Minggu, November 17, 2024

Untuk atasi gagal paham, akui saja fakta

Must read

#SeninCoaching 

#Leadership Growth: Bridging the Chasm

Oleh Mohamad CholidPracticing Certified Executive and Leadership Coach

Belum lama berselang, sebuah grup media besar yang sudah masuk pasar modal mengalami kerugian signifikan (puluhan miliar). Seorang wartawan senior di bidang ekonomi dan bisnis, yang juga sudah belasan tahun menekuni dinamika bursa saham, menuliskan analisis yang tajam mendalam. Memberikan pencerahan, sebenarnya. Bagaimana sebaiknya menghadapi realitas kompetisi hari ini dengan elegan dan cerdas.

Tapi respon presiden komisaris perusahaan media tersebut tampaknya kurang ksatria. Dalam suatu forum di kalangan praktisi bisnis media, Mr. Preskom bertubi-tubi menyodorkan info sejumlah perusahaan lain, di sektor industri berbeda, yang juga mengalami kerugian dalam satu semester terakhir. 

Mudah sekali ditebak. Mr. Preskom sedang berkelit sambil meyakinkan audience bahwa perusahaan yang berada di bawah tanggungjawabnya ternyata tidak bebas dari dampak situasi ekonomi nasional. Seperti mengharapkan pengesahan, kerugiannya dapat diterima.

Menurut Anda bagaimana, apakah perilaku semacam itu dapat kita anggap pantas atau menimbulkan keraguan efektivitasnya sebagai seorang pemimpin? 

Kerugian dalam suatu perjalanan usaha sesungguhnya merupakan urusan yang kadang tidak dapat kita hindari. Penyebabnya bisa berupa apa saja, faktor-faktor internal dan eksternal.

Pilihannya, kita mau bersikap defensif, menyalahkan pihak lain atau situasi, cari-cari alibi, berupaya menyangkal realitas atau, sebaliknya, mampu membuktikan ada ownership atas kerugian tersebut, bertanggung jawab sebagai pemimpin, dan akuntabel?

Mudah-mudahan Anda sependapat, kerugian dalam bisnis itu suatu event. Akui sajalah. Hadapi fakta-fakta pahit di depan mata, face the brutal facts, kata Prof. Jim Collins, pengajar pasca sarjana bisnis di Stanford University AS. Tidak perlu menyalahkan pihak lain dan mencari-cari alibi, karena alibi tidak dapat mengubah fakta sama sekali.

Kecenderungan menuding pihak lain atau peristiwa, seperti kondisi ekonomi dan situasi politik, sebagai biang kerugian, atau berupaya meyangkal adanya kekeliruan dalam perilaku kepemimpinan di suatu institusi, serta mencari-cari excuses untuk bersembunyi dari realitas, ternyata juga mewabah di pimpinan lembaga nonprofit dan kalangan para pejabat publik.

Coba kita simak di sekililing kita, berapa kali dalam satu pekan kita dapati orang-orang yang kebetulan berada pada posisi pimpinan, terlibat dalam perilaku seperti itu: menyangkal, cari-cari alasan dan alibi, serta menyalahkan pihak di luar dirinya atas suatu kejadian di wilayah tanggungjawab mereka. Ini memang bukan kejahatan, tapi berbahaya. Orang-orang tersebut bisa saja secara pribadi baik, sopan, dan hidup normal dengan keluarganya.

Pertanyaannya, mau sampai kapan perilaku kepemimpinan tersebut dapat ditolerir? Berapa banyak kerugian finansial, tangible, serta dampak negatif pada yang intangible – termasuk nasib ratusan atau ribuan karyawan – harus dipikul suatu organisasi akibat orang-orang yang dalam posisi pimpinan kurang akuntable, suka berkelit dari fakta? Kalau di institusi publik, perilaku semacam itu dapat menimbulkan dampak negatif bagi jutaan manusia.

Pexels

Dari pelbagai riset, penggalian mendalam dari ribuan interaksi dengan orang-orang dalam posisi pimpinan, dapat dilacak sejumlah faktor bermiripan yang menyebabkan seseorang suka ngeles dari fakta, cari alibi, dan gemar menuding pihak lain atas menurunnya kinerja organisasi. Di antaranya:

Pertamasilo thinking, sering disebut juga silo mentality. Ini tabiat para key person di suatu organisasi yang enggan berbagi atau menggunting informasi tentang kepentingan utama organisasi kepada tim, apalagi tim di luar divisinya. Mereka pikir, memendam informasi mempelihatkan kekuasaan. Perilaku semacam ini berkontribusi merusak budaya organisasi. 

Keduasindrom bintang. Kecenderungan para bos memilih dikerumuni para pendukung – atau sebenarnya para penjilat? Orang-orang yang berpikiran kritis, berani berpendapat beda demi kepentingan jangka panjang organisasi, malah dianggap sebagai ancaman – bahkan bisa disudutkan di pos kurang signifikan, jauh di bawah level kompetensi yang bersangkutan. Bos khilaf, bahwa penyeragaman cara berpikir adalah penyebab tim tumbuh tidak sehat. Pikiran para key person tidak pernah diasah dalam perdebatan yang konstruktif.  

