#SeninCoaching
#Lead for Good: Stakeholder Capitalism? Why Not.
Mohamad Cholid, Practicing Certified Executive and Leadership Coach
Jumlah manusia yang tersambar covid masih bertambah. Memasuki pekan kedua Maret ini sekitar 119,5 juta orang, dibanding beberapa hari sebelumnya 118,6 juta. Pembulatan dari data Worldometer, korban meninggal sekitar 1,65 juta dan dinyatakan sembuh 96,2 juta. Dari yang dianggap sembuh oleh dokter, ternyata tetap harus melalui tantangan berlapis untuk merdeka penuh.
Dr. Dicky Budiman, ahli epidemiologi dari the Centre for Environmental and Population Health at Griffith University, mengatakan, istilah “pulih” bagi para pasien covid-19 diukur tiga definisi: secara epidemiologis, sosial, dan klinis.
“Dari aspek klinis, dapat kita ketahui ada sejumlah kasus berkelanjutan, dampak jangka panjangnya masih belum dapat diperkirakan sampai kapan,” kata Dr.Dicky Budiman, sebagaimana ditulis Natasya Salim dan Hellene Souisa di ABC News belum lama ini.
Di ABC News tersebut ada kisah Juno Simorangkir dan Daulat. Keduanya menyelesaikan perawatan dan resminya dianggap sembuh. Namun belakangan Juno mengakui staminanya tidak seperti sebelumnya, bahkan tidak dapat tidur nyenyak, badan terasa seperti tertusuk-tusuk.
Daulat menghadapi realitas dirinya yang tidak lagi bisa bekerja sebagaimana dulu. Sebagai content maker ia belakangan hanya sanggup merampungkan separuh dari kemampuan hariannya. “Biasanya dari jam 7.00 sampai 10.00 pagi saya dapat menulis ulang lima artikel, belakangan kadang saya tidak ingat kenapa membuka laptop,” katanya. Oleh perusahaan tempatnya bekerja, Daulat diminta istirahat – dan kemudian dianggap tidak layak bekerja lagi.
Dari sekitar 96,2 juta orang di seluruh dunia yang dinilai pulih, berapa juta yang mengalami situasi seperti Juno Simorangkir dan Daulat, yang harus menghadapi realitas pahit saat menghadapi diri masing-masing, dan ketika berinteraksi dengan pekerjaan dan masyarakatnya?
Mereka seperti dijebak belenggu-belenggu baru, berupa keterbatasan fisik, stigma sosial, dan disudutkan pula oleh perilaku kepemimpinan sejumlah orang yang ternyata masih terkungkung mindset lama.
Para pengambil keputusan di sebagian organisasi bisnis memang belum merdeka dari pola hubungan kerja model Revolusi Industri. Sumber daya personel disedot seoptimal mungkin untuk kepentingan pemilik modal, jika cidera (karena sakit atau kecelakaan), walaupun masih hidup, dicampakkan. Tenaga kerja dianggap sebagai perkakas dalam proses produksi.
Penyintas covid yang dianggap sembuh secara klinis masih belum ada jaminan bisa pulih secara sosial, dan terancam pula sebagai profesional. Kepahitan itu di luar dari situasi pedih lain, yaitu lebih dari 6,4 juta pekerja di Indonesia telah “diistirahatkan tanpa gaji” dan dipecat (data Kadin Indonesia akhir 2020) karena kegiatan bisnis turun akibat pandemi.
Apakah potret muram tersebut merupakan produk dari perilaku kepemimpinan yang masih kikuk di organisasi-organisasi yang terbelenggu oleh cara pengelolaan usaha model sekian abad silam, di lingkungan masyarakat yang peradabannya seperti belum maju, mudah terjebak stigma?
Pertanyaan tersebut terpicu oleh perkembangan lebih baik di belahan dunia lain. Pemutusan hubungan kerja juga dialami oleh jutaan manusia. Tapi muncul gerakan penyeimbang.
Hasil survei dan penggalian McKinsey & Company di kalangan top executive pelbagai organisasi di sejumlah negara mengungkapkan adanya perubahan signifikan pada perilaku kepemimpinan mereka dalam menyikapi realitas yang diluar prediksi. Perubahan terjadi sejak pandemi merebak.
