Catatan Idrus F. Shahab
Di sepanjang hidupnya, Wak Lihun boleh dibilang hanya sebentar “makan sekolahan.”
Namun, Wak Lihun muda adalah anak yang spesial. Ketika tunggakan iuran sekolah sudah mustahil dibayarkan, diam-diam ia berpaling kepada televisi, surat kabar, dan majalah yang membimbingnya berpikir kritis.
Aneh memang. Di tangan Wak Lihun, media yang tidak bebas nilai itu bukan saja mengantar ke “jalan sesat,” tapi juga ke “jalan lurus.”
Ada salah satu kesimpulannya yang mungkin masih relevan dari waktu ke waktu. Mulai dari zaman televisi hitam putih sampai televisi berwarna, seumur-umur Wak Lihun tak pernah nyaman melihat bendera Bintang Daud berkibar gagah ditiup angin gurun.
Terakhir, rasa gundah itu muncul ketika ia menyaksikan demonstrasi pelanggaran hak asasi manusia terang-terangan yang dilakukan para serdadu Tentara Pertahanan Israel (IDF).
Di perbatasan Gaza, tentara Yahudi menghadapi unjuk rasa anak-anak remaja Palestina yang mengacungkan tinjunya tinggi-tinggi dengan senapan yang siap meletus. Tak ayal lagi terkaparlah puluhan remaja Palestina yang menentang pendudukan atas tanahnya sendiri itu di atas genangan darah masing-masing.
Mengikuti perkembangan ini, Wak Lihun kehilangan selera makannya. Kolak pisang buatan istri tersayang hanya disentuhnya sedikit. Sekedar menghormati sang nyonya yang telah mengerahkan segenap energi bagi keluarga serta pasangan tercintanya.
Mendengar amarah dunia internasional yang telah menyaksikan pertunjukan-pertunjukan kebiadaban para serdadu pendudukan Israel, Wak Lihun jadi berpikir keras: mengapa Israel seolah-olah tidak merasa bertanggungjawab, apalagi merasa bersalah, atas rangkaian persekusi terhadap anak-anak remaja yang tak berdosa itu.
Dua hari-dua malam memikirkan hal ini, Wak Lihun yang senantiasa mengikuti perkembangan Israel sejak perang kemerdekaan 1948, Perang Enam Hari 1967, Perang Oktober 1973 dan seterusnya itu akhirnya tersandung satu kesimpulan yang lantas membuat lututnya gemetar. Ia khawatir kecurigaannya yang baru saja melintas di kepala itu sahih adanya.
Dunia berubah. Tapi Israel sepertinya tak melihat perbedaan antara situasi di masa Perang Dunia II, tatkala ribuan orang Yahudi dibantai habis dalam peristiwa Holocaust, dengan dunia kini. Israel bukan hanya korban di saat itu, tapi juga saat ini. Dikelilingi tetangga Arab-nya, bukankah Israel hidup dalam lingkungan yang senantiasa khusyuk berdoa untuk musnahnya Bintang Daud.
Sebagai “sang korban,” Israel mempunyai privilese untuk tidak dinilai menurut norma-norma yang berlaku bagi orang banyak. Berada di luar jangkauan etika, sang korban berhak melakukan hal-hal yang diharamkan bagi mayoritas umat manusia. Dan barangsiapa melancarkan kritik atau memperlihatkan ketidaksetujuan atas ketentuan yang partikular ini, niscaya pada jidatnya akan disematkan label “anti semit” – artinya, tingkat kejahilannya kira-kira setara dengan “rasis.”
Peluh yang membasahi dahi Wak Lihun yang berkerut itu mengalir semakin deras. Wak Lihun melihat bukan hanya Israel yang terperangkap dalam mentalitas yang membuatnya tak pernah merasa bersalah dalam segala hal.
Menarik nafas dalam-dalam, perlahan Wak Lihun melihat anak negeri ini yang pandai mendudukkan diri sebagai “korban,” dan dengan begitu mereka pun bebas dari tanggungjawab dan rasa bersalah. Bukankah si nasionalis maupun si islamis sama-sama mendudukkan dirinya sebagai korban dari yang lain.
Bukan, bukan konspirasi durjana itu tak hadir di bumi pertiwi ini. Tapi sikap anti kritik, dan kerap menimpakan segenap kesalahan kepada orang lain, kepada konspirasi kekuatan raksasa-raksasa jahat itu — ketimbang bermuhasabah atau menghisab, serta memperbaiki kelemahan diri– membuat mentalitas bangsa tidak kunjung sehat.
Di saat-saat menjelang buka puasa, manakala doa makhluk diijabah sang Khalik, Wak Lihun terus berdoa: semoga apa yang ia pikirkan ini salah belaka.