Jumat, November 22, 2024

Dinasti politik boleh tidak, mau atau ogah…

Must read

#SeninCoaching

Mohamad Cholid, Practicing Certified Executive and Leadership Coach

Hasil jajak pendapat Litbang Harian Kompas tentang dinasti politik belum lama ini telah berkembang biak menjadi percaturan pikiran yang menarik. Sebagaimana dikutip dua koran berbahasa Inggris yang dikenal reliable, yaitu The Jakarta Post (thejakartapost.com) dan South China Morning Post (scmp.com/ week-asia/ politics), disebutkan “many Indonesians fed up with political dynasties”.

Menurut jajak pendapat tersebut, “nearly 61 percent of the total 553 polled respondents said they did not like the idea of family members of political leaders running for regional head posts.”

Pilkada yang direncanakan 9 Desember 2020 tentunya makin membuat banyak orang penasaran. Bintang-bintang lama dan baru dari dinasti politik Indonesia bertaburan – sebagian orang menilainya sebagai bukti suburnya kedinastian. Coba kita simak.

Riset Nagara Institute memperlihatkan, 99 orang anggota DPR RI 2019-2024 merupakan bagian dari dinasti politik karena memiliki hubungan keluarga dengan pejabat publik. Pada Pemilu 2014 terdapat 51 kasus dan Pemilu 2009 ada 27 kasus.

Menurut Nagara Institute, dari 541 wilayah meliputi provinsi dan kabupaten/kota yang menggelar pilkada tiga periode terakhir (2015, 2016, 2017), sebanyak 80 wilayah atau 14,78 persen terpapar dinasti politik (kepala daerah terpilih memiliki hubungan keluarga dengan pejabat publik). Banten menempati urutan pertama provinsi yang paling banyak terpapar (55,56 persen).

Apakah dinasti politik sudah menjadi wabah, sehingga suatu wilayah disebutkan “terpapar” kalau orang-orang yang mengikat kontrak politik selama periode tertentu, jadi pejabat di situ, ada pertalian keluarga (hubungan darah atau karena pernikahan) dengan pejabat publik lainnya, yang setara atau lebih tinggi? Sebagian pihak mengusulkan dinasti politik harus ditangkal – walapun menurut undang-undang para anggota dinasti tersebut menggunakan hak konstitusional mereka.

Alasan mereka yang sudah fed up dan yang mau menangkal, antara lain, karena kedinastian mengancam demokrasi, menyuburkan oligarki, menghambat meritokrasi, dan “mewariskan” perilaku koruptif. Apakah Anda termasuk yang menolak dinasti politik?

Itu realitas. Accept it. Dalam praktik pengelolaan perubahan (change management) pribadi, organisasi, dan institusi, ada wilayah yang — dalam satu periode tertentu atau mungkin juga untuk jangka panjang — tidak dapat kita kendalikan. Terima saja. Dari berabad-abad silam sampai hari ini, realitas politik di pelbagai negara ternyata juga tidak bisa lepas dari kedinastian.

“Dynasties still run the world”. Ini artikel di The Conversation 26 Maret 2019, tulisan Dr. Farida Jalalzai, Associate Dean of Global Initiatives and Engagement dan Professor of Political Science at Virginia Tech, bersama Profesor Meg Rincker, Political Science, Purdue University Northwest. Hasil penelitian kedua political scientists tersebut semula terbit di Journal Historical Social Research Desember 2018.

Farida Jalalzai dan Meg Rincker menelisik 1,029 political executives – president dan perdana menteri – di sub-Sahara Africa, Asia, Eropa, Amerika Utara dan Amerika Latin dari 2000 sampai 2017. Mereka mendapati kenyataan, 119, atau 12 persen, pemimpin di dunia merupakan anggota keluarga politisi (political family).

Political family itu bisa karena hubungan darah atau ikatan perkawinan dengan tokoh yang sudah berperan dalam politik (hakim, pejabat partai, birokrat, anggota parlemen, presiden, atau aktivis).