Ratusan CEO dan eksekutif puncak yang berdialog dengan tim ahli McKinsey & Company rata-rata mengakui, kenyataan menantang akibat pandemi membuat mereka melakukan sejumlah keputusan dengan pendekatan-pendekatan baru. Di luar dari teori dan pelatihan yang pernah mereka terima. Ini membuktikan, pengembangan kepemimpinan berbasis real time on the job dan melibatkan para stakeholder jadi sangat relevan, benefitnya dirasakan leader dan timnya.
Para CEO dan eksekutif senior tersebut telah menggeser haluan, memimpin organisasi mengarah pada kepentingan shareholders sekaligus menentukan langkah-langkah yang memberikan positive impact bagi masyarakat.
Pandemi ini, dengan implikasi yang (menurut sebagian kalangan) tak kurang pedihnya dibanding dampak Perang Dunia II, memberikan sejumlah pelajaran penting. Apa pun yang kita pelajari, kata Rajnish Kumar, Chairman the State Bank of India, “it must not go to waste.”
Mengutamakan kepentingan para pemegang saham selama ini sudah menjadi semacam muscle memory di kalangan para ekskutif puncak. Krisis akibat pandemi global selain merupakan proses pembelajaran juga telah memicu pertanyaan, otot kepemimpinan apa lagi yang mesti dikembangkan agar bisa eksis secara lebih baik – kalau bisa lebih mulia — sekarang dan esok?
Robert Smith, CEO Vista Equity Partners, firma private-equity yang mengelola sekitar 60 perusahaan dalam portofolionya, mengatakan, kini para CEO menyadari realitas pelik yang harus diatasi. “Kemana pun arahnya, mereka akan berhadapan dengan para stakeholders berbeda, yaitu para mitra, pihak pemerintah, pemasok, dan para karyawan. They were experiencing the interconnectedness of stakeholder capitalism in everything they did.”
Belakangan memang berkembang sikap untuk mewujudkan stakeholder capitalism, utamanya di kalangan eksekutif, pemimpin organisasi, dan para pelaku usaha yang tidak nyaman lagi jadi bagian kapitalisme yang mereka anggap salah arah – termasuk di AS, yang dianggap sebagai biang kapitalisme.
Krisis akibat pandemi tampaknya jadi pemicu bagi penegasan pentingnya stakeholder capitalism. Benih-benihnya sesungguhnya sudah bermunculan secara sporadis di pelbagai negara, jauh sebelum pandemi – hanya mereka belum atau tidak menyebutkan spesifik istilah stakeholder capitalism, walaupun praktik sehari-harinya sudah mengarah ke sana. Mereka melibatkan para pemangku kepentingan – pemodal, tim, pemasok, customers – dalam pengembangan produk, serta berinteraksi positif dengan masyarakat.
Seperti memastikan perubahan signifikan tersebut, sekaligus sebagai respon atas krisis akibat pandemi, Januari 2021 kemaren Klaus Schwab (pendiri World Economic Forum) dan Peter Vanham meluncurkan buku Stakeholder Capitalism: A Global Economy that Works for Progress, People and Planet.
Hari ini kita sepantasnya cek ulang, jalan mana yang kita tempuh. Kapitalisme model zaman Revolusi Industri (yang cenderung dzalim), masih terus terikat pada Ersatz Capitalism (istilah Kunio Yoshihara tentang kapitalisme semu di Asia Tenggara) atau Stakeholder Capitalism, yang tampaknya lebih relevan?
Ini ujian kepemimpinan kita semua, yang tengah memegang amanah di sektor bisnis, nonprofit, dan tentunya juga bagi para pengambil keputusan di pemerintahan, yang ikut bertanggung jawab menentukan arah ekonomi. Kepemimpinan adalah proses pendakian mental, intelektual, dan spiritual bagi orang-orang yang ingin tetap mengabdi pada kemuliaan hidup bersama.
Mohamad Cholid adalah Member of Global Coach Group (www.globalcoachgroup.com) & Head Coach di Next Stage Coaching.
- Certified Executive Coach at Marshall Goldsmith Stakeholder Centered Coaching
- Certified Marshall Goldsmith Global Leadership Assessment
- Alumnus The International Academy for Leadership, Jerman
- (http://id.linkedin.com/in/mohamad-cholid-694b1528)
- (https://sccoaching.com/coach/mcholid1)