Syahganda Nainggolan dan beberapa deklarator Koalisi Aksi Menyelamatkan Indonesia (KAMI) ditangkap polisi. Ia ditangkap dengan tuduhan melanggar UU Informasi Transaksi Elektronik (ITE). Cuitan dia di Twitter, menurut polisi, berisi kabar bohong (hoaks) dan menyebarkan kebencian.
Inilah untuk kesekian kalinya, UU ITE dipakai untuk meredam protes dan kebebasan berpendapat di media sosial. Undang-undang ini sudah selayaknya dihapus atau direvisi total karena mengancam demokrasi.
Saya tidak mendukung KAMI, koalisi yang dibentuk oleh mantan Panglima TNI Gatot Nurmantyo dan tokoh Muhammadiyah Din Syamsudin. Bahkan saya bertentangan pendapat dengan mereka. Namun, menurut saya, adalah hak mereka sebagai warga negara untuk menyuarakan protes dan mengungkapkan ekspresi politiknya.
Sama halnya, saya mendukung kebebasan berekspresi para pengusung khilafah (HTI) maupun pengusung komunisme (PKI), meski saya tak menyetujuinya. Pikiran dan gagasan tak boleh dipidanakan. Kebebasan berserikat dan berorganisasi dilindungi konstitusi.
Polisi dan pengadilan kelak harus membuktikan apakah Syahganda dan kawan-kawan benar melakukan seperti yang dituduhkan. Tapi, menurut saya, penangkapan para pentolan KAMI itu lebih bermotif politik ketimbang hukum.
Mereka ditangkap di tengah maraknya demonstrasi anti-Omnibus. Dengan timing seperti itu, polisi ingin memberi bukti kuat kepada publik: bahwa demonstrasi buruh dan mahasiswa benar-benar ditunggangi.
Tidak penting apakah tuduhan itu benar. Pemerintah bermain di tingkat persepsi politik. Tujuannya memang untuk mendiskreditkan para demonstran: bahwa mereka cuma boneka yang digerakkan para dalang.
Ini salah satu langkah culas pemerintah untuk meredam protes.
Demonstrasi anti-Omnibus sudah berlangsung sejak awal tahun ini di berbagai daerah. Demo-demo tadi cenderung meluas jika saja wabah Covid tidak mengganas. Demo surut akibat wabah.
Sementara itu, KAMI baru dideklarasikan pada Agustus 2020, dan jarang sekali saya mendengar para tokohnya membicarakan Omnibus.
Saya sendiri sudah menulis kritik soal Omnibus beberapa bulan lalu. Dan bahkan ikut turun ke jalan bersama mahasiswa di Gejayan, Yogyakarta, Maret lalu. (Pada waktu itu sudah ada beberapa kajian yang menjadi dasar untuk menolak UU kontroversial ini).
Omnibus sudah kontroversial sejak awal. Sangat mudah memperkirakan mengapa muncul demo yang begitu besar dan begitu luas ketika UU Omnibus disahkan.
Yang lebih gila: UU kontroversial ini disahkan di kala pandemi, seperti sengaja memanfaatkan kesempitan orang untuk protes akibat ancaman pandemi dan kesulitan ekonomi.
Tak ada satupun pihak bisa menunggangi demonstrasi yang demikian luas hingga ke kota-kota kecil.
Kini menjadi jelas, pemerintah dan DPR kewalahan menjelaskan berbagai kejanggalan dalam penyusunan dan pengesahannya. Sudah jelas pula, UU ini disahkan tanpa anggota DPR tahu isinya. Salah satu skandal legislasi terbesar.
Keteteran dan belangnya ketahuan, pemerintah memerlukan kambing hitam untuk mendiskreditkan protes buruh serta mahasiswa. Tapi, itu justru makin menunjukkan betapa dekaden pemerintahan ini. (Farid Gaban)