Pemerintah Inggris berusaha keras menghempang invasi katun dan sutra halus India. mulai tahun 1685, tekstil India dikenakan tarif yang sangat tinggi.
Tarif terus meningkat sampai akhirnya menjadi larangan, dan bahkan pernah pintu impor sama sekali tertutup.
tetapi larangan dan pembatasan tidak berhasil menghentikan pesaing itu. Setengah abad setelah mesin uap dan revolusi industri Inggris, penenun India tetap bertahan, walaupun dengan teknologi primitif. Tekstil kualitas tinggi mereka dan harganya yang murah tetap mendapatkan pembeli.
Pesaing yang keras kepala ini baru dapat dihancurkan ketika Imperium Inggris melakukan penaklukan militer atas seluruh India lewat darah dan senapan, dan kemudian mengharuskan para penenun membayar pajak yang luar biasa tinggi.
belakangan, pada pertengahan abad sembilan belas, Inggris berbaik hati menangani para korban bom-atomnya itu. Ketika semua alat tenun India telah tenggelam di dasar Sungai Thames, India menjadi pelanggan utama tekstil Manchester.
Saat itu Dhaka, yang oleh Clive dari India yang legendaris, dibandingkan dengan London dan Manchester, kosong. Empat dari lima penduduk pergi. Dhaka masih tetap menjadi pusat industri Bengal, namun produknya bukan lagi tekstil tetapi opium. Clive, penakluknya, meninggal karena overdosis, tetapi ladang opium subur dan sehat di tengah kehancuran semua lainnya.
Sekarang Dhaka adalah ibu kota Bangladesh, negara termiskin di antara yang miskin.
Eduardo Galeano
“Mirrors”
Penerjemah: Wardah Hafidz