Gurubesar hukum Universitas Gadjah Mada menyerukan pembangkangan sipil untuk menentang Omnibus Law. Apa itu “pembangkangan sipil”? Pembangkangan sipil (civil disobedience) adalah satu bentuk protes warga negara terhadap pemerintahnya: secara sengaja warga melanggar hukum/aturan dan menolak perintah.
Cara membangkang paling lunak: menolak membayar pajak. Cara lain lebih keras: mogok kerja, vandalisme ruang publik, memboikot dan mensabotase program-program pemerintah.
Ini bentuk perlawanan tanpa kekerasan (non-violence). Dalam pembangkangan sipil, warga menerima konsekuensi untuk ditahan dan dipenjarakan ketika melanggar hukum. Pembangkang tidak melawan ketika ditangkap.
Jika terjadi pembangkangan cukup luas, pemerintah akan dihadapkan pada pilihan memenuhi tuntutan atau memenjarakan sebanyak mungkin orang.
Istilah “civil disobedience” dipopulerkan oleh Henry David Thoreau (1817–1862), pujangga dan pecinta alam asal Amerika, ketika memprotes perbudakan dan menolak Perang Amerika-Meksiko (1846-1848).
“Jika mesin pemerintahan menuntut kita menjadi agen ketidakadilan terhadap orang lain,” kata Thoreau, “maka, saya katakan, mari kita langgar hukum.”
Gagasan pembangkangan sipil Thoreau ini mengilhami Mahatma Gandhi ketika melawan kolonial Inggris di India, dan Martin Luther King Jr, ketika memprotes rasialisme di Amerika Serikat. (Farid Gaban)