Contoh paling mencolok antara lain mantan Presiden George W. Bush, Perdana Menteri Kanada Justin Trudeau, dan mantan Presiden Argentina Christina Fernandez de Kirchner. Dalam studi di pelbagai kawasan, di negara kaya atau yang miskin, koneksi politik sangat penting, kata mereka. Itu merupakan keunggulan bagi para kandidat, karena jadi lebih mudah dikenal, sudah akrab dengan praktik dan lika-liku politik, memiliki akses lebih baik terhadap resources dan para sekutu untuk manggalang aliansi, yang semuanya bisa jadi bekal saat menjabat.

Studi terhadap 204 orang presiden dan perdana mentri di negara-negara Asia mengungkapkan, 23 dari mereka memiliki hubungan keluarga dengan para politisi. Lebih dari 75 persen merupakan negara-negara yang tidak demokratis, seperti Bhutan, Kazakhstan, dan Sri Langka.

Di negeri-negeri yang ekonomi dan demokrasinya sudah dianggap paling maju, katakanlah AS, dinasti politik ternyata berkelanjutan dari sejak masa kolonial sampai sekarang. Barangkali kenyataan ini yang menjadikan para tokoh yang sudah berhasil naik ke puncak kekuasaan di negeri dengan demokrasi dan ekonomi masih dalam perkembangan – katakankah seperti Indonesia — mudah tergoda untuk membangun dinasti. Apakah puncak kekuasaan mereka itu di eksekutif, legislatif, atau yudikatif. Mereka menumbuhkan generasi baru yang diasumsikan memiliki “genetika politik” yang lebih baik, untuk berperan penting, sekarang dan masa yang akan datang.

Apakah generasi baru itu bakal berprestasi cemerlang dan lebih berhasil membangun legacy berupa sebuah kehidupan bermasyarakat yang sehat lahir batin di negara yang memiliki derajat lebih terhormat di percaturan internasional? Tampaknya tidak ada yang berani menjamin. Pendidikan formal mereka sampai minimal level master di universitas yang baik di luar negeri apakah juga bisa jadi ukuran untuk menopang keberhasilan mereka? Belum ada yang dapat menjawab juga tentunya.  

Sebaliknya juga demikian, siapa yang bisa mengatakan bahwa mereka – dengan political brand yang masih pinjaman dari keluarga – bakal tidak berhasil.

Free stock photo of coin, dynasty, history

Keberhasilan mereka, sama dengan ukuran sukses tokoh-tokoh yang bukan bagian dari dinasti politik, akan ditentukan oleh kemampuan masing-masing “melakukan interpretasi mendalam terhadap kenyataan hari ini”. Mengolahnya menjadi tahapan bangunan masa depan lebih baik.

Kehebatan leadership seseorang tidak ditentukan oleh asal-usul, dinasti, warna kulit, kelompok etnis – bahkan pendidikan formalnya juga belum tentu bisa menjamin sukses. Karena kenyataannya, para eksekutif – termasuk di lingkungan organisasi bisnis – banyak yang sudah memahami apa itu leadership, tapi belum juga mampu mewujudkannya dalam tindakan. Sebagian mengalami stuck akibat terlalu memuja masa lalu, mengagungkan leluhur, dan lupa kondisi sekarang harus dihadapi dengan cara berbeda. Keberhasilan akan dinilai dari kemampuan mereka membawa perubahan positif bagi kepentingan semua stakeholder.

Bagi yang menolak kedinastian dalam praktik politik dan ingin sukses memimpin sebagai pejabat publik, dapat belajar antara lain dari Kolinda Grabar-Kitarović, Presdiden Croatia 2015 — 2020. Dia wanita pertama yang terpilih jadi presiden sejak multi partai dimulai 1990 – bahkan mungkin sejak Croatia ada di Bumi, sekian abad silam, dia wanita pertama di pucuk pimpinan.

