17 Desember 1770, selamat ulang tahun Beethoven!
Oleh Idrus F. Shahab
Datang dengan kostum terbaik, para tamu lelaki mengenakan jas dan dasi kupu-kupu, sedangkan tamu perempuan memakai gaun panjang anggun berwarna gelap. Dan malam itu, keadaan semakin mengukuhkan: musik klasik adalah musik istimewa untuk orang-orang istimewa.
Orkes lengkap. Barisan alat gesek dengan biola I dan biola alto di sebelah kiri panggung, sedangkan biola II di sebelah kanan bersama cello, bas, dan kontrabas. Barisan instrumen tiup mengisi lapisan tengah dengan pemain flute, obo, klarinet, basun, frenchhorn, terompet, tuba dan trombon. Paling belakang adalah barisan pemain perkusi; mereka inilah yang selalu “menghidupkan” musik dengan berbagai bunyi gemuruh dan gemerincing timpani, simbal, triangle, dan aneka drum.
Pada buku acara yang bersampul coklat tua, terpampang wajah Beethoven yang gagah dan fotogenik. Rambutnya tebal bergelombang, menyentuh kerah bajunya, matanya menatap tajam ke satu titik. Sebuah gambaran romantis seorang jenius.
Di bawah gambar sang jenius, tertulis empat bagian musik –bagian biasa juga disebut movement dalam bahasa Inggris– yang bisa dijadikan rujukan penonton. Bagian pertama allegro con brio (dalam nada dasar C minor), bagian kedua andante con moto (dalam A # mayor), bagian ketiga allegro (dalam C minor), dan bagian keempat allegro (dalam C mayor).
Musik menghentak, seperti ketukan keras tamu tak diundang di tengah malam. Dari atas panggung meluncur empat buah nada, susul-menyusul dalam hitungan sepersekian detik. Sejak itu, empat nada tersebut –dengan segenap variasinya tapi tetap dalam interval yang relatif sama– menghiasi (lebih tepat dikatakan: menghantui) setiap sudut bangunan bagian allegro con brio ini.
Memang terkesan, Simphony no 5 bagian pertama ini seolah hendak membangunkan orang dari tidurnya. Inilah musik yang irit nada, tapi dengan intensitas yang tak kunjung mengendur. Manakala musik mengalun sayup, seraya menggoreskan bayang-bayang nada yang mengikuti garis melodi utama, ketahuilah bahwa komponis yang satu ini tengah mempersiapkan nada-nada berikut yang bakal menggetarkan panggung pertunjukan. Dengan strategi ini, Beethoven mengakhiri bagian pertama Simphony no 5. Klimaktik!
Tapi jangan salah. Bagian allegro con brio dalam Simfoni no 5 ini rupa-rupanya juga dikenal sebagai jebakan bagi pendatang baru dalam belantara musik klasik. Mendengar akhir seperti itu, para pendatang baru yang larut dengan intuisi musiknya itu biasanya akan merasakan desakan luar biasa untuk cepat-cepat berjingkrak dan bertepuk.
Ungkapan suka cita ini bisa berlangsung cukup lama, sampai akhirnya penonton lain yang tadinya memperlihatkan sikap bersahabat tiba-tiba memasang wajah sangar, bahkan mengancam.
Dunia berubah, begitu juga etiket di gedung konser. Hampir 200 tahun yang silam, Mozart memandang gedung pergelaran simfoninya seperti sebuah kafe, dan di ruang konser itu orang akan mendengar karyanya sambil ngobrol dan makan malam. Senyumnya juga langsung mengembang bila ia mendengar tepuk-tangan di penghujung sebuah bagian.
Tapi dalam perkembangan berpuluh tahun berselang, komponis Jerman Richard Wagner (1813 – 1883) menyetarakan tepuk tangan dan berbagai bentuk apresiasi spontan dengan “kebisingan yang mengganggu.” Dan sekarang, kita menyaksikan pengaruh besar pendapat komponis istimewa ini di gedung-gedung konser.
Tak begitu jelas, adakah ini juga upaya untuk menarik garis tegas antara panggung dan penonton, atau sekedar menunjukan superioritas musik klasik di atas musik lainnya, yang jelas, selama ini selalu saja ada yang menggelikan dalam konser-konser musik klasik. Para penonton berperilaku layaknya para tamu dalam pesta bangsawan atau pesta diplomat.
Dalam perkembangannya, musik klasik dan penontonnya memang perlahan telah membentuk suatu enklave steril di mana satu kelas elite membangun peradabannya sendirian, dengan selera musik yang berbeda dengan dunia di sekelilingnya.
Sebenarnya musik klasik selalu diperkaya oleh kehadiran tokoh-tokoh anti-elitisme di sepanjang perjalanannya. Apabila pada abad 18 ada Ludwig van Beethoven, seorang komponis pencinta Revolusi Prancis yang jatuh cinta pada gagasan liberte, egalite, dan fraternite, di dunia kontemporer kini misalnya terdapat seorang Daniel Barenboim.
Ia konduktor berdarah Yahudi yang senantiasa mendedikasikan kreativitas seninya bagi pembebasan orang-orang tertindas –termasuk orang Palestina yang dijajah zionisme Israel di tanah air sendiri. Sayang sekali, pengaruh mereka kalah kuat dibanding desakan elitisme.
Elitisme memang selalu membangun nilai-nilainya, imajinasinya dan keyakinannya sendiri, sekali pun semua itu berlawanan dengan realita di luar sana. Tak hanya terjadi di dunia musik, ini juga berlangsung di dunia politik kita kini.