Jejak digital adalah rekam atau bukti yang ditinggalkan setelah beraktivitas di internet yang berpotensi dicari, dilihat, disalin, dicuri, dipublikasi, dan diikuti oleh orang lain. Jejak digital dapat membentuk citra diri seseorang. Dan, jejak digital buruk tentu dapat merugikan diri sendiri.
”Contoh jejak digital; misal unggahan foto atau status, konten blog atau vlog, komentar, riwayat pencarian, transaksi belanja, riwayat email, riwayat telepon dan video call,” ujar Eko Nuryono dalam acara webinar literasi digital yang mengusung tema ”Memahami Rekam Digital di Dunia Maya” suguhan Kementerian Kominfo untuk masyarakat Kabupaten Cilacap, Jawa Tengah, Jumat (16/7/2021).
Jejak digital itu kejam, kata Eko Nuryono. Jejak digital juga bisa dibedakan antara yang pasif dan aktif. Jejak digital pasif, merupakan data yang ditinggalkan tanpa sadar oleh pengguna ketika berselancar di dunia maya.
”Misalnya saat mengunjungi sebuah situs, mereka dapat menyimpan alamat IP (internet protocol) pengguna. Dengan alamat IP ini dapat dikenali internet service provider (ISP)-nya, sehingga bisa memperkirakan lokasi si pengguna,” jelas Eko yang seorang digital media strategist itu.
Sedangkan jejak digital aktif, lanjut Eko, adalah data atau informasi yang dengan sengaja diunggah oleh seseorang ke dunia maya. Contohnya, email yang dikirimkan atau apa pun yang diunggah ke media sosial, mulai dari cuitan Twitter, foto di Instagram, video di Youtube dan sebagainya.
Lebih jauh Eko Nuryono mengatakan, mengapa jejak digital sering dibilang kejam? Sebab, selain membekas di masing-masing perangkat pengguna, jejak digital juga tersimpan di server-server perusahaan internet. Jejak digital sanggup mendeskripsikan sosok seseorang.
”Ada juga perusahaan internet yang menggunakannya untuk iklan. Bahkan, beberapa perusahaan melihat jejak digital saat merekrut karyawan. Sekali masuk internet, jejak digital mudah tersebar dan sulit dihilangkan,” tegas Eko. Untuk itu, Eko mengingatkan, bijak dalam bermain media sosial merupakan salah satu yang wajib dilakukan agar kita tidak meninggalkan jejak digital yang buruk.
Berikutnya, Agus Supriyo menyatakan, jejak digital merupakan reputasi masa depan. Ada pepatah yang mengatakan, gajah mati meninggalkan gading, harimau mati meninggalkan belang, dan manusia mati meninggalkan jejak digital.
”Banyak cerita terkait jejak digital. Ada orang ber-IP tinggi namun ditolak lamaran kerjanya gara-gara jejak digital. Kemudian, ada karyawan yang dipecat dari pekerjaannya juga karena jejaknya di media sosial. Untuk itu, berhati-hatilah dalam bermedia sosial,” tegas co-founder Jelajah.live itu.
Diskusi virtual yang dipandu oleh moderator content creator Rio Siswanto itu juga menampilkan narasumber Resha Radyan Pranasthiko (fasilitator nasional), Oka Aditya (research analyst), dan manajer artis Dede Fajar Kurniawan selaku key opinion leader.