Jumat, Desember 27, 2024

Kiat bikin konten agama, jangan asal nutur, nulis dan nutul

Must read

Di masa lalu sebelum era digital hadir, untuk bisa menjadi pendakwah andal, seorang ustad, dai atau pendeta mesti jago bertutur. Narasi yang disampaikan mesti cerdas, bernas, dengan kutipan dalil ayat yang sahih dan akurat. Dulu, kalau tidak kuat ilmu agamanya, tidak sembarang orang berani tampil sebagai ustad, dai atau pendeta. Apalagi untuk tampil di televisi dan radio. Tidak sembarangan.

Tetapi di era serba digital sekarang, asal seseorang jago public speaking, lalu bisa menyampaikan satu-dua ayat saat tampil di layar televisi atau acara beraudiens besar, ditambah lagi pintar melucu dan menghibur – ini syarat acara agama yang diterima publik sekarang – niscaya ia bakal cepat popular sebagai pendakwah agama. Risikonya, sang dai kerap keliru saat menyampaikan pesan agama, dan ini kasusnya sudah berulang di televisi.

Tak heran, Kementerian Agama dan MUI pernah bikin daftar 200 ustad/kiai yang lolos verifikasi layak berdakwah untuk menyaring dan mencegahnya. ”Masalahnya, MUI boleh bikin daftar, tapi audiens penonton punya selera sendiri. Itu yang kini berkelanjutan dan belum tuntas, antara selera audiens dengan syarat yang dimau pemerintah,” ujar Dr. Andre Rahmanto, dosen Komunikasi FISIP Universitas Sebelas Maret (UNS) Solo .

Andre mengurai bahasan tersebut dalam webinar literasi digital yang digelar oleh Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kominfo) untuk masyarakat Kabupaten Kudus, Jawa Tengah, 29 Juni lalu. Dalam diskusi daring bertajuk ”Membuat Konten Agama yang Positif di Media Sosial” dan diikuti ratusan peserta dengan beragam usia dan profesi, itu Andre tak tampil sendiri.

Dipandu moderator Oony Wahyudi, Andre didampingi tiga pembicara lain, yakni: Kholilul Rochman (Ketua Asosiasi Pengasuh Pesantren), Muh. Taufik (fasilitator dari Kaizen Room), dan Pendeta Jacky Manuputy (Sekretaris Umum Persekutuan Gereja Indonesia). Hadir pula kreator konten Ade Wahyu, yang tampil sebagai key opinion leader.

Satu hal, riuhnya media sosial oleh konten agama dengan beragam tujuan yang mempengaruhi perilaku kehidupan nyata, membuat Kementerian Kominfo tidak tinggal diam. Dalam catatan Kholilul Rochman, sampai tahun 2020 Kemenkominfo bahkan telah memblokir 20.453 akun atau situs yang menyebarkan konten bertema radikalisme dan terorisme bernuansa agama. Juga, ada yang bertema konservatif (67,2%), moderat (22,2%),  dan liberal (6,1%), serta khusus membahas tema Islami tapi bernuasa menyebar kebencian 4,5%.

”Itu membuktikan, isu agama, politik dan kini ditambah kesehatan serta seksualitas, menjadi sumber hoaks dan konten negatif yang berkembang cepat dan perlu dicegah dan tanggulangi bersama. Bukan hanya menjadi tanggung jawab pemerintah,” ungkap Kholilul.

Andre Rahmanto menyampaikan pesan penting buat para kreator konten yang memproduksi konten-konten digital bernuansa agama. Kata Andre, pertimbangkan manfaat dan sebisa mungkin konten agama itu, kalau dalam agama Islam, ”rahmatan lil alamin”. Rahmat untuk semesta.

”Itu sifatnya universal. Karena itu, hati-hati kalau mesti menggunakan dalil ayat agama, baik muslim maupun non-muslim, mesti yang memberi pencerahan untuk semua. Jangan menyitir ayat yang bisa ditafsirkan menghasut dan memicu keharmonisan beragama,” tutur Andre.

Zaman memang berkembang, berubah sangat cepat, dan hal itu mempengaruhi dunia dakwah agama. Karena itu, para kiai, ustad dan pendeta, dalam menyampaikan pesan dakwah mesti lebih akurat. Juga dalam bertutur pesan, menuliskan dalil ayat agama, tidak boleh lagi asal ’nutul’ (mengetukkan jari) saat berdakwah.

”Zaman sekarang tulisan dan gambar, juga ucapan digital, disaksikan oleh audiens yang sangat luas dan bersifat lintas agama. Menjaga toleransi dan sikap respon audiens yang berbeda sangat menjadi pertimbangan sebelum membuat dan menyebar konten agama di dunia digital. Mikirnya mesti dua kali, karena yang nonton bukan sesama umat. Tapi bisa umat tak seiman yang juga punya nurani yang perlu dijaga,” urai Kholilul.

Jadi? Pendeta Jacky Manuputy menitip pesan. Karena kita ingin terus bersaudara, bersama, satu negara yang merdeka, mari kita menjaga etika dan tata krama beragama yang saling menghormati, serta saling menjaga perasaan.

”Kalau kau sakit dicubit, jangan suka mencubit. Jaga ketenteraman hidup bersama dalam naungan Bhinneka Tunggal Ika, dan saling jaga rasa, tenggang rasa sesama umat beragama,” ujar Pendeta Jacky, menutup diskusi.

- Advertisement -

More articles

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini

- Advertisement -

Latest article