Aktivitas di ruang digital akan meninggalkan jejak yang tidak bisa hilang, bahkan jejak digital bisa berpengaruh ke dalam kehidupan nyata. Hal ini mengingatkan kepada kita pada istilah “jempolmu harimaumu”, agar kita lebih memperhatikan aktivitas di ruang maya.
Mengenai jejak digital ini dibahas dalam webinar literasi digital yang digelar Kementerian Kominfo untuk masyarakat Kab. Semarang, Selasa (29/6/2021) bersama pemandu acara Nabila Nadjib. Webinar menghadirkan empat narasumber yang berkompeten di bidangnya: konsultan komunikasi dan media sosial, Wicaksono; dosen Institut STIAMI Jakarta, Haswan Boris Muda Harahap; ketua pengasuh asosiasi pesantren, Kholilu Rohman; ketua Yayasan Quranesia Amrina Rasyada, Zusdi F. Arianto; serta presenter news Jogja TV Adinda Daffy selaku key opinion leader.
Literasi digital merupakan program yang dicanangkan oleh Presiden RI Joko Widodo pada 20 Mei 2021 untuk mewujudkan masyarakat yang cakap digital. Salah satunya dengan mengetahui dampak rekam digital yang kita lakukan selama berselancar di dunia maya.
Wicaksono menjelaskan jejak digital merupakan semua data yang ditinggalkan selama mengakses internet, ia bersifat timeless atau abadi. Jejak digital meski sudah dihapus namun kemungkinan besar ada orang yang telah melakukan screen capture komentar atau konten yang kita unggah, dan hal itu bisa dimunculkan lagi.
“Sebab itu berhati-hatilah dengan segala aktivitas di internet. Sebab google mencatat semua aktivitas, mencatat dosa dan pahala di ruang digital. Kita juga perlu menyadari dampak konten dan komentar di media sosial, sebab semua orang bisa mengaksesnya bahkan orang yang tidak dikenal sekalipun,” jelas Wicaksono yang juga akrab disapa Ndoro Kakung.
Ia mengajak warga digital untuk memikirkan dampak yang ditimbulkan oleh komentar atau konten yang diunggah ke ranah digital. Bisa jadi komentar itu berujung pada cyber bullying atau perundungan siber. Selain itu tidak semua orang memiliki cara pandang yang berbeda dalam melihat dan menafsirkan info karena perbedaan budaya, pengalaman, dan tingkat melek digital. Oleh sebab itu ketika menuliskan kata atau istilah perlu direnungi dan dipahami dulu sebelum diunggah.
“Konten di internet itu punya potensi daya rusak yang sangat besar. Berita hoaks tentang vaksinasi Covid-19 misalnya yang saat ini banyak beredar telah menimbulkan ketakutan di masyarakat. Kabar adanya vaksin mengandung babi atau ada microchip di dalamnya membuat orang takut menjalani vaksinasi padahal menurut WHO hal itu tidak dibenarkan. Sekali info hoaks itu tersebar, kita sulit memulihkannya. Pastikan sebelum menyebar sesuatu infonya benar,” imbuh Wicaksono.
Wicaksono menyampaikan ada lima cara untuk menjaga jejak digital tetap pada koridor yang benar dan positif. Yaitu dengan memastikan kebenaran sebuah info sebelum disebarkan; apakah konten atau info yang didapat berguna; pastikan info atau konten yang disebarkan bukan hal yang terlarang; penting tidaknya informasi tersebut untuk publik; serta apakah informasi tersebut baik dan berbobot.
“Pesan saya, berhati-hatilah dalam mengunggah komentar dan konten. Jaga jempolmu untuk menjaga jejak digitalmu,” pungkasnya.