatasi krisis, membangun negara, seperti diganjal oleh perilaku kepemimpinan para team leader yang sudah dipercayainya dan mendapatkan keistimewaan dari anggaran negara.

A mind is terrible thing to waste. Ayo investasi untuk mind – karena semua unsur di dalamnya dapat dilatih —  agar bisa dapat dividen kemuliaan.

Mohamad Cholid  adalah Head Coach di Next Stage Coaching.

  • Certified Executive Coach at Marshall Goldsmith Stakeholder Centered Coaching
  • Certified Marshall Goldsmith Global Leadership Assessment
  • Alumnus The International Academy for Leadership, Jerman
- Advertisement -

More articles

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini

- Advertisement -

Latest article