Kolinda lahir (29 April 1968) dari keluarga biasa, ayah dan ibunya, Dubravka dan Branko Grabar, adalah pemilik peternakan, rumah jagal dan penjual daging di dusun Lopaca, utara Rijeka, Croatia. Boleh dibilang dia meniti karir sejak remaja. Kelebihan Kolinda dari remaja yang lain utamanya karena terus bersedia menempa diri, antara lain ikut pertukaran pelajar antar negara, melanjutkan sekolah, bekerja, kuliah lagi, dan aktif dalam pertai, serta kegiatan sosial. Kolinda salah satu contoh meritokrasi.

Seseorang dalam posisi pimpinan akan lurus atau melenceng (menimbulkan beban baru bagi stakeholder), tentu akan dinilai publik dari pelbagai perspektif dan variable. Melengkapi pendekatan normatif berdasarkan Key Performance Indicator (KPI) atau catatan dan fakta setelah kejadian.

Untuk mengantisipasi sebelum muncul KPI, tanda-tanda sukses atau ketidakmampuan seorang di posisi pimpinan sebenarnya sudah dapat dilihat dalam beberapa bulan menjabat. Kepemimpinan seseorang, di kancah politik, di lingkungan organisasi bisnis, nonprofit, serta di institusi pemerintahan, sehari-hari dapat kita lihat antara lain pada kesigapannya mengatasi jebakan The Karpman Drama Triangle, gambaran seseorang memilih peran – atau memposisikan diri — dalam setiap interaksi dengan manusia dan saat menghadapi dinamika realitas.

Apakah dia akan memposisikan diri sebagai korban (victim) – selalu menuduh pihak lain sebagai penyebab setiap masalah, lantas menolak bertanggung jawab, serta tidak mau/mampu melakukan perubahan. Menjadi pribadi lembek. Jika Anda jeli mengamati, akan kelihatan siapa saja pejabat publik dan pimpinan organisasi yang berperilaku seperti itu.

Atau dia cenderung jadi jaksa penuntut umum (prosecutor) – merasa diri superior, dikelilingi orang-orang yang tidak berkemampuan. Merasa mampat, tidak percaya kepada orang lain.

Atau, selalu merasa harus jadi juru selamat (rescuer) – mengatasi segala urusan yang belum beres, secara moral merasa lebih unggul ketimbang orang lain, indispensable. Akibatnya menimbulkan rasa jengah bagi tim dan pihak lain, karena tim atau pihak-pihak lain itu belum tentu memerlukan pertolongannya. Mereka merasa risih semua urusan dicampuri.

Ketiga lebel tersebut bukan mendeskripsikan “siapa orang itu”, tapi merupakan pilihan perilaku seseorang dalam menghadapi keadaan, saat terpicu oleh tindakan orang lain atau oleh situasi. Coba kita evaluasi diri kita sendiri, bukankah ada saja pemicu yang bisa menyebabkan kita terbawa suasana untuk berperilaku semacam itu?

Hari-hari ini, simak pula bagaimana perilaku kepemimpinan orang-orang yang tengah dalam posisi jadi pengambil keputusan berdasarkan perspektif Segitiga Karpman. Drama dalam tiga pilihan peran tersebut akan kelihatan. Kita juga akan dapat membaca indikasi, kenapa sejumlah hal menyangkut kepentingan hidup bersama – dari soal ekonomi, pandemi, kesejahteraan para pemangku kepentingan — masih belum beres atau belum ada yang kelihatan berhasil dengan gemilang.

Mohamad Cholid

  • Member of Global Coach Group (globalcoachgroup.com)
  • Head Coach di Next Stage Coaching
  • Certified Executive Coach at Marshall Goldsmith Stakeholder Centered Coaching
  • Certified Marshall Goldsmith Global Leadership Assessment
  • Alumnus The International Academy for Leadership, Jerman (id.linkedin.com/mohamad-cholid) (coach/mcholid)
- Advertisement -

More articles

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini

- Advertisement -

Latest article