Tahun 2019 menjadi catatan sejarah buat saya. Pasangan capres dan cawapres yang saya dukung, Jokowi-Amin, menang pada Pilpres 2019 lalu.
Meski secara hitung cepat (quick count) yang dilakukan sejumlah lembaga polling/survei pada Hari-H menyatakan Jokowi-Amin menang tapi pasangan yang kalah tak mau menerima begitu saja. Ada mekanisme banding yang dimungkinkan oleh Undang-Undang hingga ditetapkan oleh KPU. Apalagi ada jeda waktu selama enam bulan dari saat pencoblosan sampai pelantikan pasangan Presiden dan Wakil Presiden terpilih dilantik MPR.
Rentang waktu setengah tahun ini justru menjadi saat-saat yang menegangkan, krusial, bahkan kritis.
Para pendukung pasangan yang kalah, mayoritas orang-orang yang tampaknya seperti taat beragama dilihat dari pakaiannya, justru tidak percaya takdir Tuhan atas kemenangan yang diraih Jokowi-Amin.
Padahal ditelusuri dari sisi manapun, termasuk ditinjau dari atas puncak Tugu Monas yang menjadi tempat sholat para pendukung pasangan yang kalah itu, Jokowi-Amin sangat jauh lebih baik sekali. Soal keislaman Jokowi-Amin lebih baik. Soal pengalaman di pemerintahan dan politik Jokowi-Amin lebih unggul. Soal moral, pelanggaran HAM, dan korupsi apalagi. Jokowi-Amin punya moral bagus, tidak pernah melanggar HAM, dan sampai saat ini jauh dari isu korupsi.
Para pendukung pasangan yang kalah itu lalu berdemo berhari-hari. Tak cuma berdemo dengan memanfaatkan mobil ambulance berisi barang-barang terlarang. Bahkan ada pendukung setia pasangan yang kalah yang mau melakukan rencana makar dan ada dosen perguruan tinggi negeri yang dikenal sebagai kampus khilafah nekat bikin bom untuk diledakkan di sejumlah toko kelontong.
Sebagai relawan Jokowi-Amin, tentu saja, saya dan relawan-relawan lainnya bersiap menghadapi itu semua. Tugas memberi data dan fakta yang sebenarnya kepada masyarakat luas, terutama melawan provokasi ujaran kebencian, berita-berita fitnah, dan propaganda hoaks, dijalankan 24 jam sepanjang hari.
Perang opini di dunia maya, di media sosial, sepanjang masa kampanye terus berlanjut sampai Hari Pelantikan Presiden – Wakil Presiden dan pembentukan kabinet. Perang opini yang paling krusial terjadi pada saat demo yang memanfaatkan mahasiswa dan para pelajar di bawah umur pada akhir bulan September 2019 yang menjadi pertarungan terakhir para pendukung pasangan yang kalah menjelang hari pelantikan Presiden dan Wakil Presiden terpilih.
Entah apa kriterianya, mungkin berdasarkan unggahan-unggahan opini di media sosial yang dianggap selalu membela Presiden Jokowi, saya dicap sebagai “4 Buzzer Rp (Rupiah) Istana” oleh Pasukan Cyber pasangan yang kalah.
Saya pun disejajarkan dengan tiga orang aktivis media sosial lainnya yaitu Denny Siregar, Pepih Nugraha, dan Faisal Assegaf. Dan kami berempat, cuma Pepih Nugraha yang saya kenal dekat, dituduh sebagai orang-orang bayaran yang dapat duit dari Istana. Padahal apa yang kami lakukan sebagai relawan yang aktif di media sosial sama sekali tidak pernah dibayar oleh Istana.
Saya ikut jadi relawan dengan satu alasan yang sangat pribadi. Saya pernah berhutang budi pada Presiden Jokowi. Jokowi, saat itu masih jadi Walikota Solo, pernah menyelamatkan gerakan reformasi sepakbola kita melawan PSSI dengan membuat kompetisi break away league bernama Liga Prima Indonesia (LPI) yang kick-off di Stadion Manahan Solo, Jawa Tengah, pada 10 Januari 2011 lalu.
Bila saat itu Jokowi menolak Kota Solo jadi tuan rumah kick-off LPI dapat dipastikan kompetisi LPI tak akan pernah ada dan mencatat sejarah sukses mereformasi sepakbola Indonesia.
Betapapun tuduhan sebagai “Buzzer Bayaran Istana” saya terima dengan lapang dada sebagai semacam “Piagam Penghargaan” dan “Tanda Kenang-Kenangan” bahwa saya pernah jadi relawan yang ikut serta mengantar Jokowi-Amin jadi pemenang Pilpres 2019!
Sebuah kebanggaan yang tak bisa tergantikan oleh apapun juga.
Oleh Abi Hasantoso