Oleh Angelina Anjar Sawitri dari Tempo Media Lab.
India diterjang “tsunami Covid-19”. Belakangan ini, jumlah kasus positif Covid-19 di negara yang terletak di Asia Selatan itu meroket. Pada 28 April 2021, total kasus infeksi Covid-19 harian di India mencapai 362.567 kasus dengan lebih dari 200 ribu kematian.
Saking banyaknya penderita, rumah-rumah sakit baik di New Delhi, ibukota India, hingga yang berada di pelosok daerah, menolak pasien karena kehabisan tempat tidur dan oksigen.
Gelombang kedua pandemi Covid-19 tersebut memicu suara-suara kritis terhadap pemerintah. Beberapa unggahan yang viral di media sosial menyoroti kontradiksi antara pernyataan terbaru Perdana Menteri India Narendra dengan tindakan Modi sebelumnya.
Pada 25 April lalu, misalnya, Modi berkata, “Saat ini, untuk memenangkan pertarungan ini, kita harus mengutamakan para ahli dan nasihat ilmiah.” Tapi menurut para pengeritiknya, baru-baru ini, Modi justru mengabaikan nasihat ahli tentang risiko melonggarkan pembatasan ketika dia menggelar kampanye politik besar-besaran tanpa memperhatikan jarak sosial.
Sayangnya, kritikan-kritikan terhadap pemerintah India ini justru menjadi sasaran sensor. Per 25 April, pemerintah India meminta Facebook, Instagram, dan Twitter menghapus ratusan unggahan di platformnya yang mengkritik penanganan pandemi, termasuk dari kelompok oposisi.
Perintah ini juga ditujukan pada unggahan yang menyerukan agar Modi mengundurkan diri. Pemerintah India beralasan unggahan-unggahan tersebut “menyebarkan informasi palsu atau menyesatkan dan menciptakan kepanikan tentang situasi Covid-19 di India dengan menggunakan gambar yang tidak terkait”.
Salah satu konten yang diblokir adalah unggahan Moloy Ghatak, menteri tenaga kerja negara bagian Benggala Barat, India, yang dikuasai oposisi. Ghatak menuding Modi meremehkan situasi di negaranya dan membiarkan begitu banyak orang meninggal karena “salah urus”.
Cuitan Ghatak di Twitter itu memuat foto Modi dan kampanyenya, bersama foto kremasi, serta membandingkan Modi dengan Nero, kaisar Romawi, karena memilih mengadakan pertemuan politik dan mengekspor vaksin selama “krisis kesehatan”.
Konten lain yang diblokir berasal dari Pawan Khera, juru bicara partai oposisi utama pemerintah India, Indian National Congress (INC).
Dalam cuitannya, dia menyebut partai nasionalis Hindu yang berkuasa, Bharatiya Janata Party (BJP), gagal mengakui bahwa festival keagamaan besar-besaran yang menarik jutaan peziarah Hindu ke tepi Sungai Gangga, beserta kampanye politiknya, berkontribusi terhadap penyebaran Covid-19.
Kepada The Verge, juru bicara Twitter mengatakan bahwa perusahaan membuat cuitan tertentu tidak dapat dilihat oleh pengguna yang berlokasi di India jika cuitan tersebut melanggar hukum setempat.
“Saat menerima permintaan hukum yang valid, kami meninjaunya. Jika melanggar Peraturan Twitter, konten tersebut akan dihapus dari platform. Jika konten itu dianggap ilegal di yurisdiksi tertentu, tapi tidak melanggar Peraturan Twitter, kami dapat menahan akses ke konten tersebut hanya di India,” kata juru bicara itu.
Ini bukan pertama kalinya Twitter mengabulkan permintaan pemerintah India. Pada Februari lalu, di tengah gelaran demonstrasi oleh para petani di India, Twitter memblokir lebih dari 500 akun secara permanen dan membuat sejumlah akun lainnya tidak terlihat oleh pengguna yang berlokasi di India.
Menurut The New York Times, ketika itu, pemerintah India mengeluarkan pemberitahuan ketidakpatuhan ke perusahaan, yang bisa berarti hukuman penjara bagi karyawan Twitter di India jika perusahaan menolak permintaan tersebut.
The New York Times berpandangan, langkah-langkah memberangus ujaran online ini memperdalam konflik antara platform media sosial dengan pemerintahan Modi. Beberapa bulan terakhir, kedua pihak berselisih akibat dorongan pemerintah India untuk lebih ketat mengawasi ujaran online.
Direktur Eksekutif Internet Freedom Foundation, Apar Gupta, berkata perintah itu digunakan untuk melakukan “penyensoran” dengan dalih membuat media sosial lebih “bertanggung jawab”.
Sementara profesor dari University of Delhi, Aftab Alam, berkata, “Karena Anda tahu lebih mudah menghapus tweet daripada memastikan pasokan oksigen.”
Pamela Philipose, komentator media dan ombudsman untuk media The Wire, meyakini bahwa BJP, yang telah berkuasa di India sejak 2014, tidak dapat mentolerir kritik dan ingin mengontrol narasi publik. “Insting pertama pemerintah adalah mengontrol informasi,” katanya.
“Tentu saja, pandemi memunculkan misinformasi. Tapi alat sensor yang tumpul seperti penghapusan secara luas paling tidak membantu, karena menekan informasi penting.”
Anggota parlemen India dan aktivis hak asasi manusia juga mengatakan penghapusan ratusan tweet kritis terhadap cara pemerintah India menangani pandemi Covid-19 membahayakan kesehatan masyarakat dan membungkam perbedaan pendapat.
“Penindasan informasi dan kritik tidak hanya berbahaya bagi India, tapi juga menempatkan orang-orang di seluruh dunia dalam risiko,” kata Mirza Saaib Beg, seorang pengacara yang cuitannya ikut diblokir.
Dalam sebuah pernyataan, kementerian teknologi informasi India mengatakan bahwa pemerintah menyambut baik kritik terhadap langkahnya dalam memblokir konten seputar Covid-19.
“Tapi perlu diambil tindakan terhadap pengguna yang menyalahgunakan media sosial selama krisis kemanusiaan yang parah ini untuk tujuan yang tidak etis.” Gupta menduga konten-konten ini diblokir berdasarkan Pasal 69A Undang-Undang Teknologi Informasi India, yang memungkinkan pemerintah memblokir konten yang mengancam keamanan nasional.
Menurut Wall Street Journal, tahun lalu, pemerintah India mengutip aturan itu ketika melarang TikTok, platform berbagi video milik, ByteDance, serta puluhan aplikasi asal Cina lainnya setelah terjadi bentrokan di perbatasan antara pasukan kedua negara.
Pada Februari lalu, pemerintah India menetapkan aturan baru yang mengatur perusahaan internet, seperti Twitter, Facebook, dan WhatsApp, secara lebih luas. Regulasi ini diklaim diperlukan untuk melawan peningkatan jumlah berita palsu dan konten kekerasan di dunia maya.