Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kominfo) menggelar webinar literasi digital untuk masyarakat Kabupaten Blora, Jawa Tengah, dengan tema “Hidup Pintar di Tengah Dunia Digital”, Kamis (14/10/2021). Melalui kegiatan ini pemerintah mengajak masyarakat untuk meningkatkan kecakapan literasi digital yang meliputi digital ethics, digital culture, digital skills, digital safety.
Dipandu oleh presnter Yesica, diskusi diisi oleh empat narasumber: Choirul Fajri (kepala biro kemahasiswaan Universitas Ahmad Dahlan), Yusuf Mars (content creator Padasuka TV), Ibnu Novel Hafidz (creative entrepreneur), Siti Muharnik (aktivis perempuan NU). Serta Brigita Ferlina (news presenter) sebagai key opinion leader.
Narasumber Choirul Fajri dalam pemaparannya kembali menegaskan bahwa potensi kemajuan teknologi perlu disikapi dengan bijak. Apalagi melihat penetrasi penggunaan internet di Indonesia cukup tinggi, maka kemajuan teknologi harus bisa dimanfaatkan untuk memfasilitasi kehidupan.
Akan tetapi juga perlu diketahui, bahwa kondisi penggunaan teknologi dan internet yang tinggi sekaligus menjadi bumerang. Kebiasan mengaktualisasikan segala sesuatu ke ruang digital dan budaya “klik” bisa menjadi hal fatal jika tidak disikapi dengan bijak.
Faktanya, di ruang digital banyak jenis kejahatan yang mengintai setiap penggunanya. Kecerobohan asal klik bisa menjadi celah sebuah tindak kejahatan. “Di dunia yang semakin bebas ini kita bebas mengaktualisasikan diri, tapi bukan berarti bebas sebebas- beasnya. Bisa jadi kita sedang diawasi dari berbagai aktivitas digital yang kita lakukan. Mungkin saja ada data pribadi yang tidak sengaja terpublikasi karena minimnya kesadaran keamanan digital,” ujar Choirul Fajri kepada 180-an peserta webinar.
Di ruang digital kejahatan seperti penipuan, malware, phising, hoaks, pembajakan, dan tindakan yang menyalahi hukum lainnya banyak ditemukan. Maka dari itu perlu kesadaran apakah dalam menggunakan teknologi informasi dan komunikasi sudah dilakukan dengan bijak dan aman.
“Sebab hanya masing-masing pengguna yang bisa melindungi data diri dan keamanan data. Adapun layanan media yang digunakan hanya memberikan fasilitas. Individu yang bisa mengontrol tindakan digital kita dan mengupayakan keselamatan data diri dengan berbagai caranya,” imbuhnya.
Strategi menhindari kejahatan di media sosial dimulai dengan melindungi data di akun platform digital dengan password yang kuat, menggunakan kombinasi angka huruf dan simbol yang tidak mudah ditebak. Lalu melapisi keamanan dengan mengaktifkan autentikasi dua langkah agar akun tidak mudah dibobol.
“Perilaku digital yang harus dipahami agar aman dari percobaan kejahatan digital adalah dengan bijak memilih dan memilah informasi yang akan diunggah. Mampu menentukan mana informasi yang hanya bisa dikonsumsi oleh pribadi dan mana informasi yang bisa dibagikan dan diketahui oleh publik. Karena sekali lagi, keamanan data dan perangkat kita itu hanya bisa dilakukan oleh penggunanya,” tegasnya.
Narasumber lain, Yusuf Mars menambahkan bahwa menghadapi transformasi digital perlu diimbangi dengan kecakapan digital baik dalam menggunakan perangkatnya pun mengoperasikan aplikasi-aplikasi di dalamnya. Ada media sosial, aplikasi percakapan, dompet digital, lokapasar dan sebagainya yang bisa dimanfaatkan namun perlu memahami fitur-fiturnya untuk bisa digunakan dengan bijak.
Media sosial misalnya ia tidak hanya sebagai sarana untuk bersosialisasi tetapi lebih dari itu, medsos bisa menjadi sarana menyebarkan informasi, memperluas jejaring, sarana berbisnis, bahkan edukasi.
“Sebagai masyarakat digital kita bisa menangkap peluang sebagai content creator, menawarkan jasa desain dan alih bahasa, berbisnis, atau jual stok foto. Namun juga harus dipelajari menjadi pembuat konten juga harus memerhatikan etika dalam bermedia sosial,” jelas Yusuf Mars.
Ada standar etika sebagai content creator, di antaranya menjaga privasi diri dan privasi orang lain, menghindari membuat konten hoaks, tidak menyinggung SARA. Melainkan hanya membuat dan menyebarkan hal positif. “Fenomena “viral” menjadi jebakan bagi content creator sebab tak sedikit demi menjadi viral justru membuat konten yang menyalahi etika dan hukum.
“Kita di masyarakat harus pandai mentransformasikan skill, menyampaikan ekspresi yang benar-benar bermanfaat bagi orang lain. Ada proses etika yang harus kita pegang ketika membuat konten, ada budaya dan norma yang harus dipahami,” pungkasnya.