Dunia maya menjadi tempat segala macam orang mengakses informasi, mulai dari mencari hiburan, silaturahmi, berbisnis, hingga sekadar mengamati perilaku satu orang terhadap orang lainnya.
Sifat dunia maya yang tak bisa lepas dari orang anonim atau pengguna tanpa identitas, jelas membuatnya bak pisau bermata dua. Jika digunakan secara baik maka akan bermanfaat, namun jika digunakan serampangan bisa mencelakakan diri sendiri dan juga orang lain.
”Jadi, tolong selalu ingat, tidak semua orang menyukai apa yang kamu lakukan di dunia maya,” ujar penulis konten Jaring Pasar Nusantara Murniandhany Ayusari saat menjadi pembicara dalam webinar literasi digital bertema “Cerdas dan Bijak Berinternet: Pilah Pilih Sebelum Sebar” yang digelar Kementerian Kominfo untuk masyarakat Kabupaten Kebumen, Jawa Tengah, Rabu (15/9/2021).
Dalam webinar yang diikuti ratusan peserta itu, Murni menuturkan, ketika ada pengguna lain dunia maya tidak menyukai yang kita lakukan, dia bisa melakukan banyak hal yang tidak kita ketahui, dan membahayakan kita.
”Seperti halnya tidak semua komentar negatif orang lain dapat kamu terima. Tidak semua orang juga bisa open minded dalam mencerna sesuatu yang kamu pamerkan di dunia maya hari ini. Justru itu bisa menjadi bumerang bagimu suatu saat,” tegas Murni.
Murni menambahkan, jejak digital dunia maya bak masih menjadi misteri yang harus selalu diwaspadai para pengguna digital hari ini. Melindungi jejak digital menjadi suatu kebutuhan yang tak bisa dimungkiri lagi. Untuk itu, data pribadi penting dilindungi, karena makin rentan disalahgunakan oleh pihak yang tidak bertanggung jawab.
Akibatnya, membuat pemilik data pribadi dapat terseret tindak kejahatan atau kriminal ataupun terkena diskriminasi atau prasangka buruk yang tak pernah dibayangkan sebelumnya. ”Melindungi jejak digital ini menjadi kemampuan diri atau kelompok, untuk bisa menentukan dan menjaga, apakah data pribadi itu boleh atau tidak diketahui pihak lain,” ujarnya.
Murni menambahkan, hal yang perlu dipahami untuk menjaga privasi, caranya adalah dengan mengontrol ketat secara berkala. Misalnya, pengaturan privasi akun media sosial, menyeleksi permintaan pertemanan, jangan pernah membagikan lokasi di media sosial, lalu tinjau privasi sebelum dan sesudah melakukan aktivitas digital.
”Selalu tanyakan pada diri sendiri saat berada di dunia maya, kita ingin berbagi dengan siapa? Apakah data yang terkait itu rahasia? Apakah kita ingin terlacak? Apakah aplikasi yang kita gunakan mengakses data pribadi?” urai Murni.
Menyambung diskusi, Dewan Pengawas Perum Produksi Film Negara (PFN) Rosarita Niken Widiastuti menuturkan, ada sejumlah tantangan yang harus dihadapi di era digital. Antara lain kondisi volatile (lincah), di mana kita berada pada lingkungan yang menuntut agar kita selalu bisa beradaptasi dengan cepat terhadap perubahan yang tidak terduga.
Era digital juga menyebabkan suatu keadaan yang sering uncertain atau tidak menentu, karena lingkungan membutuhkan kita untuk cepat mengambil tindakan dalam situasi yang tidak pasti. ”Era digital juga membuat kita berhadapan dengan suatu kondisi yang kompleks, di mana lingkungan menjadi sangat dinamis dan saling ketergantungan dengan kondisi sekitar,” jelas Niken.
Selain itu, era digital juga menciptakan keadaan yang ambigu, ketika muncul kondisi yang terjadi sering di luar kebiasaan, sehingga orang harus senantiasa berpikir ’outside the box’ atau di luar wilayah keahliannya.
Niken mengingatkan, penemuan internet terbukti membawa sejuta manfaat bagi manusia. Namun dampak negatif internet juga tak sedikit. Seperti kecanduan internet, perjudian, pornografi, pencurian data pribadi, bullying hingga kecenderungan suka mengabaikan orang sekitar. ”Internet juga memiliki ancaman-ancaman yang tak akan selesai, seperti hoaks, radikalisme, prostitusi online, hingga perdagangan narkoba lebih masif,” kata mantan Sekjen Kementerian Kominfo ini.
Menurut Niken, survei daring Mastel yang diikuti oleh 1.156 responden pada 2017 menunjukkan, media sosial, aplikasi komunikasi, dan situs telah menjadi saluran tertinggi penyebaran hoaks dalam bentuk tulisan, gambar, dan video.
Sebagai saluran penyebaran hoaks, media sosial telah menyumbang 92,40 persen, aplikasi chatting menyumbang 62,80 persen, situs web menyumbang 34,90 persen, radio 1,2 persen, e-mail 3,1 persen, media cetak 5 persen, dan televisi 8,7 persen. ”Sedangkan bentuk hoaks yang paling sering diterima berbentuk tulisan 62,10 persen, gambar 37,50 persen, dan video 0,40 persen,” ujar Niken.
Dipandu oleh moderator Ni Luh Puspa, webinar kali ini juga menghadirkan narasumber Farid FM (dosen Universitas Sahid Surakarta), M. Solahudin (Ketua Pergunu Kebumen), serta Putri Juniawan selaku key opinion leader.