Jumat, November 15, 2024

Guru dan ortu mesti lebih cakap digital agar tak dikerjai siswa di kelas online

Must read

Serangan pandemi Covid-19 satu setengah tahun terakhir ini terbukti berdampak dahsyat. Bukan cuma meluluhlantakkan tatanan perekonomian dan kehidupan sosial masyarakat, tapi juga menohok sektor pendidikan nasional kita. Betapa tidak?

Pandemi ternyata telah membuat 530 ribu sekolah dari tingkat TK hingga perguruan tinggi tutup operasionalnya. Juga membuat 68 juta siswa dan mahasiswanya dipaksa bermigrasi dari pola offline, tatap muka langsung di kelas, menjadi pola baru pendidikan online yang berbasis digital secara daring tanpa harus hadir di kelas.

”Ini jelas mengundang pertanyaan, siapkah SDM dan infrastruktur sekolah menyambut perubahan mendadak yang tak bisa dihindari lagi ini?” Itulah pemantik diskusi yang dilontarkan dosen Fak. Psikologi Universitas Sarjana Wiyata, Taman Siswa Yogyakarta Ryan Sugiarto, dalam webinar literasi digital yang digelar Kementerian Kominfo dengan Debindo untuk masyarakat Kabupaten Pemalang, 30 Juni lalu.

Harian Kompas dan beberapa lembaga lain sudah melakukan riset kolaborasi untuk menjawab pertanyaan terkait kesiapan itu. Hasilnya menunjukkan, hanya 5 persen sekolah dan PT yang mengaku sangat siap dalam hal SDM dan infrastruktur IT menyambut migrasi itu. Selebihnya, 40 persen menjawab siap, 17 persen menjawab biasa saja, 35 persen mengaku kurang siap, dan 4 persen tidak siap.

”Khususnya di sekolah pedesaan, jaringan internet masih jadi kendala. Itu di luar faktor SDM guru senior atau kelompok kasepuhan yang masih gaptek dan butuh waktu untuk belajar cepat menguasai teknologi baru untuk bisa menjalankan peran sebagai pengajar bagi para siswa. Ingat, ada pekerjaan rumah: baru 82 persen desa di Indonesia yang sudah dialiri internet. Artinya, ada 18 persen yang belum teraliri internet. Itu problem,” papar Ryan.

Selain faktor kecakapan digital dan infrastruktur teknologi digital, menurut Ryan, ada beberapa dampak lain yang muncul sebagai konsekuensi dari sistem pembelajaran secara daring. ”Tidak bisanya akses internet, tidak semua guru sudah bisa langsung mengajar memandu siswanya dengan cara online. Belum lagi dengan mengajar dari rumah, guru yang belum cakap digital tidak mudah berkoordinasi dengan rekan guru yang cakap untuk sharing kecakapan. Begitu juga tidak bisa koordinasi dengan pimpinan sekolah. Ini masih jadi kendala di lapangan,” ujar Ryan, yang juga mengelola Yayasan Inovasi Desa, sehingga paham realitas pendidikan di pedesaan.

Yang juga menarik, mengajar secara offline dan online buat yang belum biasa jelas butuh usaha keras. Tantangan keterampilan kinerjanya beda. ”Butuh ketekunan dan kesabaran guru mengajar secara online karena papan tulisnya digital. Beda dengan di kelas online, kalau nulis materi mesti mengawasi teknis penulisan anak, niru secara digital. Itu pun belum semua anak bisa nulis di papan digital,” jelas Angraini Hermana, pembicara lain yang seorang praktisi pendidikan.

Ryan dan Anggraini menyampaikan paparan menarik dalam webinar bertopik ”Literasi Digital untuk Pendidikan Online”, yang diikuti ratusan peserta lintas profesi dari murid, guru dan beragam profesi lain dengan beragam usia dari seputar Kabupaten Pemalang. Dipandu oleh moderator Dannys Citra, tampil juga pembicara lain: Maryanto (aktivis dialog antar iman dan konsultan IT), juga Adhi Wibowo (praktisi pendidikan), serta musisi Nanda Chandra yang tampil sebagai key opinion leader.

Problem lain yang muncul di kelas online, selain efektivitas kecakapan belajar dalam pemberian materi secara online, adalah pola komunikasi dan pengawasan proses belajarnya sendiri yang belum efektif. ”Kita mengajar secara serius dan konsentrasi dengan materi yang memadai. Tapi kadang siswa mematikan panel video, jadi kita tidak tahu siswa masih mandi, makan atau malah dalam perjalanan di mobil. Pernah kejadian, saya ngajar mahasiswa. Kelasnya sudah selesai, tapi si mahasiswi belum juga keluar kelas virtual. Baru belakangan akhirnya buka komunikasi, ternyata selama kuliah dia malah belanja ke Indomaret,” papar Ryan, berbagi pengalaman.

Lantas, bagaimana solusinya agar guru atau dosen tak kecolongan lagi? Yang jelas, menurut Adhi Wibowo, pembicara lain, kecakapan digital guru, siswa dan peran orangtua, mesti disinergikan secara kolaboratif. Karena dalam realitas pembelajaran online, ketiganya mesti saling terlibat dan makin meningkatkan keterampilan digitalnya, agar guru tidak bisa dikerjai siswa di kelas.

”Orangtua juga mesti terlibat mengawasi proses belajarnya di rumah. Dengan begitu, hasil akhir proses belajar online merupakan karya lintas segitiga emas itu,” ujar Adhi.

- Advertisement -

More articles

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini

- Advertisement -

Latest article