#SeninCoaching
#Leadership Growth: Developing leadership muscles
Mohamad Cholid, Practicing Certified Executive and Leadership Coach
Irkutsk, kota berjarak 5.217 kilometer dari Moscow, memiliki wilayah pusat kegiatan dagang di Karl Marx Street. Toko-toko perhiasan, kafe, bar, dan gerai pakaian mewah mudah Anda temui di sana. Setiap sudut di Jalan Karl Marx adalah kegiatan bisnis yang sibuk.
Di pusat kota ada Hotel Courtyard, dikelola Marriott. Hotel mewah yang dapat dijangkau dengan jalan kaki dari Kirov Place, Sungai Angara, dan Drama Theater. Sekitar 70 km dari Danau Baikal, danau terbesar di dunia, salah satu UNESCO heritage. Saat musim dingin seperti sekarang ini, ketika serpihan salju bertebaran di trotoar, orang-orang biasanya juga masih tetap bertransaksi.
Sejumlah mal, toko, dan restoran di kedua sisi jalan memperlihatkan (bagi sebagian kita) sebuah paradoks. Di kawasan itu tidak ada indikasi “ideologi proletariat” seperti yang diartikan secara sepihak oleh orang-orang yang mengaku diri mereka revolusioner, anti kapitalisme. Marx dan Lenin di sana masih melekat hanya di nama-nama jalan, karena masyarakat lebih menghargai bisnis ketimbang mengingat kedua tokoh masa lalu yang menimbulkan kehidupan kelam.
Paradoks juga terjadi di China. Negeri ini resminya dikedalikan oleh Partai Komunis China (PKC), tapi kekuatan uang sangat signifikan. Di Beijing, bahkan saat salju menutupi sejumlah sungai dan pinggiran jalan tol di hari-hari pertengahan Januari, bisnis terlihat tetap dinamis. Denyut kapitalisme di Beijing sudah menyaingi New York dan London. Penjualan mobil Rolls Royce terbesar di dunia terjadi di sini.
Orang China rupanya juga sudah bisa melihat politik masa lalu dengan cara unik. Di Beijing ada restoran menyajikan kabaret Revolusi Kebudayaan (Wenhua Da Geming atau the Great Proletarian Cultural Revolution), yang sesungguhnya periode paling buruk di masa kekuasaan Mao Zedong.
Pada 1966 – 1976 tersebut terjadi aksi-aksi di luar kendali, penyingkiran orang-orang yang dianggap kelas borjuis dan tokoh yang tidak dikehendaki orang-orang dekat Mao, juga pembunuhan. Lebih dari sejuta orang meninggal dan sekian puluh (atau ratus?) juta lainnya menderita. Kelaparan terjadi di mana-mana. Ekonomi bangkit setelah Deng Xiaoping memimpin reformasi.
Sebagian pengunjung restoran, kata Joanna Lumley, 74 tahun, mantan aktris yang masih aktif sebagai presenter, melihat kabaret Revolusi Kebudayaan sebagai tontonan yang mengingatkan lagu cinta tanah air. Sebagian lainnya bilang, menilai Mao itu harus 50:50.
Dia berjasa menyatukan China, tapi juga telah menggunakan excessive power untuk terus berkuasa. Atau generasi muda China melihat kabaret itu sebuah parodi? Mereka menonton sambil makan pizza dan minum bir. Ada juga yang setengah mabuk, lalu mengikuti nyanyian di panggung.
Paradok seperti yang terlihat di Irkutsk atau Beijing, adanya kebutuhan pertumbuhan ekonomi searah kapitalisme dan ideologi sosialis di latar belakang, dalam bentuk dan konteks yang berbeda, juga terjadi di pelbagai segi kehidupan kita yang lain. Kita selalu menghadapi paradoks.
