Terlepas dari kontroversi pro-kontra konser Lady Gaga di Jakarta, namun setidaknya musik merupakan karunia terindah bagi umat manusia. Lady Gaga merupakan contoh kecil dari perjalanan dinamika musik dunia. Setidaknya, semua genre musik berpotensi akan hal itu, yang jelas industri ini akan terus melaju bak roket.
MUSIK memang memberikan nuansa tersendiri bagi kehidupan umat manusia. Konon, alunan nada yang tercipta dari sebuah musik mampu memberikan ketenangan alias relaksasi bagi penikmatnya. Nada yang keluar mampu menciptakan stimulus menenangkan kepada otak manusia yang menimbulkan perasaan senang. Benarkah?
Setidaknya anggapan itu diamini oleh sejumlah penelitian yang mendukung hal tersebut. Misalnya seperti penelitian yang dilakukan di Kanada, tepatnya di The Neuro and at the Centre for Interdisciplinary Research in Music, Media, and Technology (CIRMMT) dan didukung oleh Canadian Institutes of Health Research, the Natural Science and Engineering Research Council, dan CIRMMT.
Para peneliti melakukan riset secara ilmiah bagaimana musik bisa menjadi obat bagi tubuh manusia. Dari hasil riset tersebut menjelaskan bahwa musik dapat membuat otak melepaskan senyawa yang membuat manusia dalam keadaan senang, entah apapun genre musik tersebut. Musik yang indah sudah pasti tak lekang ditelan zaman.
Seiring perjalanan waktu, genre musik tertentu pasti memiliki fans fanatik yang tak dibatasi benua. Berangkat dari pemikiran tersebut, Indonesia merupakan salah satu “surga” bagi pemusik. Mengapa? Belakangan ini industri musik tengah menggeliat bak macan yang bangun dari tidurnya. Para pecinta musik di Indonesia tumbuh subur layaknya jamur di musim hujan. Hal ini merupakan captive market yang subur bagi para pelaku bisnis di industri musik.
Alhasil, sederet konser baik dari musisi lokal hingga musisi internasional pun sukses berat. Tahun 2011 lalu merupakan “Tahun Konser” di Tanah Air. Hampir semua konser yang berasal dari genre musik berbeda menuai sukses. Harga tiket yang menguras kantong pun tak menjadi masalah bagi penikmatnya. Entah itu konser tunggal, atau pun konser yang bersifat festival, semua ludes dilahap penonton!
Pangsa pasar penonton konser seakan tak redup walau kondisi makro ekonomi belum menunjukan perbaikan yang berarti. Dengan populasi yang begitu besar, Jakarta adalah pangsa pasar yang menggiurkan bagi para promotor. Semua genre musik memiliki pangsa pasar yang kuat. Sebut saja konser Janet Jackson yang digelar di Jakarta Convention Center (JCC) beberapa waktu silam, kendati tiketnya dibanderol hingga paling mahal Rp5 juta, namun tetap saja konsernya penuh sesak.
Sementara itu, konser dari aliran musik cadas diwarnai dengan band legendaris Iron Maiden. Konser band asal Inggris ini digelar di Pantai Carnaval, Ancol. Walau band ini tergolong tua, namun ribuan anak muda tetap saja memadati konsernya.
Begitu pula dengan konser Linkin Park yang digelar di Stadion Utama Gelora Bung Karno. Walau harga tiket yang termahal melejit hingga Rp4,5 juta, namun hal itu tak menyurutkan animo penggemarnya untuk menghadiri konsernya.
Konser penyanyi ABG, Justin Bieber, juga menjadi fenomena tersendiri. Histeria basis fans-nya yang cenderung ABG ini seakan tak terbendung. Kendati konsernya dilangsungkan agak jauh dari Jakarta, yaitu di Sentul International Convention Center (SICC), namun tetap saja para ABG itu memburunya.
Setali tiga uang, konser itu meraup pangsa pasar dobel. Pasalnya, banyak dari mereka yang menyaksikan konser itu diantar oleh orangtuanya. Alhasil, mau tak mau sang orangtua pun harus membeli tiket juga untuk dirinya. Konser Fatboy Slim dan Pitbull juga menjadi warna tersendiri dari genre musik yang ada. Nafas musik mereka yang berbau “elektronik” bisa jadi merupakan magnet tersendiri bagi penggemarnya.
Maklum, musik bernuansa dance elektronik tersebut memang tengah menjadi primadona, khususnya sebagai lagu pengiring di dance floor pada klub-klub berbasis diskotek ataupun lounge.
Seperti diketahui, sebuah konser memang tak harus dilakukan di area outdoor raksasa berkapasitas ribuan orang. Ballroom hotel berbintang pun bisa menjadi venue pilihan. Selain menjadikan konser tersebut lebih eksklusif, umumnya target market yang datang juga berasal dari kalangan berduit.
Alhasil, musisi yang menggelar konser di ballroom hotel pun memiliki genre musik yang terkesan elegan, alias jauh dari nuansa hingar bingar. Sebut saja Andrea Bocelli yang beberapa waktu silam menggelar konser di Ritz Carlton Pacific Place, Jakarta. Pertunjukannya kala itu cukup sukses. Bahkan yang mencengangkan adalah harga tiket konsernya yang dibanderol hingga Rp11 juta untuk kelas yang termahal.
