Sejurus, Wak Lihun melirik langit biru yang cerah. Wak Lihun, wajahnya penuh senyum, sambil bernyanyi-nyanyi kecil, ia menyeret sepeda kumbangnya ke jalan semen di depan rumahnya, dan dalam sekejap ia pun sudah nangkring di atas sadel karet busa yang sudah keras-membatu itu.
Namun lagu tua yang tidak pernah mengindahkan tata irama dan melodi itu sekonyong-konyong senyap. Menoleh ke atas, Wak Lihun menyaksikan matahari kehilangan senyum: gerimis mulai turun, makin lama makin deras.
Bunyinya semakin keras, menelan deru mobil, makian para pengendara sepeda motor dan kondektur metromini, klakson yang bersahutan, dan aneka hiruk pikuk jalan raya lain.
“Ujan kayak gini gak bakalan lama,” gumamnya, menggiring sepeda ke satu sudut ramai di tepi jalan. Cuaca di masa pemanasan global ini ibaratnya seperti mood swing bagi penderita manic depressive –dalam tempo singkat, suasana kejiwaan bergerak dari satu kondisi ekstrem ke ekstrem lain. Sepuluh menit berselang, Wak Lihun sudah mengayuh sepeda kumbangnya di atas jalan yang basah.
Wak Lihun tidak menyukai pemandangan di depannya: kolam-kolam kecil di antara aspal hitam — di matanya, hal ini tampak bagaikan bom waktu yang siap memporak-porandakan kegembiraannya hari itu. Serangan pertama datang dari seorang anak muda pengendara motor yang melintasi sebuah genangan kecil, tepat di sampingnya. Ia mengaduh, tapi bersyukur: genangan air cokelat itu cuma memercik kaki dan celananya.
Namun serangan mendadak dari sebuah Porsche mutakhir yang dikendarai seorang lelaki berambut putih-berwajah teduh membuatnya gelagapan. Dengan tenang lelaki itu melintasi sebuah kolam cukup besar di tengah jalan, seraya menyibakkan air kotor itu ke kanan-kiri.
Kali ini baju koko Wak Lihun yang hanya dikenakannya untuk bepergian itu tak tertolong lagi. Menghentikan sepedanya, ia merasa terhina, sedih, geregetan, tapi kehilangan kata-kata untuk memaki.
Di hadapan orang-orang yang lemah, kekuasaan seperti monster yang senantiasa mengancam. Tanpa niat buruk sekali pun, pemegang kekuasaan, dengan berbagai manifestasinya –kekayaan, jabatan, keperkasaan, mobil mewah dan canggih– selalu dapat menimbulkan mudarat kepada mereka yang lebih lemah.
Kekuasaan tak mengindahkan keberadaan orang lain; ia berawal dan berakhir pada kepentingan sendiri dan kalangan sendiri.
Tiba di rumah, kemarahan Wak Lihun menguap sudah. Ia membayangkan dirinya di belakang kemudi Porsche mewah itu dan menimbang: apakah ia masih ingat pada mereka yang mengayuh sepeda di hari hujan?