Senin, November 18, 2024

Orang-orang yang bahagia, fun-tastic, arogansi profesi, dan checklist

Must read

#SeninCoaching

#Lead for Good: Getting it Right or Die

Mohamad Cholid, Practicing Certified Executive and Leadership Coach

Di sebuah Kantor Pelayanan Pajak (KPP) Pratama yang halamannya rindang karena banyak pohon, pekan silam. Kendaraan yang parkir di halaman dalam hanya beberapa. Karena ada tenda untuk para wajib pajak yang gagal online, mengisi formulir di lokasi. KPP ini di jalan buntu, memudahkan parkir kendaraan sekaligus menjadikannya nyaman bagi para “vendors” kebutuhan pegawai dan para wajib pajak yang bergiliran datang.

Ada mobile coffee corner (rak serbaguna, penyimpan tremos dll, bertengger di atas motor, digelantungi kopi bungkus), yang juga jual meterai, rokok, bolpen, dan masker. Di sebelahnya ada tukang bakso gerobak, dengan sepuluh bangku plastik warna-warni. Mereka kelihatan sudah akrab dengan para pegawai kantor pajak, utamanya petugas keamanan, sopir kepala kantor dan juga staf. Omongan skor dan info-info seputar pertandingan bola yang mereka tonton di televisi menjadi topik utama. Ramai, kegembiraan mewarnai interaksi mereka.

Di tengah pandemi yang belum berakhir, mereka semua punya masker. Tapi masker tukang bakso dan penjual kopi tidak menutup hidung dan mulut mereka, hanya menempel di dagu, kadang jatuh ke leher. Si penjual kopi kadang malah batuk-batuk. Tapi mereka banyak tertawa, bahagia. Fun-tastic. Tidak ada kegundahan, tidak pula terdengar keluhan.

Si tukang bakso bahkan saat menyiapkan mie makso bagi pelanggan-pelanggannya dengan cekatan, tetap sambil nyerocos ngomong sana-sini. Dengan pelanggan menanyakan sausnya mau banyak atau sedikit, kadang dengan para pegawai pajak di balik pagar tentang sepak bola. Jangan tanya berapa kali kemungkinan muncratan saliva dari mulutnya ke mangkok.

Para pelanggan yang bergiliran datang dan duduk di bangku plastik, lebih fun-tastic lagi. Mereka — dari penampilannya tampaknya berpendidikan tinggi, jadi karyawan dengan gaji yang sudah wajib bayar pajak — pada santai melepas masker untuk menikmati bakso dan mie-bakso pesanan masing-masing. Mereka juga nampak bahagia. Barangkali juga merasa lega sudah melaporkan SPT Tahun 2020.

Seorang di antara pembeli bakso, ibu muda berpakaian apik, menyodorkan hp-nya ke tukang bakso untuk memandu pejemputnya. Lantas menerima kembali telepon tersebut dan langsung bicara lagi — tanpa sedikit pun upaya membersihkannya dulu. Kemudian ia bergerak ke tempat teduh, menunggu, pasang masker lagi. Fun-tastic.

Pandemi? Protokol kesehatan dan kehati-hatian berinteraksi di masyarakat? Itu seperti tidak berlaku buat mereka yang ada di luar halaman KPP. Mereka semua bahagia. Sedang di halaman dalam, apalagi di ruang kerja KPP, protokolnya ketat. Ada keran cuci tangan, hand sanitizer, tabir bening di meja konsultasi pajak, dan semua orang bermasker.  

Orang-orang yang banyak tertawa, kelihatan sangat menikmati hidup, di pinggir jalan buntu tersebut apakah mungkin abai atau memang merasa tidak perlu cemas menghadapi wabah?

Semua itu saya saksikan setelah konsultasi pajak selesai dan selama satu jam lebih menunggu dijemput istri, yang tengah pergi ke sebuah klinik tidak jauh dari sana untuk dapat surat rekomendasi memenuhi syarat disuntik vaksin.

Urusan surat layak vaksin demikian lama, rupanya akibat dokter spesialisnya telat datang ke klinik, hampir satu jam dari waktu yang dijanjikan. Tentu saja situasi ini sangat mengkhawatirkan, karena menimbulkan kumpulan orang dalam satu ruangan tertutup – bukankah menurut para ahli epidemiology kondisi ini mesti dihindari dalam upaya kita menghentikan wabah? 

Saat perjalanan ke kantor pajak, saya kebetulan juga teleponan dengan relasi yang ternyata tengah menunggu dokter spesialis untuk mengkonfirmasi hasil test laboratorium pasca operasi prostat. Dia juga menunggu dokter lama, malah lebih dari satu jam.

Apakah dokter-dokter spesialis di dua klinik yang berbeda tersebut juga abai terhadap protokol kesehatan seperti tukang bakso gerobak dan lainnya di luar kantor pajak itu? Anda mungkin menjawab, tentunya tidak, mereka ‘kan dokter. Atau, jangan-jangan dokter-dokter tersebut tidak bahagia, sehingga kurang antusias menemui para pasien masing-masing? 

