Leadership Growth: Reaching Personal Mastery
Kolom Mohamad Cholid, Practicing Certified Executive and Leadership Coach
Peralihan kekuasaan kekaisaran Dinasti Qing (1644 – 1912) di China ke sistem republik merupakan tahun-tahun chaos. Selain akibat intrik politik, bisnis, dan seks di lingkungan istana, juga terjadi perebutan pengaruh antara pelbagai tokoh perubahan. Bahkan timbul perang saudara, antara kekuatan Partai Komunis China (yang akhirnya berkuasa sejak 1949 sebagai People’s Republic of China sampai hari ini) dengan Partai Nasionalis (yang kalah dan hengkang ke Taiwan, mendirikan Republic of China).
Tahun 1930-an, saat bangsa China berada pada posisi lemah dan tentara Jepang mulai merasuki dan merusak sistem sosial, ekonomi, politik di Mainland China, keseimbangan muncul di sektor martial arts.
Para pendekar hebat dalam bela diri yang umumnya oleh dunia luar dikenal sebagai kung fu, yang selama ini terpisah-pisah oleh aliran, keyakinan ajaran, dan geografi, menyadari pentingnya menggalang persatuan. Ada upaya menyatukan Aliran Utara dan Selatan, plus beberapa ajaran hasil pengembangan para master.
Untuk tujuan tersebut Gong Yutian, seorang master dari Utara, bertandang ke Foshan, salah satu kota yang sudah berkembang di zaman itu. Foshan di Provinsi Guangdong, sekitar 150-an km dari Hong Kong. Dikenal sebagai penghasil ceramic art, Opera Kanton, dan pusat pengembangan seni bela diri Wing Chun.
Tokoh penting dari Foshan yang di kemudian hari kondang secara internasional adalah Yip Man atau Ip Man (1 October 1893 – 2 December 1972). Ip Man lahir dan tumbuh dalam keluarga saudagar, ayahnya berdagang dengan orang-orang Hong Kong.
Memang hanya kalangan mampu dan terpandang yang boleh belajar wing chun waktu itu. Biaya pendaftarannya senilai dengan ongkos meminang wanita terhormat dan seleksi masuknya pun ketat, berdasarkan rekomendasi. Ip Man mulai berlatih saat berusia tujuh tahun.
Kehadiran Ip Man dalam ajang “kompetisi persahabatan” melawan Gong Yutian menjadi kabar baik bagi orang-orang China Selatan, dari lingkungan budaya Kanton. Ip Man mereka andalkan untuk mewakili para pendekar Selatan kerena sudah memiliki reputasi hebat, kendati usianya lebih muda dibandingkan pendekar-pendekar lainnya.
Setelah beberapa jurus pemanasan menghadapi “lawan tanding” secara bergantian tiga pendekar dengan sepesialisasi bagua, xingyi yang brutal, dan hung gar yang dikombinasi dengan 64 sodokan, Ip Man mendapatkan sokongan penuh untuk tampil menghadapi Grandmaster Gong Yutian, pendekar kung fu yang sekian lama tidak terkalahkan.
Selain berniat menyatukan ajaran kung fu Utara dan Selatan, Master Gong rupanya ingin pensiun dari kancah persilatan dengan adab yang baik. Ia mau memastikan dua hal.
Pertama, China tetap bersatu, perbedaan Utara dan Selatan dalam kung fu mesti disatukan demi ikut menjaga kesatuan bangsa (saat itu menghadapi Jepang).
Kedua, ia menginginkan penggantinya benar-banar layak, maka harus mengujinya langsung.
Dari interaksi antara Ip Man dan Master Gong – sebagaimana bisa kita tonton dalam film The Grandmaster (disutradarai Wong Kar-wai) dengan sinematografi sangat memikat – dapat kita nikmati indahnya seni bela diri jika sudah di taraf mastery. Tidak ada jurus-jurus adu teknis, apalagi gebuk-gebukan.
Benar-benar merupakan pertarungan kecerdasan, a battle of wits antara dua master, untuk menentukan siapa the grandmaster berikut.
Master Gong menyorongkon kue bulat (flat cake) dengan lengan lurus ke arah Ip Man, sembari mengatakan: “Mr. Ip, apakah Anda bisa mematahkan roti di tangan saya ini?”
Ip Man merespon tenang. Tangan kanannya maju seperti hendak memegang flat cake tersebut. Sebelum tersentuh, sekitar dua sentimeter di atas dan di bawah kue, telapak tangan dan ibu jarinya dia tarik. Gerakan itu dia ulang dengan tangan kirinya. Kedua telapak tangan dan ibu jari Ip Man sepertinya mengukur getaran energi yang melingkupi flat cake.
Selanjutnya adalah gerakan tai chi, adu nafas dan energi antara Master Gong dan Ip Man. Di kalangan para pendekar yang menyaksikan semua proses itu timbul kekhawatiran. Karena seorang tai chi master dapat menghentikan burung yang sedang terbang, tanpa memberi kesempatan hinggap di dahan atau ranting mana pun.
Ilmu Master Gong tinggi sekali, Ip Man bakal jadi seperti burung pipit di tangannya, demikian asumsi mereka.
Master Gong dan Ip Man sama-sama terus bergerak, rapat tanpa saling bergesekan. Gerakan tangan, lekukan badan, dan pergeseran talapak kaki demikian selaras (aligned) dalam tarian energi – ini mungkin yang disebut berkonsentrasi untuk adu tenaga dalam.
