Oleh Mohamad Cholid, Practicing Certified Executive and Leadership Coach
Padang Gurun Atacama seluas 1.600 km ada di sisi barat Pegunungan Andes, Amerika Latin. “Atacama Desert membuka mata saya. Ketika malam datang, saya seperti berada di sebuah cangkang bola raksasa dan ke segala arah saya melihat bintang-bintang,” kata Paimo, panggilan akrab Bambang Hertadi Mas dalam wawancara dengan media.
Mas Bambang Paimo, kera Ngalam (arek Malang) yang sekarang berusia 62 tahun, pada 2006 itu mengayuh sepeda touring biasa sepanjang sekitar 6.000 km. dari Bolivia, Argentina, ke Cile (atau Chile). Sebagai bike-packer sangat terlatih dan berpengalaman mengarungi berbagai kondisi alam dan budaya di benua dan negara di sisi Bumi yang lain, perjalanannya di Amerika Latin tersebut tampaknya paling menantang. Itu wilayah dengan ketinggian rata-rata 3.500 meter di atas permukaan laut, anginnya dingin dan oksigen tipis.
Suatu hari, setelah mengayuh 63 kilometer tanpa henti, saat melintasi Salar de Uyuni — padang garam yang meliputi kawasan lebih dari 10.000 Km, terluas di dunia, di Barat Daya Bolivia — Mas Paimo mengalami dehidrasi dan halusinasi. Nyaris saja tinggal nama. Intensitas pengalaman dalam perjalanannya tersebut ia bukukan, Bersepeda Membelah Pegunungan Andes (2012, Kompas).
Mas Paimo pada kesempatan lain mengatakan, bersepeda adalah caranya merayakan anugerah Tuhan. Keindahan alam Pegunungan Andes yang dahsyat, dengan bintang-bintang yang dilihatnya ada di segala arah malam itu, bisa jadi hanya salah satu puncak kenikmatannya bersepeda. Mas Paimo sudah mendaki 60-an gunung di pelbagai belahan dunia, 11 di antaranya dengan bersepeda, termasuk saat ke puncak Kilimanjaro, Tanzania, 1987.
Selain Mas Paimo, yang seperti sudah jadi legenda hidup di lingkungan pesepeda jarak jauh, ada sejumlah bike-packer hebat lain yang juga sudah menempuh pelbagai rintangan cuaca, perbedaan budaya, dan menemukan pelbagai hal yang sering tak pernah mereka bayangkan sebelumnya.
Dari generasi yang lebih muda, kita dapat menyimak antara lain Marlies Fenemma (gadis Belanda) dan Diego Yanuar (pemuda Indonesia), berangkat dari Belanda 2 April 2018 dan tiba di Jakarta 23 Februari 2019. Mereka merencanakannya sejak 2017. Dalam menempuh perjalanan sepanjang 15.000 kilometer untuk, kata mereka, mencari makna hidup itu, mereka menemukan banyak hal lain. Tema perjalanan mereka Everything in Between.
Marlies dan Diego membawa agenda tambahan, yaitu mengerahkan crowdfunding, berhasil mengumpulkan 15.000 Euro dan 100% diserahkan untuk tiga yayasan sosial di Indonesia, sebagaimana mereka sampaikan antara lain lewat YouTube.
Mas Paimo dan duet Marlies-Diego adalah contoh dari puluhan (atau sudah ratusan?) pesepeda jarak jauh, bike-packer, yang menempuh ribuan kilometer untuk merayakan kehidupan dan memastikan mereka eksis, berperan di Bumi. Bahkan ada yang berangkat naik sepeda ke Mekkah untuk ibadah umrah.
Setiap pesepeda memiliki alasan sendiri, cita-cita berbeda, dan cara eksekusi yang berlainan pula. Mas Paimo misalnya, untuk menghindari badai, kadang tidur di gorong-gorong.
Semua orang memiliki keistimewaan masing-masing. Namun, ada beberapa hal sama dari mereka yang patut kita pelajari. Di antaranya: perencanaan yang cermat dan lentur; keteguhan hati; kesediaan menjalani dan merasakan aneka hal baru di sepanjang rute; tingkat adaptasi yang tinggi; dan fokus. Mereka umumnya berdisiplin mengatur jadwal dan rutinitas menata persiapan harian.