Lantas apa penyebab mereka telat datang ke klinik dan membiarkan para pasien menunggu lama, mengakibatkan terjadi pengumpulan orang – karena ada pasien-pasien untuk dokter lainnya — di ruang tertutup, padahal sedang pandemi? Karena ini sering terjadi juga di sejumlah klinik atau rumah sakit lainnya, apakah ini indikasi adanya arogansi profesi? Karena merasa sangat dibutuhkan, dokter-dokter itu membiarkan para pasien menunggu lama.

Apakah dokter-dokter tersebut tidak ikut berupaya menghentikan pandemi? Atau lebih jauh lagi, apakah mereka tidak menghargai pengorbanan ratusan sejawat mereka yang berguguran tersambar covid saat bertugas di garda depan dalam penanganan wabah?

Mungkin semua itu pertanyaan naif. Tapi, perilaku dokter-dokter (spesialis) gagal memenuhi jam praktiknya sendiri terjadi dimana-mana. Sementara itu ada sejumlah rumah sakit yang bisa menerapkan kehadiran dokter-dokternya sesuai jam praktik – maka para pasien mereka happy

Kebahagiaan para pasien yang tertolong dan disiplin para dokter terkait erat. Dokter Atul Gawande, ahli bedah dan professor di Harvard School of Public Health, mengungkapkan ego dan arogansi profesi kalangan dokter (spesialis) dalam buku The Checklist Manifesto (2011).

Sebagai spesialis, merasa lebih pintar, para dokter cenderung “maunya sendiri,” tidak menggubris para suster yang mengingatkan hal-hal sederhana sesuai checklist, seperti cuci tangan, mengenakan pakaian dan sarung tangan steril, membersihkan kulit pasien dengan chlorhexidine antiseptic, dst.nya. Banyak kematian di rumah sakit akibat kecerobohan.

Kenyataannya, setelah enam bulan surgical checklist diberlakukan dan ditaati para dokter di pelbagai rumah sakit, dari Seattle AS sampai Tanzania, tanpa menambah ongkos dan perkakas, komplikasi pasca operasi turun 36%, kematian berkurang 47%. Artinya, kalau para dokter spesialias tersebut bersedia rendah hati mengikuti checklist, puluhan ribu orang terselamatkan.

Tukang bakso gerobak dkk. di jalan depan kantor pajak itu abai, tidak mentaati protokol kesehatan, bisa jadi karena pengetahuan mereka tentang wabah minim. Kalau dokter spesialis dalam cerita di atas tidak menyadari dampak perilakunya yang membiarkan pasien menunggu berlama-lama dalam kumpulan banyak orang di ruang terutup, tentunya bukannya tidak tahu, tapi mungkin karena sudah sangat tahu sehingga menyepelekan.

Arogansi profesi karena merasa sudah berilmu tinggi dan sangat berpengalaman di bidangnya, juga terjadi di lingkungan keahlian lain. Golongan ini cenderung maunya berurusan dengan persoalan besar dan minta diistimewakan untuk tidak ikut disiplin checklist. Di dunia bisnis, dampaknya perusahaan bisa oleng. Di penerbangan, kecelakaan.

Menurut FAA (Federal Aviation Administration), lebih dari 88% kecelakaan penerbangan akibat human error, kebanyakan karena pilot kehilangan kendali. Anda masih ingat kecelakaan-kecelakaan pesawat akibat pilot (sesuai hasil investagasi) ketahuan mabok?

Di lingkungan usaha, kita bisa dengar dari Michael E. Gerber, pendiri E-Myth, institusi business coaching yang beroperasi sejak 1977. Katanya, kebanyakan perusahaan gagal bukan karena pemilik/pengelolanya tidak memahami keuangan, marketing, manajemen, dan operasionalnya – bukan itu. Tapi akibat mereka menghabiskan energi dan waktu ngotot mempertahankan yang mereka pikir sudah mereka ketahui.

Sebaliknya, “the greatest businesspeople I’ve met are determined to get it right no matter what the cost,” kata Michael.

Getting it right” terkait dengan etika, prinsip moral, dan kebenaran universal. Dalam kenyataan sesuai pengalaman terbukti, untuk menegakkan sikap getting it right, ongkos paling signifikan utamanya ego para eksekutif/pimpinannya — bukan uang. 

Fakta sejarah membuktikan, organisasi yang suksesnya melegenda, para eksekutifnya mentaati checklist demi getting it right, termasuk Rockefeller. Sehingga muncul istilah “Rockefeller Habits Checklist” dalam proses eksekusi (Verne Harnish, Scaling Up, 2014). Apple Inc. adalah satu contoh lain organisasi yang para eksekutifnya konsisten mengikuti checklist.

Mohamad Cholid adalah Member of Global Coach Group (www.globalcoachgroup.com) & Head Coach di Next Stage Coaching.

  • Certified Executive Coach at Marshall Goldsmith Stakeholder Centered Coaching
  • Certified Marshall Goldsmith Global Leadership Assessment (GLA 360)
  • Certified Global Coach Group Leadership Assessment & Coach
  • Alumnus The International Academy for Leadership, Jerman

(http://id.linkedin.com/in/mohamad-cholid-694b1528)

(https://sccoaching.com/coach/mcholid1)

Artikulli paraprak
Artikulli tjetër
- Advertisement -

More articles

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini

- Advertisement -

Latest article