Pada satu sekuen, Ip Man berhasil menyentuh flat cake di tangan Master Gong yang sedang bergerak setinggi bahu. Kue bulat rata itu tetap utuh. Lalu keduanya sama-sama berhenti.
Ip Man buka suara: “Dunia demikian lebar, kenapa mesti dipersempit dengan batasan Utara dan Selatan. Itu akan mengganjal Anda maju. Bagi Anda, flat cake ini seperti sebuah negara. Bagi saya lebih dari itu. Berpisahlah dengan apa yang Anda ketahui, maka akan mendapatkan lebih banyak pengetahuan. Seni di Selatan lebih besar dari sekedar Utara dan Selatan. Apakah Anda setuju?”
“Pernyataan yang bagus,” jawab Master Gong, setelah menyimak sangat serius selama Ip Man berbicara. Ia melanjutkan: “Selama ini saya selalu menjadi pemenang. Jurus-jurus saya tidak pernah gagal. Saya tidak pernah berpikir dan menyadari betapa terbatasnya visi saya.”
Tiba-tiba flat cake di tangan Master Gong patah, persis di tempat yang disentuh Ip Man.
Master Gong berkata: ”Tuan Ip, hari ini saya menjadikan Anda termasyhur. Esok Anda akan menghadapi tantangan pada setiap langkah. Saya berharap Anda sudi membagikan cahaya dan mempertahankan keyakinan. Pertahankan obor tetap menyala.”
Keduanya saling memberi hormat dengan takzim, masing-masing dengan sedikit senyum. Master Gong kemudian balik badan, memberi hormat ke para pendekar yang menyaksikan seluruh proses tadi. Ip Man memenangi kompetisi dengan tetap menjaga kehormatan Master Gong. Menang tanpa ngasorake, kata orang Jawa.
Jadilah Ip Man the grandmaster. Setelah pindah ke Hong Kong, Ip man awal 1950-an mulai mempopulerkan wing chun, setelah sekian tahun kemudian melahirkan para pendekar baru, paling populer adalah Bruce Lee, yang mestinya sudah Anda ketahui melalui sederet film dan buku.
The Grandmaster memang film berdasarkan kisah hidup Ip Man, tentu dengan variasi setting dan interpretasi sutradara yang membuat cerita terhidang indah.
Kaitannya dengan kemampuan leadership para eksekutif? The Grandmaster mengingatkan beberapa hal yang sangat fundamental agar sukses memimpin menghadapi realitas hari ini.
Pertama, berani bertanya kepada diri sendiri setiap saat: Apakah kehadiran kita memberikan kabar baik bagi para stakeholder – teman sejawat, tim, atasan, pelanggan, pemasok, dan tentu keluarga kita? Apakah kita bisa menebar energi (pikiran, dana, waktu) bagi lingkungan kita, berkontribusi positif bagi masyarakat?
Dalam penyelenggaraan negara, apakah sebagai pejabat publik, apalagi sebagai presiden, kehadirannya mampu membahagiakan rakyat?
Kedua, tanggalkan rasa bangga sukses masa lalu, agar dapat mereguk sari kehidupan sekarang dengan lebih banyak lagi. Sanggup dan berani mengubah perspektif.
Dengan merelakan diri kita yang kemaren dan hari ini — utamanya berani menanggalkan semua perilaku dan pola pikir yang menghambat — kita dapat mengembangkan potensi-potensi positif dan menemukan diri kita yang lebih baik.
Ketiga, memimpin itu “sudi membagikan cahaya”, sebagaimana kata Master Gong Yutian. Atau elevating others, mengangkat derajat orang lain — ini merupakan bagian dari langkah pendakian setiap pemimpin.
“Leadership is moving from I to We, and me to service,” kata Alan Mulally, salah satu legenda hidup dalam percaturan bisnis di AS.
Sebagai CEO Ford Motor Company, waktu itu Alan berhasil mengubah perusahaan otomotif yang merugi belasan miliar (billion) US dolar tersebut menjadi profitable, mengatasi krisis tanpa sepeser pun menggunakan bantuan pemerintah. Sementara perusahaan otomotif lainnya memanfaatkan dana penyelamatan dari uang para pembayar pajak.
Hasil survei yang disponsori Accenture terhadap 200-an eksekutif di 120 perusahaan dan sejumlah organisasi multinasional lainnya di enam benua, menghasilkan kesimpulan: pemimpin di era global sepantasnya menguasai 15 kompetensi yang relevan.
Kompetensi yang sangat mendesak diterapkan sekarang minimal: memahami teknologi, bersikap inklusif (bebas dari batasan suku bangsa, agama, tingkat sosial, gender, ras, dll), dapat berkolaborasi dengan siapa pun, bahkan dengan kompetitor. Bersedia sharing leadership.
Untuk mampu memimpin mengatasi krisis, setelah mempelajari pelbagai strategi dan trik agar dapat lebih dari sekedar bertahan hidup, kita sepantasnya juga berupaya meraih Personal Mastery. Berani mengubah tradisi kepemimpinan sebagaimana selama ini diyakini, memperkuat leadership muscles sesuai tantangan hari ini.
Be a real person at the real time on the job. Ini dapat dilatih, sepanjang Anda cukup rendah hati, berani terbuka dan konsisten menjalaninya.
Mohamad Cholid adalah Head Coach di Next Stage Coaching.
- Certified Executive Coach at Marshall Goldsmith Stakeholder Centered Coaching
- Certified Marshall Goldsmith Global Leadership Assessment
- Alumnus The International Academy for Leadership, Jerman