Prof. Muhammad: Pejabat publik harus siap diawasi performanya oleh publik.
Individu yang secara sadar telah mengikuti seleksi untuk jabatan-jabatan publik atau mungkin dipercaya negara tanpa seleksi, tentu konsekuensinya harus siap untuk diawasi. Tidak berada dalam ruang hampa, sebagai figur atau tokoh maka harus siap diawasi oleh publik performanya.
Hal ini disampaikan oleh Ketua Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP) Prof. Muhammad saat menjadi narasumber Diskusi Publik Virtual: Urgensi Pelembagaan Peradilan Etika Dan Transparansi Persidangan Peradilan Etika yang diadakan oleh Jimly School of Law and Government (JSLG)-Konrad Adenauer Stiftung (KAS) Jakarta, 13 Agustus 2020.
Menurut Muhammad, pandangan publik itu pasti beranekaragam, namun Prof. Jimly sebagai guru bangsa selalu menghibur. “Saudara Muhammad, kalau DKPP dikritik, pada waktu anda di Bawaslu anda juga dikritik. Ini memang sudah karena kondisinya, karena anda secara sadar berkompetisi untuk jabatan publik itu. Bahkan beliau sering mengingatkan kita bahwa kalau tidak mau dikritik, ya jangan terlibat dalam jabatan-jabatan publik, tinggal di rumah saja sudah selesai, tidak ada yang mengkritik,” kata Muhammad menirukan ucapan Prof. Jimly.
Terkait KPU, Bawaslu dan DKPP atau jabatan-jabatan publik lain yang sering dikritik, diberi masukan, atau kadang-kadang agak ekstrim dibully, Muhammad mengulang riwayat yang diabadikan dalam beberapa kitab, yakni cerita tentang Lukmanul Hakim dan putranya dengan seekor Keledai.
“Penggalan kisah Lukmanul Hakim ini menghibur saya dan teman-teman DKPP, teman-teman KPU dan Bawaslu bahwa pasti ada kelompok orang yang tidak setuju dengan apa yang kita perbuat, tetapi pertanyaan kita tadi sudah dijawab oleh Prof Jimly jika dua pendekatan yakni rule of law dan rule of Ethics dipakai sebagai pedoman, Insya Allah kita tetap percaya bahwa ini adalah keputusan yang terbaik,” lanjut Muhammad.
Lanjut Guru Besar Ilmu Politik Universitas Hasanuddin ini bahwa DKPP periode 2017-2022 melanjutkan karpet merah yang dibuat oleh Prof Jimly. Selain DKPP, belum ada satu contoh lembaga yang jika dinilai secara kasat mata melakukan sistem peradilan etik secara transparan, kecuali terkait dengan masalah asusila, kasus-kasus pelecehan seksual. Hal ini dilakukan untuk menjaga kehormatan wanita atau untuk menjaga hal-hal yang dikhawatirkan bisa mengganggu harga diri perempuan dan laki-laki. Oleh karena itu sidang dilakukan secara tertutup.
“Jika menyangkut dengan kasus-kasus pelecehan seksual tentu tidak bisa terlalu terbuka karena hal ini bisa menyangkut nama baik orang, tapi selain itu sejak era Prof Jimly, Pak Harjono, dan kami bertujuh melakukan persidangan secara terbuka,” tambahnya.
Kenapa demikian? Sambung Muhammad adalah karena filosofinya yang diletakkan oleh Prof. Jimly dan anggota DKPP periode pertama bahwa KPU-Bawaslu sudah mendeclare bahwa mereka bekerja berdasarkan amanah konstitusi, berdasarkan amanat peraturan etika dan kode perilaku, apa yang diyakini dan dipraktikkan itu harus diuji.
“Apa benar teman-teman KPU Bawaslu sudah bekerja dalam prinsip-prinsip rule of law dan rule of ethic? Yang menguji ini bukan anggota KPU yang lain atau bukan anggota Bawaslu yang lain atau bukan DKPP. Yang menguji adalah masyarakat ketika ada laporan, kemudian DKPP melakukan proses verifikasi formil dan verifikasi materiil, kemudian membukanya dalam sebuah sidang terbuka,” tambahnya.
Webinar ini menghadirkan narasumber selain Prof. Jimly Asshiddiqie juga Ketua Komisi Yudisial (KY) Dr. Jaja Ahmad Jayus, SH., M.Hum. Adapun tujuan diselenggarakannya webinar adalah untuk menggali gagasan pelembagaan peradilan etika di Indonesia, mencari format mekanisme, prosedur, atau hukum acara pada peradilan etika dan merumuskan policy paper guna mendorong pelembagaan peradilan etika sebagai penopang negara hukum yang demokratis.