Oleh Abdillah Toha
Beberapa waktu yang baru lalu ulama dan beberapa habaib ibukota berkumpul untuk memberikan dukungan kepada anggota DPRD DKI Mohamad Sanusi untuk maju sebagai calon Gubernur DKI. Dua minggu kemudian Sanusi tertangkap basah dan ditetapkan sebagai tersangka korupsi oleh KPK.
Sekelompok orang yang melibatkan beberapa habib di jajaran pimpinan dan anggotanya baru-baru ini mendatangi DPRD DKI agar menggelar sidang memecat Gubernur DKI dan mengancam “akan rame-rame membakar” gedung Balai Kota bila DPRD tidak bersidang. Ancaman begini bukan sekali dilontarkan oleh kelompok-kelompok seperti ini.
Di Jawa Timur ada juga habib, ketua sebuah yayasan, yang obsesinya setiap hari dari pagi sampai malam memecah belah umat dengan menyerang penganut mazhab dan aliran tertentu. Inilah orang yang mengimpor kekacauan di Timur Tengah ke negeri kita.
Di media sosial kita baca belum lama ini dia mengaku bahkan bangga menerima bantuan dana dari Saudi Arabia, tempat asal mazhab Wahabi, guna mendukung kiprahnya.
Inilah contoh beberapa habib masa kini yang mendapat perhatian luas dari media massa. Perilakunya sangat memprihatinkan serta menimbulkan kegelisahan dan merugikan nama Islam sebagai agama yang dipeluk oleh mayoritas di sini.
Gelar habib ini belakangan banyak dilekatkan pada keturunan Imam Ahmad bin Isa Almuhajir dari Hadaramaut yang mempunyai nasab langsung sampai kepada Fatimah putri Rasulullah SAW dan ayahnya Muhammad SAW. Di Indonesia mereka dikenal sebagai marga Alawiyun.
Sebelum ini, keluarga Alawiyun lebih sering disebut sebagai Sayid sedang gelar habib yang berarti kekasih, dahulu hanya disandang dan diberikan oleh pengikutnya kepada orang-orang yang dianggap sebagai panutan dan telah mencapai maqam keagamaan tertentu.
Entah bagaimana pada masa ini setiap anggota marga Alawi atau Ba-alawi menyandang gelar habib dan dianggap sebagai orang yang ilmu agamanya tinggi.
Habaib (jamak habib) adalah manusia biasa. Ada yang baik dan ada yang buruk perilakunya. Tetapi ketika gelar itu disandang kemana-mana, maka risiko terbesar adalah generalisasi masyarakat awam atas tindak tanduk mereka yang menyimpang.
Menyimpang? Ya, menyimpang, karena contoh kiprah habaib di atas jelas bukan teladan yang baik. Habaib pendahulu telah banyak dikenal di negeri ini dengan pengaruh yang luas berkat perilaku yang lembut, tulus dan ikhlas, serta dilandasi ilmu yang benar dan akhlak yang mulia.
Pada akhir masa penjajahan Belanda dan awal kemerdekaan ada paling tidak 3 habib yang dikenal di Jakarta, yakni Habib Ali bin Abdurrahman Alhabsyi Kwitang, Habib Ali bin Husin Alatas Bungur, dan Habib Salim bin Jindan.
Inilah orang-orang saleh yang hidupnya didedikasikan sepenuhnya untuk dakwah tanpa pamrih dengan sukses luar biasa mencapai puluhan ribu pengikut yang menjadi muridnya.
Menurut Muhammad Asad, penulis lebih dari 20 buku yang terbit di Timur Tengah dan yang puluhan tahun mengenal Habib Ali Alhabsyi Kwitang, bahwa majelis taklim Habib Ali dapat bertahan selama lebih dari satu abad karena inti ajaran Islam yang disuguhkannya berlandaskan tauhid, kemurnian iman, solidaritas sosial, serta akhlakul karimah.
Dia juga menjelaskan bahwa ajaran dakwah Habib Ali berupa pelatihan kebersihan jiwa, tasauf mu’tabarah dan dialog antara makhluk dengan al-Khalik serta antara sesama mahluk.
