Ruang diskusi di era digital menjadi semakin luas dan tidak terbatas, namun tetap diperlukan literasi digital ketika berinteraksi di ruang tersebut. Itulah topik yang dibahas dalam webinar literasi digital yang diselenggarakan oleh Kementerian Komunikasi dan Informatika RI untuk masyarakat Kabupaten Klaten, Jawa Tengah, Rabu (18/8/2021).
Literasi digital merupakan program nasional yang tengah dikebut pemerintah Indonesia dalam mendukung percepatan transformasi digital. Literasi tersebut meliputi digital culture, digital ethics, digital skill, dan digital safety. Diharapkan dengan menanamkan wawasan tersebut dapat menciptakan masyarakat yang cakap dalam menggunakan dan memanfaatkan teknologi informasi dan komunikasi.
Diskusi dipandu oleh Rara Tanjung (entertainer) dan diisi oleh empat narasumber: Jota Eko Hapsoro (founder Jogjania.com), Didik Budi Santoso (presiden direktur Metranet), Rizqika Alya Anwar (head of operation PT Cipta Manusia Indonesia), dan Maryanto (konsultan IT). Selain itu juga ada Dwi Apri (content creator) sebagai key opinion leader dalam diskusi.
Jota Eko Hapsoro memantik diskusi dengan melihat ruang digital sebagai tempat yang tak terbatas dalam melakukan aktivitas secara online, salah satunya diskusi. Ruang digital mengizinkan siapa pun untuk berdiskusi, baik melalui video conference, group di media komunikasi bahkan media sosial.
Parameter atau topik diskusi di ruang digital sangat beragam dan dapat dilihat dari trending topic yang ada di media sosial ataupun video yang banyak dibicarakan. Secara tidak langsung media sosial menjadi trendsetter apa yang sedang dibicarakan publik.
Di ruang-ruang kecil diskusi itu apa pun bisa dibicarakan tanpa terbatas tempat dan waktu. Namun tak hanya diskusi, potensi kejahatan di ruang digital menjadi ancaman yang dapat mewarnai ruang digital.
“Ruang diskusi selain menjadi ruang bertukar pikiran juga terdapat sisi negatifnya. Bisa jadi ada hoaks dan ujaran kebencian di dalamnya. Terjadinya perubahan tata bahasa dan gaya bahasa di ruang diskusi dapat memicu kesalahpahaman komunikasi. Teks yang dituliskan bisa jadi diartikan dengan makna lain oleh lawan bicara, apalagi jika tidak sadar ada saltik atau typo setelah mengunggahnya. Kehati-hatian di ruang publik perlu diperhatikan agar tidak menyinggung orang lain,” ujar Jota.
Platform media digital yang memiliki fitur kolom komentar juga bisa menjadi ruang diskusi. Sehingga perlu diingat bahwa kolom komentar bukan ring tinju. Artinya, jangan sampai digunakan untuk ujaran kebencian, hoaks, dan permusuhan.
“Selain itu di ruang komentar juga jangan sampai membagikan data pribadi, sebab ada potensi orang yang bisa menyalahgunakannya dan menargetkan kita sebagai korban dalam kejahatan siber,” imbuhnya.
Bahkan review dan ulasan di era digital bisa menjadi ruang diskusi baru yang bisa mempengaruhi orang lain dalam mengambil keputusan. Contohnya di Google Local Guide di mana review tidak hanya sekadar memberikan rating berupa bintang, tetapi juga bisa memberikan ulasan baik dan tidaknya suatu tempat, jasa pelayanan, produk dan lain sebagainya. Review dan ulasan di saat yang dapat meningkatkan kepercayaan dan menurunkan rating.
Oleh karena itu, lanjut Jota, dalam diskusi, yang paling penting adalah mampu menyeleksi. Ketika berkomentar tidak asal menulis tanpa tahu kebenaran atau justru menimbulkan kegaduhan. Saat membaca ulasan atau memberi ulasan juga seharusnya disampaikan dengan jujur. Kemudian positif dan inspiratif. “Apa yang disampaikan di ruang diskusi paling tidak disampaikan dengan cara yang positif. Ketika memberikan kritik pemerintah disampaikan dengan santun,” tutur Jota.
Bagi content creator, sambung Jota, ketika berbagi konten harusnya juga menyampaikan hal yang positif dan inspiratif. “Ketika terkait konten game misalnya, harus memperhatikan bahasa yang digunakan karena yang menikmati konten itu ada orang di bawah umur,” ujarnya.
Narasumber lain Didik Budi Santoso menambahkan, budaya digital sudah tidak bisa dihindari lagi. Bahkan menurutnya hampir sebagian besar masyarakat Indonesia telah cakap dan cukup cakap dalam menggunakan perangkat digital. Namun ia menggarisbawahi, tidak semua pengguna teknologi dan internet itu cerdas dan cermat.
Dalam webinar ini, Didik menitikberatkan tema diskusi pada penipuan online yang banyak sekali ditemukan melalui ruang-ruang diskusi. Cakap, cerdas, dan cermat dalam bermedia digital itu penting, sebab berdasarkan catatan kepolisian RI banyaknya aktivitas online mempengaruhi tingkat kejahatan siber. Bisa jadi kejahatan itu berupa phising, pengubahan tampilan situs, gangguan sistem, carding, dan lain sebagainya.
Aktivitas online yang cukup meningkat pada pandemi Covid-19 salah satunya adalah transaksi jual beli online lewat lokapasar, toko daring, dan e-commerce. Penipuan di bidang ini pun sangat banyak terjadi, sehingga memahami platform belanja online sangat diperlukan.
“Masyarakat sangat bergantung menggunakan internet karena perubahan pola gaya hidup ‘di rumah saja’, sehingga memaksa kita untuk go virtual termasuk dalam hal jual beli. Namun, sekali lagi, selain kecakapan juga diperlukan kecerdasan dan kecermatan saat menggunakan internet dan fasilitas yang diberikan di dalamnya,” jelas Didik.
Agar aman berjualan online yang sudah membudaya ini, Didik memberikan tips: pengguna harus paham siapa penjualnya, detail barangnya apakah sesuai yang dicari. Kredibilitas penjual dapat dilihat dari ulasan yang diberikan oleh konsumen-konsumen sebelumnya. Lebih baik menggunakan alat bayar yang official seperti debit atau credit card, transfer bank atau rekening bersama, hal ini perlu dikelola dengan baik untuk menghindari penipuan digital.
“Ketika melakukan transaksi melalui chat dengan pemilik toko pastikan untuk menyimpan bukti chat, agar jika terjadi sesuatu yang tidak sesuai kesepakatan bisa menjadi bukti. Pastikan melindungi data informasi saat melakukan transaksi dan melaporkan toko online atau merchant jika memang melakukan pelanggaran pada fitur yang disediakan oleh aplikasi penyedia,” tutupnya. (*)