Membubarkannya tidak akan berpengaruh apapun pada FPI
Oleh Made Supriatma
Kemarin saya mendengar sorak kegembiraan dari banyak orang karena FPI dibubarkan dan dinyatakan sebagai organisasi terlarang. FPI adalah organisasi yang menjengkelkan banyak orang. Dia banyak sekali melakukan tindakan-tindakan intoleran dan bahkan kekerasan.
Imam Besar mereka dipenjara beberapa kali karena terbukti melakukan kekerasan. Pada 2008, aktivis-aktivis organisasi ini menyerang demonstrasi damai dari Aliansi Kebangsaan Untuk Kebebasan Beragama dan Berkeyakinan di lapangan Monas.
Mereka terkenal dengan gerakan anti-maksiat yang aktif merazia warung-warung yang buka siang hari saat puasa. Mereka merazia tempat-tempat hiburan malam, memaksanya untuk tutup, dan menghancurkan minuman-minuman beralkohol.
Pendeknya, mereka mengangkat diri menjadi polisi moral. Mereka memaksakan pemberlakuan syariat Islam di negara yang mengakui satu Tuhan dan enam agama ini. Mereka mengangkat diri sebagai ‘pembela’ Islam dan menuduh negara abai dalam penerapan syariat.
Kemarin Menko Polhukam mengumumkan sebuah surat keputusan untuk melarang organisasi ini.
Tepatnya, pemerintah mengeluarkan Keputusan Bersama Mendagri, Menkumham, Menkominfo, Jaksa Agung, Kepala BIN, dan Kepala BNPT nomor 220-4780 tahun 2020 nomor M.HH-14.HH05.05 tahun 2020, nomor 690 tahun 2020, nomor 264 tahun 2020, nomor KB/3/XII 2020, nomor 320 tahun 2020, tentang larangan kegiatan penggunaan simbol dan atribut serta pemberhentian kegiatan Front Pembela Islam.
Namun dalam hitungan jam, FPI mengganti namanya menjadi Front Persatuan Islam. Yang mengagetkan untuk saya adalah tidak ada kepanikan di pihak FPI. Mereka tampak siap dan sudah mengantisipasi apa yang akan terjadi.
Yang justru terlihat adalah FPI mempersiapkan disiplin organisasi yang luar biasa. Mereka menganggap enteng pembubaran ini. Jagat Twitter dan media sosial sempat bergembira dengan pembubaran ini.
Namun beberapa jam kemudian hashtag #FPI_FrontPejuangIslam menjadi viral. Apa yang diharapkan menjadi pukulan telak untuk FPI malah ditanggapi dengan santai dan kepala dingin.
Foto: Laskar FPI ketika melakukan pengamanan kepulangan Imam Besar mereka dari Arab Saudi bulan November lalu.
Mampukan FPI bertahan setelah Imam Besar mereka ditahan dan organisasi mereka dinyatakan terlarang? Efektifkah langkah pemerintah memberangus FPI?
Untuk menjawab pertanyaan ini, kita harus melihat ke belakang, ke proses bagaimana berdirinya FPI.
Organisasi ini ada karena elite-elite di pusat kekuasaan menghidupinya. Pada awalnya ia adalah organisasi kecil. Namun organisasi ini mendapat peran besar karena ada elite politik yang memanfaatkannya. Kalau dilihat dari sejak berdirinya, FPI selalu dekat dengan kaum elite mapan di negeri ini.
Pada awalnya, bersama dengan PAM Swakarsa, ia dipakai oleh militer dan polisi untuk menghadapi gerakan pro-demokrasi. Bahkan dokumen yang diungkap Wikileaks memperlihatkan bahwa pada awalnya FPI justru didanai oleh kepolisian.
Mereka adalah bagian dari kekuatan untuk mengimbangi pertarungan di jalan-jalan dengan para demonstran pro-demokrasi. Mereka juga menjadi suara yang dipakai untuk mengimbangi narasi reformasi yang dituntut dari jalanan. Suara demokrasi dan transparansi diimbangi dengan tuntutan akan pemberlakuan syariat Islam.
FPI bukanlah organisasi yang statis. Dia fleksibel memanfaatkan kesempatan yang diberikan oleh iklim politik. Sekali ia didirikan, FPI dengan sigap memanfaatkan kesempatan politik yang ada.
Mereka memanfaatkan ruang-ruang demokrasi untuk memajukan kepentingan dan mempertahankan eksistensi mereka. Bisa dikatakan bahwa disini kita berhadapan dengan sebuah ironi. FPI adalah anak kandung demokrasi. Ia tidak percaya akan demokrasi namun dia hidup dan menjadi besar karena demokrasi. FPI pun agaknya sadar sekali akan hal itu.
Mereka tahu persis bahwa mereka bisa eksis dalam demokrasi yang tidak setitik pun tidak mereka percayai itu.
Mereka adalah penangguk keuntungan (benefactor) dari demokrasi. Mereka memanfaatkan demokrasi secara selektif. Memakainya elemen-elemnnya ketika itu menguntungkan.
Mereka akan berlindung dibalik hak untuk kebebasan berbicara dan berserikat bila mereka digebuk. Namun mereka mengklaim memiliki kebebasan untuk melarang apa saja yang mereka pandangan bertentangan dengan keyakinan mereka.
Namun sekali lagi, FPI tumbuh dengan subur karena elit-elit politik lengah atau sengaja melengahkan diri untuk menghadapi mereka. Kita ingat FPI tumbuh subur dalam 10 tahun administrasi pemerintahan Presiden Yudhoyono. FPI juga mentransformasi diri. Tidak semata menjadi organisasi moral namun juga menjadi organisasi akar rumput.