Habib Ali tidak pernah mengajarkan ideologi kebencian, berpolitik, iri, dengki, ghibah, fitnah dan namimah. Sebaliknya, Habib Ali mengembangkan tradisi kakek-kakeknya dari keluarga Ahlul Bait yang intinya menjunjung tinggi nilai kemanusiaan, menghormati hak-hak setiap manusia tanpa membedakan manusia atas latarbelakang status sosial mereka.
Habib Ali bin Husin Alatas, seorang guru yang tawadhu’ dan sederhana, berhasil menciptakan murid-murid yang menjadi ulama besar seperti KH Abdullah Sjafi’ie, pimpinan majelis taklim Assyfi’iyah, KH Tohir Rohili, pimpinan majelis taklim Attahiriyah, KH Syafi’i Hadzami, dan puluhan ulama lainnya.
Bahkan, para muridnya itu kemudian menjadi guru para mubaligh dan perguruan tinggi Islam. Dan masih banyak lagi habaib di kota-kota lain yang namanya harum sampai sekarang berkat perilakunya yang sangat Islami.
Dari banyak habaib Hadramaut beberapa abad lalu, yang pengaruhnya sangat luas di Nusantara ada paling sedikit dua nama. Habib Ali bin Muhammad Alhabsyi yang buku mauludnya Simtuddrurar dibaca setiap malam Jumat di seantero Nusantara, dan Habib Abdullah bin Alawi Alhaddad dengan wirid dan ratibnya yang terkenal luas di sini.
Habib Abdullah Alhadad juga menulis puluhan buku yang bahkan sudah diterjemahkan ke dalam bahas-bahasa Barat sebagai bahan memepelajari sisi spiritual Islam.
Inilah manusia-manusia pilihan yang tutur bicaranya lemah lembut, dakwahnya merangkul semua pihak dan mengajak dengan penuh perdamaian. Bukan suara teriakan keras dan parau yang mengancam “lawan” dalam rangka amar makruf nahi munkar. Bukan gerombolan yang kerjanya menakut-nakuti lawan. Bukan provokator yang merangsang emosi negatif pengikutnya.
Habaib pendahulu tidak melibatkan diri dalam politik dan tidak mendatangi penguasa untuk mencari restunya. Sebaliknya penguasalah yang mendatangi mereka untuk mendapatkan bimbingan.
Bila ada dari keluarga Alawiyun yang masuk ke ranah politik, maka mereka tidak melakukannya dengan menyandang gelar habib atau menyeret nama agamanya ke dalam lumpur politik.
Para habaib pendahulu mengutamakan kebersihan moral dan semua upaya mareka dibimbing oleh tasauf Imam Besar al-Ghazali yang menjadi salah satu dasar dari tarekat yang dikenal sebagi Tariqah Alawiyah.
Apalagi yang dipakai sebagai dasar tuntunan habaib pendahulu kita kalau bukan Rasul SAW yang diutus oleh Allah semata-mata untuk menyempurnakan akhlak. Inilah Nabi terakhir yang dengan akhlaknya berhasil membuat Islam berkembang menjadi agama dengan satu setengah milyar pemeluk saat ini.
Inilah utusan Allah yang tutur bicaranya lembut dan mengatakan bahwa esensi dari agama Islam adalah akhlak. Akhlak Walisongo dan dai pendahulu lainnya pulalah yang berhasil mengislamkan Nusantara tanpa kekerasan.
Lalu dari mana sebagian habib di zaman modern saat ini menyandarkan perilakunya? Siapa yang ditiru dan dijadikan contoh teladan dalam kiprahnya? Sadarkah mereka tanggung jawab besar yang dipikulnya dengan menyandang gelar habib? Akan dibawa kemana umat ini bila di satu sisi ulama dan habaib menjual diri kepada kekuasaan dan di sisi lain melampiaskan nafsu amarahnya sebagai bagian yang mereka klaim jihad dan melawan munkar?
Alhamdulillah kita harus bersyukur masih lebih banyak habib yang baik dan mengikuti cara-cara yang diamanahkan oleh para pendahulu. Namun demikian, suara orang-orang baik ini tenggelam di bawah teriakan dan vokalnya suara-suara keras dan militan yang lebih banyak mendapat perhatian media.
Orang-orang baik ini di mana-mana cenderung untuk diam dan tidak berhasrat untuk membuat gaduh. Anggap saja tulisan pendek ini sebagai mewakili suara mereka yang diam. Semoga Allah memberikan hidayahnya kepada kita semua.