Paling krusial dalam praktik kepemimpinan. Sekarang kita di seluruh dunia sama-sama merasakan ketidakpastian akibat pandemi. Bahkan ketika vaksin dengan pelbagai spesifikasi sudah lulus uji, tetap saja tumbuh kegamangan di sana-sini, bagaimana dan kapan bisa terjadi herd immunity.
Dalam situasi tersebut para eksekutif di organisasi bisnis, nonprofit, dan institusi pemerintahan dituntut tetap berkewajiban mengembangkan diri sekaligus meningkatkan kompetensi tim, agar dapat lebih dari sekedar survive. Sementara anggaran sudah tersedot untuk meredam pandemi.
Di antara para leader tersebut bahkan sangat galau, akibat tim kehilangan motivasi, serta hari esok masih belum dapat diprediksi. Mereka bahkan ada yang seperti kehilangan arah.
Barangkali itu yang menyebabkan pelbagai pihak mengingatkan (kembali) perlunya Stockdale Paradox dalam praktik kepemimpinan kita. The Stockdale Paradox jadi populer setelah diceritakan dalam satu bagian buku laris Jim Collin, From Good to Great.
Ini disarikan dari pengalaman Admiral James Stockdale, perwira penerbang Angkatan Laut AS yang jadi tawanan perang tujuh setengah tahun di Hanoi, setelah pesawatnya ditembak jatuh Vietcong.
Bagaimana dia selama itu menghadapi kenyataan sehari-hari yang serba sangat tidak nyaman, tidak ada gambaran kapan berakhir, dan akhirnya bisa bebas, hidup bahagia. Face the brutal facts – ungkapan ini kemudian dikenal sebagai ajakan agar kita siap menghadapi fakta sepahit apa pun.
“You must never confuse faith that you will prevail in the end—which you can never afford to lose—with the discipline to confront the most brutal facts of your current reality, whatever they might be,” kata Admiral James Stockdale.
Bagaimana kita dapat menjadikan diri mampu hidup menjalani paradoks sesuai realitas sekarang dan bisa berprestasi, sambil menghadapi hari esok yang masih tertutup kabut ketidakpastian?
Minimal dua hal fundamental perlu kita hayati dan kerjakan. Pertama, leadership itu tidak statis, bukan merupakan suatu keyakinan atau tindakan. Karena kenyataannya, leadership adalah kombinasi sejumlah otot yang terbentuk melalui pengalaman menghadapi pelbagai persoalan, pelatihan, dan kerja keras.
Untuk menjadi seorang game-changing leader, diperlukan sederet upaya sungguh-sungguh, kesediaan berlatih, fokus dan komitmen membentuk otot-otot kepemimpinan yang tepat, untuk melahirkan impact positif bagi para pemangku kepentingan.
Kedua, memperbaiki dan menata ulang niat hidup dan meningkatkan nilai-nilai spiritualitas. Ini bukan kutipan dari kalangan ulama, pendeta, atau penasihat spiritual, tapi dari Peter F. Drucker, management guru kelas dunia.
Katanya, manusia itu lebih dari sekadar mahluk biologis dan fisiologis, tapi merupakan spiritual being, keberadaan kita ini mesti selaras dengan kehendak Sang Pencipta. “How can we maintain meaning and responsibility without spiritual values?”
Kita semua adalah sederet bayangan yang berkelebat di layar kehidupan, sampai Sang Maha Pengendali menyudahi nafas kita – untuk suatu saat dimintai pertanggungjawaban masing-masing. Pilihan kita adalah terus membenahi diri, supaya, atas izin-Nya, saat sampai ke ujung hidup kita berada dalam versi terbaik diri kita.
Mohamad Cholid adalah Member of Global Coach Group (globalcoachgroup.com) & Head Coach diNext Stage Coaching.
- Certified Executive Coach at Marshall Goldsmith Stakeholder Centered Coaching
- Certified Marshall Goldsmith Global Leadership Assessment
- Alumnus The International Academy for Leadership, Jerman
- (linkedin.com/mohamad-cholid)
- (sccoaching.com/coach/mcholid)