Setelah beberapa bulan berselang, kesuksesan Andrea Bocelli juga diikuti oleh penyanyi kharismatik, Julio Iglesias. Penyanyi latin ini juga menggelar konser di venue yang sama. Basis penggemarnya pun beragam, mulai dari kalangan paruh baya hingga anak muda. Hebatnya, penampilan Julio tetap memikat dan menghadirkan histeria tersendiri bagi fans dari kalangan wanita.
Musisi Jawa Ayo Bangkit!
Sebenarnya, jika kita mau jujur, banyak dari musisi kita yang memiliki basis penggemar kelas internasional. Sebut saja Didi Kempot yang telah sukses menaklukan pasar internasional dengan pendekatan musik Pop Jawa dalam kemasan Campursari sebagai ciri khasnya. Perjalanan karier pria kelahiran Solo, 31 Desember 1956 ini terbilang keras, sebelum akhirnya ia menuai sukses.
Pemilik nama lengkap Didi Prasetyo Lilik Sentot Martinus ini memulai karier musiknya dengan mengamen di kota Solo sejak tahun 1984. Kala itu ia kerap menyanyikan lagu bernuansa budaya lokal Jawa seperti Gundul-Gundul Pacul yang musiknya disulap menjadi langgam keroncong dangdut. Beberapa tahun kemudian, ia pun mengadu peruntungannya untuk hijrah ke Ibukota.
Ia sadar bahwa bertahan hidup di Jakarta dengan mengamen sangatlah sulit. Namun semangat hidupnya untuk terus berkarya mengalahkan segalanya. Hingga suatu hari nasibnya mulai berubah ketika ia berjumpa dengan Is Haryanto dan menawarinya untuk show di Suriname.
Tak disangka, ia menerima kabar bahwa lagunya yang berjudul We Cen Yu sangat digemari masyarakat di sana. Tanpa pikir panjang, tawaran show itu pun langsung diambilnya dan berjalan sukses.
Selanjutnya, hampir tiap tahun Didi menggelar show di sana. Setiap show menyita waktu sekitar empat bulan, dan di sela waktu itulah Didi menggeber produktivitasnya untuk menciptakan lagu, hingga Didi akhirnya berhasil masuk dapur rekaman.
Tercatat, hingga saat ini sudah belasan album yang dihasilkan di sana. Banyak lagunya disukai masyarakat Suriname yang sebagian penduduknya keturunan Jawa. Atas prestasinya itu, Didi pun pernah dinobatkan sebagai artis Teladan Pop Jawa. Bahkan, Presiden Suriname waktu itu pernah memberi penghargaan Gold Man. Selain Didi Kempot, kini juga ada generasi muda yang mulai eksis dengan mengusung konsep musik hip hop modern namun kental dengan nafas “Jawa”.
Adalah Jogja Hip Hop Foundation (JHF) yang dimotori Mohammad Marzuki alias Kill The DJ. Komunitas ini berdiri sejak 2003, terdiri atas Kill The DJ, Jahanam, dan Rotra. JHF diniatkan sebagai ajang berdialektika musisi yang ingin berhip-hop dengan bahasa Jawa.Bulan April lalu mereka sukses menggelar konser bertajuk ”NewYokarto: Orang Jawa Ngerap di New York” yang digelar di Taman Ismail Marzuki, Jakarta. Tiketnya pun ludes dibeli penggemarnya.
Padahal, konser mereka digelar bersamaan dengan konser boy band dari Korea, Super Junior. Kesuksesan konser mereka pun patut diacungi jempol, bahkan pentas tersebut memiliki gaung hingga ke mancanegara.
Secara pangsa pasar, JHF memang memiliki tantangan besar guna menembus industri Pop Indonesia. Kendati demikian, unsur “Jawa” yang lekat dengan nuansa karakter mereka bisa jadi adalah nilai tambah tersendiri bagi pangsa pasar di luar negeri. Pasalnya, unsur tersebut memiliki nilai eksotisme dan sajian dimensi berbeda di telinga para penikmatnya.
Musik Hip Hop berbasis rap yang mereka tawarkan tidak serta-merta melenggang ke dunia internasional. Insting bermusik mereka harus jeli dan dimulai dari bawah. Semula JHF mengawalinya dengan menggelar acara yang bersifat patungan di Yogyakarta. Kemudian bisa pentas di Jakarta dan mendapat sponsor ke Esplanade Singapura, hingga akhirnya bisa konser di New York Amerika Serikat, Negeri asal Hip Hop.
Konsep “Jawa” yang diusung Marzuki cs memang cukup strategis dan tepat sasaran. Mereka juga cukup agresif dalam membangun eksistensinya dengan membuka diri terhadap kerja sama lintas seni. Misalnya, melalui acara Poetry Battle yang digelar sejak 2006 hingga 2009. Ajang ini memberi kesempatan musisi Hip Hop Jogja bersinggungan dengan para penyair, seniman, dan budayawan. (Iwan Suci Jatmiko)
(KABARE, Juni 2012)