Minggu, November 24, 2024

Konten negatif, semakin biasa, semakin samar bahayanya

Must read

Pelaksana Pengelola Pendidikan Seksi Pendidikan Madrasah Kantor Kementerian Agama Demak Salma Munawwaroh mengungkapkan, hingga saat ini masih banyak pengguna digital yang tak bisa membedakan mana konten negatif dan positif. Kualitas konten itu kian tersamar akibat banjir informasi ruang digital yang tanpa batas setiap hari.

“Banyak sekali jenis konten negatif yang mungkin masih sulit dibedakan oleh para pengguna digital yang masih berusia muda, terutama kalangan pelajar,” kata Salma saat menjadi pembicara webinar literasi digital bertema ”Adaptasi Empat Pilar Literasi Digital untuk Siswa” yang digelar Kementerian Kominfo untuk masyarakat Kabupaten Demak, Jawa Tengah, Senin (20/9/2021).

Dalam webinar yang diikuti 300-an peserta itu, Salma menuturkan, konten negatif dapat berwujud dalam bentuk pornografi, SARA, hoaks, penipuan, perdagangan ilegal, narkoba, perjudian, radikalisme aksi kekerasan, bullying, malware hingga phising

Salma mengungkapkan, mewaspadai konten negatif artinya menanamkan bekal pada kalangan muda atas informasi, juga dokumen elektronik yang memiliki muatan yang melanggar kesusilaan, perjudian penghinaan, pencemaran nama baik, pemerasan juga pengancaman serta penyebaran berita bohong yang bisa menyesatkan hingga mengakibatkan kerugian pengguna digital lain.

“Pahamkan kepada generasi muda, bahwa konten negatif itu tidak begitu saja lahir, tapi sengaja dibuat  biasanya untuk mencari uang, mencari kambing hitam, menjatuhkan kelompok politik tertentu dan memecah belah persatuan,” tegas Salma.

Salma lantas menyebut temuan mengejutkan dari hasil survei Mastel tahun 2019, yang menunjukkan masih banyak pengguna media digital kesulitan membedakan mana informasi hoaks dan bukan di ruang digital. 

Dalam survei itu disebutkan, sebanyak 62,3 persen responden berpendapat bahwa berita hoaks adalah berita benar, hanya karena mereka mendapatkan berita tersebut dari seorang yang mereka percaya. Selain itu survei tersebut menemukan sebesar 24,6 persen responden berpendapat mereka percaya hoaks hanya karena kalimatnya disusun secara meyakinkan. 

Tak hanya itu, 28,5 persen responden juga percaya hoaks karena mereka terpengaruh pilihan politik dan 3,6 persen responden berpendapat percaya dengan hoaks karena terbawa ujaran kebencian dan sebanyak 12,1 persen responden percaya hoaks karena terpengaruh atau terbawa penggiringan opini dan narasi penyebarnya.

“Kondisi itu tentu membutuhkan sikap bersama, agar hoaks sebagai bagian konten negatif dapat diperangi secara efektif,” tegas Salma.

Salma menuturkan, literasi digital menjadi hal tak dapat dielakkan bagi generasi muda yang hampir seluruhnya kini merupakan pengguna ruang digital. “Generasi muda perlu dibekali secara kontinyu kompetensi bagaimana menyaring informasi di platform digital, agar bermanfaat,” ujarnya.

Salma menambahkan, memanfaatkan secara positif ruang digital bisa diajarkan dengan langkah sederhana. Misal, menggunakan caption yang baik, tidak berbau SARA, memberi inspirasi kepada orang lain, menggunakan hastag untuk menautkan informasi spesifik yang berkaitan, menggunakan metode follow atau subscribe untuk mengikuti setiap update pesan dari teman, menggunakan metode engagement seperti like pada setiap postingan yang positif dan inspiratif, atau menggunakan metode command dalam melakukan interaksi satu sama lain dengan menyertakan mention akun lain.

Narasumber lain dalam webinar kali ini, dosen DKV Universitas Sahid Surakarta Ahmad Khoirul Anwar mengungkap pentingnya literasi digital karena tuntutan ‘everything’s digital’ pada masa ini. “Di tengah derasnya arus informasi digital open sky, menjadi penting untuk menggalakkan literasi digital secara cerdas tepat dan cermat,” ujar Khoirul.

Literasi digital menjadi hal wajib guna mencegah kebocoran keamanan dan terhindar dari kejahatan digital. Menurut Khoirul, alasan pentingnya literasi digital juga untuk proteksi (safeguard) atas perlunya kesadaran terhadap keselamatan dan kenyamanan pengguna internet seperti data keamanan pribadi, keamanan diri, serta privasi individu.

“Literasi penting karena menyangkut juga soal right (hak), meliputi hak kebebasan berekspresi yang dilindungi, hak atas kekayaan intelektual, berserikat dan berkumpul,” tegasnya.

Literasi, lanjut Khoirul, menjadi hal krusial ditanamkan untuk pemberdayaan atau empowerment. “Ini semacam pemberdayaan pengguna internet agar mampu menghasilkan karya yang produktif, termasuk jurnalisme warga dan kewirausahaan serta hal-hal yang berkaitan dengan informasi,” urainya.

Literasi yang kuat akan menghindarkan pengguna dari besarnya ancaman bahaya dalam jaringan. Mulai dari malware, phising, piracy, cyberstalking, juga cyberbullying. “Selain itu perlu diingat soal keamanan digital, sehebat-hebatnya menyimpan informasi di jaringan digital, masih ada risiko terakses masyarakat umum,” ujarnya.

Urgensi literasi digital yang kuat, kata Khoirul, dilatari sejumlah motivasi utama pengguna media sosial. Pengguna umumnya berharap dari media sosial dapat memperkuat jaringan sosial, mencari teman yang baik, mengembangkan usaha dan mencari koneksi bisnis untuk meningkatkan perekonomian.

Webinar yang dimoderatori Nabila Nadjib ini juga menghadirkan narasumber pegiat social media analyst Dinda Citra Azalia, Kepala Kantor Kementerian Agama Kabupaten Demak, Ahmad Muhtadi, serta Sonny Ismail selaku key opinion leader. (*)

- Advertisement -

More articles

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini

- Advertisement -

Latest article