Mereka, para bike-packer dari Indonesia dan negara lain, terbiasa merasa nyaman dalam ketidakpastian – menyangkut cuaca, iklim, dan terkait human relationship di wilayah yang bervariasi. Marlies dan Diego, misalnya, dalam perjalanan sempat mengalami pergulatan menghayati cuaca panas di gurun dan di waktu berbeda menghadapi badai salju.
Sebagaimana penuturuan sebagian dari mereka, menempuh ribuan kilometer, merambah pelbagai ketidaknyamanan dan tantangan, merupakan bagian dari proses menggali dimensi-dimensi baru dalam kehidupan dan menemukan jati diri. Mengelola kecemasan, merangkul ketakutan dengan bijak, jadi menu rutin.
Semua unsur positif untuk meningkatkan kualitas mental tersebut merupakan bekal wajib bagi yang memilih – atau bersedia — berperan sebagai pemimpin. Apalagi saat krisis akibat pandemi yang menghadirkan sederet ketidakpastian sekarang.
Apakah mereka menjadi Werkudara – dikenal juga sebagai Bima – yang harus melewati pelbagai tantangan, pertempuran, sebelum menemukan Dewa Ruci?
Atau mereka semacam Odysseus abad ini?
Sebagaimana dituturkan dalam puisi epik Odyssey karya Homer di masa Yunani Kuno, 10 tahun keberangkatan untuk perang dan 10 tahun perjalanan pulang Odysseus dari Perang Troya merupakan pergulatan batin tak berkesudahan untuk akhirnya ia tiba kembali di Ithaca.
Dalam bagian akhir penuturan Homer, yang sering luput dari perhatian, ada pembelajaran penting. Sehari setelah tiba di istana dan duduk di singgasana, Odysseus mengatakan kepada istrinya untuk berangkat lagi membuktikan kehebatannya dalam pertempuran-pertempuran lain. Ia tidak betah hidup tenang. Jiwanya menderita untuk berdamai dengan dirinya dan menghayati BE – ing. Ia memilih chaos untuk membuktikan dirinya eksis.
Perilaku semacam itu banyak menjangkiti para super achiever, orang-orang yang merasa harus terus-menerus hidup dalam pola “RPM tinggi”, menciptakan proyek-proyek baru yang menantang, bahkan mengabaikan feasibility study dan pertimbangan non-financial untuk memastikan dirinya lebih hebat dari yang lain.
Mereka terkena wabah achiever disease. Banyak organisasi bisnis, nonprofit, dan institusi pemerintahan mengalami kerugian akibat perilaku pimpinan semacam itu. Di antara Anda barangkali punya pengalaman kerja dengan pimpinan semacam itu – atau Anda sempat terjebak dalam perilaku demikian?
Hidup tenang bersama keluarga, aktif untuk jadi lebih bermakna dengan memberikan kontribusi positif membangun komunitas, bagi mereka bisa merupakan ancaman eksistensial. Hari ini masih dapat kita temui orang-orang yang berburu sukses demi sukses seperti mengejar cakrawala – menikmati ketegangan, sensasi batin di dalamnya, dan melupakan keluarga. Mereka bahkan menganggap tim sebagai alat mencapai target, bukan mitra membangun akuntabilitas. Akhirnya, akuntabilitas mereka sangat diragukan.
Barangkali mereka perlu belajar pada Mas Paimo, yang masih tetap merindukan keluarga dan menikmati hidup wajar. Selama bersepeda di wilayah yang sangat mendebarkan dan seperti bertaruh nyawa di Pegunungan Andes, saat jeda dan bisa menemukan warnet, ia sempatkan berkabar ke Indonesia.
Ia juga bisa melucu. Ketika ngaso di sebuah perkampungan menjelang Kota Osorno, Mas Paimo sempat dijamu oleh Jose Govina, seorang pensiunan pasukan kavaleri. Di tengah waktu ngobrol, kerabat Govina berdatangan, di antara mereka beberapa wanita berparas elok. Sebagaimana tradisi mereka, ada cipika-cipiki. “Coba mereka tahu aku tidak mandi selama beberapa hari. Pasti mereka kabur, takut iritasi …,” tutur Mas Paimo.
Intinya adalah bagaimana menjaga keseimbangan. “There is no greatness if we cannot BE,” kata Lucius Annaeus Seneca, filsof dan negarawan di Masa Kekaisaran Roma.
Mohamad Cholid adalah Head Coach di Next Stage Coaching.
- Certified Executive Coach at Marshall Goldsmith Stakeholder Centered Coaching
- Certified Marshall Goldsmith Global Leadership Assessment
- Alumnus The International Academy for Leadership, Jerman