Kian meluasnya jejaring sosial yang dapat dilakukan masyarakat melalui media sosial ternyata masih saja diikuti dengan beragam aksi penodaan terhadap ruang digital. Selain lewat berbagai celoteh urakan, ujaran kebencian, juga komentar negatif yang jauh dari norma kesopansantunan.
Status warganet Indonesia sebagai pengguna digital paling tidak sopan se-Asia Tenggara, yang dipublikasikan Microsoft dari hasil studi tahunan: Civil, Safety and Interactions Online, tahun 2020, pun seolah membuka mata terhadap kondisi warganet kita yang sebenarnya.
”Dari hasil survei Microsoft itu, apa sebenarnya yang salah? Apakah karena kita gagap dengan transformasi digital saat ini, sehingga mengalami shock culture atau karena hal lain?” tanya Komisaris PT Visitama 17 Jakarta Bambang Barata Aji, saat tampil dalam webinar literasi digital bertema ”Berbahasa yang Benar dan Beretika di Ruang Digital” yang digelar Kementerian Komunikasi dan Informatika untuk masyarakat Kabupaten Sukoharjo, Jawa Tengah, Jumat (20/8/2021).
Aji Barata, sapaan karibnya, pun mengurai pendapat. Selain shock culture, faktor lain yang bisa dirunut sebagai pemicu masifnya ketidaksopanan warganet di media sosial, di antaranya adalah momentum dua pemilihan presiden terakhir, yakni Pilpres 2014 dan 2019.
Dalam dua momentum politik nasional itu, menurut Aji, tren polarisasi meningkat, khususnya di media sosial. Permainan politik identitas menjadi salah satu pemicu, dan ranah politik sontak menjadi sangat personal, emosional, dan tak lagi rasional.
“Bisa kita lihat dari momentum pilpres lalu, selama masa kampanye medsos tak pernah sepi dari komentar-komentar berbau ujaran kebencian satu sama lain. Dan, itu terus berulang setiap hari hingga banyak pengguna digital terpengaruh untuk saling mencaci satu sama lain,” kata Aji dalam webinar yang diikuti ratusan peserta itu.
Menurut Aji, ketidaksopanan di ruang digital – khususnya medsos – seolah benar-benar membalik predikat Indonesia sebagai bangsa Timur yang hidup dengan tata krama dan nilai-nilai luhur soal etika. Sebelum masifnya teknologi satu dasawarsa terakhir, pertentangan-pertentangan itu sangat jarang ditemukan.
“Tetapi 10 tahun yang lalu, kita semua mungkin juga tidak pernah membayangkan bakal seperti ini situasinya. Seperti halnya dulu kita tidak pernah berpikir bahwa pesan makanan tak perlu keluar rumah, tapi bisa lewat smartphone,” urai Aji Barata, yang juga seniman wayang dan budayawan Banyumas itu.
Pada situasi seperti inilah, Aji mengatakan pentingnya mengintensifkan pendidikan etika digital bagi para pengguna, meski banyak tantangan dan kendala di lapangan.
“Tantangan menanamkan etika digital, salah satunya karena keragaman kompetensi masing masing individu yang bertemu di ruang digital,” tambahnya. Selain itu, edukasi etika digital juga mesti berhadapan dengan kondisi yang mungkin sudah akut, di mana ruang media digital sudah disesaki dengan berbagai konten negatif.
Aji Barata juga mengungkapkan, penerapan bahasa keseharian dalam media sosial belakangan ini memantik keprihatinan tersendiri karena terpengaruh berbagai gaya bahasa yang tak sejalan dengan perkembangan tata bahasa baku yang telah ditentukan.
”Tidak standarnya penggunaan bahasa di media sosial dipengaruhi pula oleh teknologi serta ragam budaya, bahasa daerah, serta serapan bahasa di media sosial lain dari bahasa asing yang begitu masif,” jelasnya.
Aji mengakui, kalangan anak muda sudah fasih menciptakan ”standar” sendiri dengan berbagai kosakata baru ataupun singkatan kata yang tidak baku atau standar, yang sering digunakan saat berinteraksi melalui media sosial.
Sementara itu, narasumber berikut dalam webinar: Pengawas Sekolah Kementerian Agama Kabupaten Sukoharjo Bahren Ahmadi mengatakan, para pengguna internet selayaknya bisa belajar memanajemen diri dalam interaksinya di media sosial.
“Jangan mem-posting apa pun saat sedang dalam kondisi emosi, dan sebisa mungkin hindari penggunaan huruf-huruf kapital, serta jangan gampang terpengaruh oleh informasi yang diterima,” kata Bahren.
Dimoderatori oleh Anneke Liu, webinar ini juga menghadirkan narasumber konsultan brand dan komunikasi Satriyo Wibowo, fasilitator nasional Nuralita Armelia, serta Astari Vern selaku key opinion leader.