Ketiga, ini bisa jadi ekses dari sindrom bintang. Pimpinan menikmati jadi sosok top dalam pergaulan elite (di lingkungan bisnis, politik, dan pemerintah). Sibuk ke sana-sini, sering muncul dalam talk show di televisi atau radio, selalu hadir dalam event penting yang diberitakan media. Ada kebutuhan yang mendesak untuk memperoleh pengesahan atas jabatannya, mungkin juga prestasinya, dari orang-orang atau lembaga yang ditemuinya.

Ada yang bilang, seorang bos sebaiknya bisa juga dong jadi diplomat untuk organisasinya. Fine. Tapi tidak berarti harus hidup di awang-awang terus. Kalau kelebihan porsinya, dapat mengakibatkan organisasi jadi korban. 

Ingat Lee Iacocca, salah satu top executive legendaris di dunia? Di puncak karirnya – setelah beberapa kali berprestasi cemerlang – ia terpeleset, bisnis yang dikelolanya kehilangan fokus dan merugi, karena ia sibuk jadi orang tenar. Di Indonesia ada juga kasus yang mirip, ketika seseorang demikian tenar dan “sangat sibuk di atas panggung”, lalai pada tanggung jawab utamanya, para pemegang saham mayoritas akhirnya memintanya mundur.  

Pernyataan “Power tends to corrupt, and absolute power corrupts absolutely”, sebagaimana disampaikan oleh Sir John Dalberg-Acton di Abad 19 silam, sesungguhnya mengacu pada arti ini: “whenever a person has power over other people or things, it makes him/her corrupt. It morally destroys their nature and fills them with destructive pride.” 

Karena merasa berprestasi, sukses, dan punya jabatan penting, apalagi jadi top dalam pergaulan kalangan elite, seseorang cenderung bisa merusak diri mereka sendiri. Akibatnya suka berkelit jika realitas yang dihadapi organisasi dan dirinya ternyata pahit. Lalu menyusun alibi, kalau perlu menyalahkan keadaan, atau bahkan ada yang memaki-maki anak buah.

Solusinya bagaimana? Tentu bertindak sebaliknya, yaitu berani menghadapi realitas apa adanya, ambil alih tanggung jawab, tidak perlu menyalahkan pihak lain, dan accountable. Kelihatannya sederhana, namun banyak orang yang mengaku dirinya pemimpin masih sulit melaksanakannya. Termasuk para pejabat di sektor publik.

Ketika bisnis mengalami kerugian, misalnya, atau ketika kebijakan yang dikeluarkan ternyata membahayakan kepentingan publik, ya akui saja fakta tersebut. Tidak perlu cari alibi atau berupaya memoles lewat kampanye public relation agar seolah-olah tidak terjadi masalah. Rugi usaha itu, atau kagalauan publik tersebut, adalah akibat, atau symptom di permukaan. Dengan mengakui fakta, kita akan lebih leluasa menemukan penyebab utamanya apa saja.

Ketimbang menuding pihak lain atau faktor ekonomi, politik, mungkin juga sosial, lebih baik energinya dipakai untuk bercermin. Di antaranya cek ulang, tindakan apa saja yang seharusnya dilakukan untuk meningkatkan efisiensi operasional dan efektivitas kerja, tapi belum dikerjakan – apakah itu gara-gara approval dari bos tertunda-tunda (karena “sibuk”)?

Perilaku kepemimpinan apa saja yang sepatutnya dihentikan, diubah, agar proses pengambilan keputusan berjalan efektif, transparan, tidak menimbulkan kondisi “gagal paham” dalam pelaksanaannya, di semua level dan semua lini. Cara ini dapat membebaskan tim dari jebakan silo mentality – perlu kita camkan, jalan ini juga dipakai Ford Motor Company saat harus bangkit dari kondisi terpuruk menjadi profitable.

Konsistensi eksekusi menyangkut hal yang benar dalam waktu yang tepat adalah kunci menuju sukses. Strategi hebat sekalipun pada akhirnya akan melempem kalau tidak ada disiplin dalam eksekusi yang diukur secara periodik, minggguan atau minimal sebulan sekali.  

Ini lebih tentang bagaimana meningkatkan efektivitas kepemimpinan. Kalau Anda serius mau berperilaku lebih efektif, libatkan stakeholders untuk membantu. Minta para direct reports, peers, atasan untuk memberikan feedback dan feedforward secara rutin, perilaku  kepemimpinan apa saja yang harus kita ubah agar jadi lebih efektif memimpin.

Para pemimpin kelas dunia, seperti Direktur Bank Dunia ke-12 Dr. Jim Yong Kim dan Alan Mulally (yang saat jadi CEO Ford, 2006 – 2014, berhasil mengubah perusahaan merugi belasan milyar dolar menjadi profitable) sudah membuktikan hasil metode pengembangan efektivitas kepemimpinan mereka dengan melibatkan stakeholders. Langkah pertama: akui fakta apa adanya dan berani terbuka, serta rendah hati mengakui perlu pertolongan.

Itu common sense dan sederhana? Ya. Tapi belum common practice, karena ternyata sulit.

Mohamad Cholid adalah

  • Member of Global Coach Group (globalcoachgroup.com) 
  • Head Coach di Next Stage Coaching.
  • Certified Executive Coach at Marshall Goldsmith Stakeholder Centered Coaching
  • Certified Marshall Goldsmith Global Leadership Assessment 
  • Alumnus The International Academy for Leadership, Jerman
- Advertisement -

More articles

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini

- Advertisement -

Latest article