#SeninCoaching
#Leadership Growth: Create Your New Narrative
Mohamad Cholid, Practicing Certified Executive and Leadership Coach
“Facts do not cease to exist just because you ignored them,” Keith J. Cunningham.
Setiap luka melahirkan cerita. Pandemi yang sampai hari ini masih memagut banyak orang di pelbagai tempat di dunia, telah mengajarkan kepada kita tentang realitas baru. Cerita kematian akibat wabah masih bermunculan, seiring dengan keengganan sebagian anggota masyarakat untuk tetap disiplin mengikuti protokol kesehatan sebagai ikhtiar pencegahan. Wafat akibat covid seperti sudah jadi komoditas harian – diproduksi jadi berita dan untuk keperluan angka statistik.
Bagi yang tetap dikaruniai hidup sehat atau berhasil pulih dari pagutan covid, sesungguhnya belum tentu merdeka sepenuhnya. Masih belum bebas dari ketidakpastian. Sementara itu, dari perilaku sebagian anggota masyarakat yang dapat kita lihat sehari-hari secara langsung atau lewat berita, bahkan diantaranya menyangkut sejumlah tokoh publik, ada indikasi jangan-jangan mereka sesungguhnya telah “terluka” dalam menghadapi krisis yang belum berkesudahan ini.
Ini adalah tentang “luka” yang mengubah narasi seseorang. Arthur W. Frank, professor sosiologi di University of Calgary, melakukan riset para pasien yang menderita penyakit kronis. Dalam bukunya, The Wounded Storyteller, Arthur Frank menyebutkan, sakit serius adalah kondisi kehilangan arah dan peta yang selama ini jadi pegangan hidup seseorang. Penyakit serius yang mengubah persepsi seseorang terhadap kehidupan bisa akibat cidera apa saja. Lebih dari sekadar fisik, juga mental — dan setiap orang berbeda.
Dari Arthur Frank dapat kita ketahui pula, respon orang-orang yang “terluka” dalam menyikapi krisis berkepanjangan terbagi tiga. Pertama, kelompok yang narasinya “restitusi”, suka menceritakan masa silam yang lebih baik. Kedua, orang-orang yang kehilangan cantolan ke masa lalu sekaligus tidak punya gambaran apa jadinya di masa depan nanti – mereka berkutat pada masa sekarang dengan narasi chaos. Ketiga, golongan yang narasinya siap menempuh perjalanan panjang membangun hidup, menerima kenyataan sebagai bagian dari identitas diri mereka.
Tentu tidak mengejutkan jika pasien yang berhasil mengatasi kondisi kronis mereka masuk ketegori ketiga, yang menganggap “illness as the occasion of a journey that becomes a quest.”
Tekanan ekonomi akibat pandemi sekian lama dapat disikapi dengan cara pandang sama. Untuk berhasil mengatasinya dengan baik perlu keberanian menempuh pergulatan pencarian ke depan. Kemampuan untuk tumbuh dan berkembang, utamanya di tengah perubahan dan stress, patut menjadi prioritas pengembangan otot-otot kepemimpinan para leaders.
Dalam survei McKinsey terhadap 1.200 global leaders dan tim mereka menyangkut capability-building belum lama ini, para eksekutif senior menyebutkan, adaptability dan inspirational leadership diidentifikasi sebagai dua kompetensi penting untuk mendukung organisasi tumbuh dan berhasil mengatasi krisis akibat wabah covid.
Orang-orang yang berani menghadapi kenyataan, sepahit apa pun, adalah yang umumnya mampu beradaptasi dengan perubahan cepat dan dengan sederet events yang tidak terbayangkan sebelumnya, seperti pandemi sekarang. Kemampuan menyikapi realitas dengan bijak dapat menginspirasi tim. Learning mindset juga dapat ditumbuhkan di dalam organisasi dengan perilaku kepemimpinan seperti ini.
Semua itu sangat diperlukan, utamanya untuk menghindari jebakan mitos-mitos yang bisa saja muncul bersamaan dengan upaya inovasi dalam menghadapi tantangan baru.
Sebagaimana lazimnya, agar organisasi mampu bertahan menghadapi disruption, ada dua kegiatan yang dilakukan bersamaan, yaitu eksplorasi (bisnis baru, akselerasi ide-ide baru) dan eksploitasi (improvement, mengembangkan) yang sekarang ada. Mitos menyebutkan, eksplorasi mengembangkan usaha baru memerlukan ketrampilan dan kompetensi yang sama dengan eksploitasi.
Kenyataannya: eksplorasi dan eksploitasi merupakan dua kegiatan yang secara radikal tidak sama, yang memerlukan skill set dan pengalaman berbeda. Ini yang membuat para eksekutif pada memerlukan coach, terutama di organisasi yang siap menghadapi realitas-realitas baru.
Dalam pergulatan menghadapi sejumlah kejadian, yang bisa jadi demikian terasa berat di masa pandemi, siapa saja bisa “terluka”. Tugas kita sekarang adalah memilih narasi yang tepat dalam merengkuh hari esok.
Untuk meringankan Anda, biasakanlah transparan terhadap tim – bagi tokoh publik, terbuka kepada masyarakat/pendukungnya — supaya mereka juga terbuka menyatakan yang selama ini tersembunyi. Tiada dusta atau kemunafikan di antara pemimpin dan tim/pengikutnya.
“Nothing can change until the unsaid is spoken,” kata Keith Cunningham, yang sudah 45 tahun lebih aktif di bisnis dan investasi, serta mengalami jatuh bangun menghadapi pelbagai krisis global.
Mohamad Cholid adalah
- Member Global Coach Group (globalcoachgroup.com) & Head Coach di Next Stage Coaching
- Certified Executive Coach at Marshall Goldsmith Stakeholder Centered Coaching
- Certified Marshall Goldsmith Global Leadership Assessment
- Alumnus The International Academy for Leadership, Jerman
- (id.linkedin.com/mohamad-cholid)
- (sccoaching.com/coach/mcholid)