Hadirnya teknologi digital dewasa ini memang terbukti memudahkan komunikasi dan membantu banyak aktivitas masyarakat untuk menambah informasi, berdagang, dan belajar. Namun, manfaat itu juga mesti diimbangi dengan kemampuan menyaring informasi yang mengguyur dunia maya secara berlebihan, tak terbendung, tanpa batas.
Kalau tidak diikuti kecerdasan dan kokohnya nilai-nilai kebangsaan yang dilandasi nilai Pancasila, maka hadirnya informasi di ruang digital bukan malah menambah wawasan anak bangsa tapi justru berpeluang mengancam keutuhan kita berbangsa.
”Sebab, kalau tidak mampu membedakan informasi yang dicerna, malahan bisa memecah belah keutuhan bangsa. Menjadi warga digital yang memiliki jiwa Pancasilais, itu salah satu solusi yang mesti dimiliki warga digital Indonesia,” begitu paparan DR. Ida Ayu Putu Sri Widnyani, pengajar Universitas I Gusti Ngurah Rai Bali.
Widnyani menyampaikan hal itu saat tampil sebagai narasumber dalam Webinar Literasi Digital yang digelar Kementerian Kominfo dengan Debindo untuk wilayah Kabupaten Magelang, 8 Juni 2021. Mengusung tema ”Literasi Digital Meningkatkan Wawasan Kebangsaan”, webinar kali ini dihadiri lebih dari seratus peserta dari beragam profesi. Webinar dimoderatori presenter Bella Azhari.
Narasumber lain, Taty Apriliyana dari Kaizen Room, menambahkan ihwal lonjakan pengguna ruang digital selama pandemi yang justru semakin riuh. Ini memunculkan plus minus. Plusnya, karta Taty, kita jadi punya ruang dan informasi yang tanpa batas. Tetapi hal itu sekaligus jadi ruang hadirnya beragam paham baru yang bisa mengganggu kelangsungan kebersaaman kita dalam satu ruang wawasan kebangsaan yang – kalau tak hati-hati – mudah terkoyak.
”Kita mesti belajar menyaring info yang datang. Apakah info tersebut benar atau hoaks dan berpotensi memecah belah bangsa. Karena, ruang digital penggunaannya tidak hanya harus aman buat kita, tapi juga buat orang lain. Di situlah ketrampilan digital safety menjadi penting dikuasai,” ujar Taty.
Yang tidak kalah penting dilakukan untuk menjaga ancaman keutuhan bangsa adalah kebiasaan warga digital yang suka ceroboh sharing tanpa saring.
”Biasakan selalu mencari sumber lain dari informasi yang kita dapat untuk mendapatkan kebenaran infonya. Siapa tahu, itu info hoaks yang sengaja diproduksi untuk kepentingan tertentu. Cek dan ricek. Jangan ikut jadi penyebar berita bohong,” ujar Novitasari, pengajar Universitas Tidar Magelang yang tampil dalam kesempatan berikutnya.
Memang, yang tak bisa dihindarkan, budaya digital masyarakat tak lepas dari kebiasaan di dunia nyata. Orang yang punya kebiasaan berpikir positif akan berhati-hati dalam menyebar atau mengunggah informasi sebelum menyaringnya. Tapi masyarakat yang berkebiasan negatif, suka suudzon, akan punya kebiasaan gampang dan cepat posting info tanpa menyaring dulu.
”Dia selalu berpikiran, info yang dia dapat dari dunia maya itu benar, tanpa mau ngecek. Ini yang berbahaya buat kehidupan berbangsa, baik di dunia nyata apalagi digital,” terang Syukron Masjid yang juga staf pengajar Universitas Tidar.
So? Sekali lagi, tradisi merasa ingin paling duluan menyebar info di dunia digital itu kebiasaan yang mesti dihapus jejaknya dalam perilaku bermedsos. ”Selain perlu saring sebelum sharing, akan lebih bagus kalau kita punya kebiasaan menjadi penyetop. Cukup sampai di kita info negatif itu. Tak perlu diunggah ke mana mana,” ujar key opinion leader Michele Wanda.