Di kalangan akar rumput, FPI menjadi organisasi penyelamat. Tidak saja saat bencana namun dalam kehidupan sehari-hari. Karena pengaruhnya yang makin membesar, efektivitas Imam Besar mereka juga semakin tajam. Ketika ada seorang ibu yang anaknya tidak bisa bersekolah, dia datang ke Imam Besar, yang dengan segera mengangkat telpon ke pejabat Kemendikbud dana meminta agar anak si ibu ini bisa diterima di sekolah yang diinginkan.
Foto: FPI menjadi sukarelawan di wilayah-wilayah yang terkena bencana
Hal-hal seperti itulah yang membesarkan FPI secara perlahan membesarkan diri. Tidak saja mereka membangun jaringan yang kuat di akar rumput, ia juga memiliki bargaining power terhadap elite.
Ketika Jokowi berkuasa di tahun 2015, ia menghadapi organiasasi yang sudah terlanjur besar. Kurang dari dua tahun Jokowi menjadi presiden, dia berhadapan dengan organisasi ini yang mampu memobilisasi ratusan ribu orang untuk turun ke jalan di Jakarta. Itu terjadi 2 Desember 2016 ketika FPI menjadi tulang punggung gerakan “Bela Islam” untuk menjatuhkan gubernur DKI Jakarta waktu itu, Basuki Tjahja Purnama atau Ahok.
Sebagai pengamat, saya kebetulan berada di tengah-tengah massa ketika demonstrasi besar itu terjadi. Saya melihat skala gerakan ini dan dengan cepat merasa bahwa gerakan ini sulit untuk dibalikkan.
Dan FPI juga sudah mentransformasikan dirinya dari sebuah organisasi ‘protection racket‘ menjadi sebuah organisasi sosial dan politik dengan akar rumput yang kuat. Ia menjadi garda depan dalam penanganan bencana, menjadi pembela kaum miskin kota, ia aktif memobilisasi massa, dan mengadakan pengajian-pengajian massal untuk menyebarkan ide-idenya.
Imam Besar FPI, yang namanya terlarang disebutkan namanya di media sosial, kebetulan adalah seorang yang kharismatis. Dia adalah seorang provocateur yang ulung, seorang singa podium yang keahliannya mungkin setara dengan Bung Karno.
Perbedaan yang paling substansial menurut saya adalah pada akarnya. Jika dulu, FPI hanya memanfaatkan permainan elite. Mereka dipakai oleh sebagian elitr sebagai ‘bargaining chip‘ dalam persaingan dengan elite lain di negeri ini. Mereka menjadi bagian dari intrik kekuasaan di antara para elit namun tidak memiliki kontrol atas elite-elite tersebut.
Kini FPI lebih tegak terpancang dalam sistem politik Indonesia. Dia memiliki akar. Tidak sekadar akar tanpa strategi politik dan hanya bergantung pada elite dan oligarch yang menguasai seperti yang terjadi pada partai-partai politik di Indonesia saat ini.
FPI adalah, seperti yang dikatakan Max Lane, adalah sebuah gejala sosial (social symptom). Keberadaannya bukan tanpa alasan. Dia memiliki alasan kuat untuk hidup.
Saya kira, FPI menjadi semakin kuat ketika politik kita menjadi semakin elitis. Semakin hari, kita melihat bahwa kaum elit semakin Bersatu. Mereka mungkin tidak memiliki kepentingan yang sama dan saling bersaing satu sama lain. Namun mereka tahu persis bahwa kepentingan mereka terlayani ketika mereka bekerja sama. Setiap orang dilayani kepentingannya sebisa mungkin.
Sebaliknya yang terjadi pada akar rumput. Tidak ada satu pun organisasi politik kita – partai, ormas, NGOs, intelektual, media, dan semua perangkat-perangkat demokrasi lainnya — yang memiliki komitmen terhadap akar rumput. Kalau pun ada, mereka yang mengorganisasi di akar rumput berada pada posisi terlemah dalam sejarah Indonesia. Bahkan jauh lebih lemah dibandingkan jaman Orde Baru.
Beberapa hari lalu, ada seseorang bertanya kepada saya, bagaimana dengan gerakan #ReformasidiKorupsi? Saya menghargai inisiatif gerakan dari anak-anak muda ini. Namun ada sesuatu yang sangat kurang, yakni power (kekuasaan). Apakah arti satu gerakan tanpa satu power agar tuntutannya dikabulkan?
Sesungguhnya hanya ada satu cara untuk mencapai power itu, yakni pengorganisasian dengan segala aspeknya.
Itulah persis yang dilakukan oleh FPI. Mereka melakukan pengorganisasian dengan tekun dan disiplin. Ditengah-tengah segala keterbatasan. Bahkan ketika mereka dilarang pun mereka tidak kuatir sedikit pun. Mereka percaya bahwa mereka akan tetap eksis.
Sungguh sulit untuk melihat kebijakan pemerintah ini akan berhasil. Selain itu, sekalipun pemerintah mengesankan menghadapi FPI namun problem terbesar pemerintahan saat ini adalah justru para elit yang untuk sementara waktu bersatu.
Ketika Imam Besar FPI pulang dari pengungsiannya di Arab Saudi, dia disambut puluhan ribu orang. Elit-elit Indonesia berlomba-lomba untuk sowan kepada sang Imam Besar sebelum angin politik di buritan berubah.
Jadi, akan ada elit baik yang berada di luar pemerintah maupun yang berada didalam pemerintah yang akan main mata dengan FPI. Dan selalu saja, organisasi yang memiliki power seperti FPI diuntungkan oleh intrik-intrik yang terjadi dalam lingkaran kekuasaan.