Jumat, November 15, 2024

Pandemi naikkan makan sayuran

Must read

Oleh Suryo Winarno

Pandemi telah membuat susah pemerintah pusat dan daerah, sebagian pengusaha, dan masyarakat. Karena pandemi merusak bangunan ekonomi dan kesehatan masyarakat. Namun demikian, dampak pandemi mesti segera dipulihkan agar cepat kehidupan berjalan normal meski butuh waktu.

Dua bulan (Juli-Agustus 2021) upaya pemulihan kesehatan melalui PPKM Darurat menghasilkan perbaikan kesehatan signifikan. Hal ini ditunjukkan infeksi Covid-19 harian berkurang dari 56.000 kasus (15/7) menjadi 5.436 kasus (30/8) dan orang meninggal dunia turun dari 2.069 (27/7) menjadi 568 (30/8). 

Dampak pandemi

Apa dampak pandemi terhadap konsumsi makanan? Sebelum pandemi (1 Jan – 15 Mar) konsumsi eskrim 20.000 unit, jus dan sirup 50.000 unit, coklat 700.000 unit, permen 200.000, bijih-bijian 210.000 unit, roti 190.000 unit. Setelah pandemi (16 Mar-10 Juni) konsumsi jenis makanan sama 10.000 unit, 40.000 unit, 600.000 unit, 190.000 unit, 200.000 unit, 185.000. 

Mengikuti data, terjadi penurunan 50 persen konsumsi eskrim, 20 persen konsumsi jus dan sirup, 14 persen konumsi coklat, 5 persen konsumsi permen, 5 persen konsumsi biji-bijian, turun 3 persen konsumsi roti. Sehingga penurunan konsumsi tertinggi terjadi pada konsumsi eskrim.

Sementara konsumsi sayuran segar meningkat dari 20.000 unit menjadi 400.000 unit, bumbu instan 250.000 menjadi 650.000, makanan siap saji dari 580.000 menjadi 1.200.000, penyedap rasa dari 410.000 menjadi 750.000, makanan instan 400.000 menjadi 700.000, daging segar 190.00 menjadi 290.00, mie 590.00 menjadi 900.000, biskuit dan kue kering 400.000 menjadi 600.000, makanan beku 600.000 menjadi 900.000.

Sehingga kenaikan konsumsi sayuran segar 1000 persen, bumbu instan 160 persen, makanan siap saji 105 persen, penyedap rasa 83 persen, makanan instan lain 75 persen, daging segar 53 persen, mie instan 53 persen, buskuit dan kue kering 50 persen, makanan beku 50 persen (BPS dan marketplace, 2020). 

Dengan demikian kenaikan paling tinggi konsumsi sayuran segar sebagai sumber imunitas dari serangan corona. Setelah sayuran adalah makanan siap saji dan makanan instan lain.

Bila dibandingkan konsumsi makanan yang meningkat dengan konsumsi makanan yang berkurang, ternyata kenaikan konsumsi lebih tinggi dibandingkan konsumsi yang berkurang. Karena terkait kebutuhan imunitas yaitu sayuran segar sebagai sumber vitamin alami (A, C, D, E) era pandemi. 

Sungguh masyarakat perkotaan cukup cerdas menghadapi pandemi Covid-19 dengan merubah pola makan sehari-hari berkat sosialisasi masif.

Jika dilihat lebih teliti peningkatan konsumsi makanan terjadi pada makanan pokok dan bernutrizi tinggi (sayuran segar, daging, makanan beku) dan hambatan mobilitas guna mencegah infeksi. Sedangkan penurunan konsumsi makanan cenderung pada makanan cemilan seperti eskrim, kue kering, roti, permen.

Hal ini dilakukan untuk menjaga berat badan mereka tidak naik karena tubuh tidak banyak bergerak mengingat bekerja, belajar, beribadah, dan berwisata di rumah (WFH). Bekerja ke kantor hanya beberapa kali dalam satu minggu.

Kelas menengah atas

Pandemi Covid-19 ternyata tidak mengganggu pertumbuhan jumlah kelas menengah ke atas di Indonesia. Implikasinya, mereka bisa melakukan konsumsi makanan pilihan yang menjaga kesehatan percernaan dan imunitas tubuh mengingat punya pendapat lebih. 

Karena itu, cukup cerdas dan tidak mengagetkan masyarakat kelas menengah ke atas kalau mereka bersikap demikian ditengah masyarakat kelas menengah ke bawah mengalami kemunduran, pengangguran, kemiskinan, kesengsaraan, dan kematian saat pandemi.

Selama pandemi jumlah kelas atas (elite) memiliki pertumbuhan tertinggi 176 persen dengan pengeluaran Rp 7.500.000 per bulan. Sementara komunitas berpengaruh (effluent) memiliki pertumbuhan kelompok 150 persen dan pengeluaran Rp 5.000.000 – 7.500.000 per bulan. 

Kelas menengah ke atas (upper midle) mempunyai pertumbuhan komunitas 113 persen, dengan pengeluaran Rp 3 -5 juta per bulan. Kelas menengah (midle) tumbuh 64 persen, dengan pengeluaran Rp 2-3 juta per bulan. Masyarakat kelas menengah bawah (emerging midle) punya pertumbuhan 14 persen dengan pengeluaran Rp 1,5 – 2 juta per bulan. 

Golongan masyarakat aspirant dan poor memiliki pertumbuhan kelompok negatif. Masing-masing kelompok tumbuh minus 27 persen dan 56 persen, dengan pengeluaran Rp 1.000.000 – Rp 1.500.000 per bulan dan dibawah Rp 1.000.000 per bulan (Boston Consulting Group).

Itulah keunikan perilaku dan pola konsumsi makanan masyarakat Indonesia yang terbagi menjadi tujuh golongan berdasarkan pengeluaran per bulan. Masyarakat kelas atas dengan penghasilan tinggi bisa memilih makanan menyehatkan. Semoga bisa diikuti masyarakat kelas bawah meski penghasilan terbatas.

Suryo Winarno, Praktisi Ekonomi di Industri Makanan.

- Advertisement -

More articles

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini

- Advertisement -

Latest article