Setiap manusia memiliki hak untuk mengungkapkan pendapat, ide, opini, perasaannya agar didengar oleh pihak lain dalam usaha untuk memenuhi keinginannya yang hakiki. Kebebasan berekspresi merupakan bagian dari Hak Asasi Manusia (HAM).
Namun, ada baiknya jika kebebasan ini tidak melanggar hak pihak lain, khususnya kepentingan publik. Kondisi ini terjadi akibat ruang publik berubah atau telah bergeser ke ruang digital.
“Di ruang digital orang mengekspresikan ide-ide dan opini secara bebas melalui ucapan, tulisan, maupun komunikasi bentuk lain, asalkan dilakukan dengan tidak melanggar hak orang lain,” ucap Dien Noviany Rahmatika, Dekan Universitas Pancasakti Tegal, saat menjadi narasumber webinar literasi digital yang digelar Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kominfo) untuk masyarakat Kabupaten Brebes, Jawa Tengah, Rabu (6/10/2021).
Bendahara Ikatan Akuntan Indonesia Jawa Tengah yang juga aktif di IWAPI, HIPMI, serta PKK Kabupaten Brebes ini menjelaskan kebebasan di ruang digital juga bisa dilihat dari fenomena politik saat ini.
Politik yang dinilai selama ini hanya berupa materiil seperti kampanye, debat, pemilu telah bergeser ke politik yang bersifat immaterial, yakni perebutan isu, perebutan wacana hingga perebutan prioritas opini publik atau agenda publik itu sendiri.
Ruang publik khususnya media sosial pada sistem demokrasi adalah suatu kewajiban, di mana ruang publik ini menjamin adanya pemerintahan yang demokratis. “Semakin terbukanya ruang publik pada era Internet ini secara teori diyakini mampu meningkatkan partisipasi politik warga negara,” kata dia.
Diakui, media sosial seolah-olah dianggap sebagai ruang yang “serba boleh”, “serba bebas” dan mampu menjadi “wadah ekspresi” manusia modern tanpa terikat norma dan nilai.
“Media sosial dianggap sebagai ranah yang mampu mewadahi semua aspirasi, pendapat, bahkan aksi politik. Sebagian besar pengguna media sosial dapat menjelmakan diri sebagai juru kampanye dan mengkonstruksi pesan politik melalui berbagai cara,” tambahnya.
Narasumber lainnya, Ahmad Wahyu Sudrajad (Peneliti & Pendidik PP Al Qadir Yogyakarta), menyatakan merujuk pada pendapat Mandibergh, media sosial adalah media yang mewadahi kerja sama di antara pengguna yang menghasilkan konten (user generated content).
Yang pasti, media sosial dapat dijadikan ruang publik untuk menyampaikan aspirasi masyarakat terkait pendapat, saran maupun kritik terhadap jalannya sistem demokrasi dan menjaga toleransi.
Artinya, media sosial akan ikut berperan dalam masyarakat guna memberikan informasi serta pencerahan yang akan mengikis suatu konflik.
Dipandu moderator Zacky Ahmad, webinar bertema “Media Sosial Sebagai Sarana Meningkatkan Toleransi dan Demokrasi” ini juga menghadirkan narasumber Krisno Wibowo (Pemimpin Redaksi Media Online Swarakampus.com), Ziaulhaq Usri (Teacher at Global Islamic School 3 Yogyakarta), Idza Priyanti (Bupati Kabupaten Brebes), Ganjar Pranowo (Gubernur Provinsi Jawa Tengah) sebagai Keynote Speech dan Adinda Daffy (News Presenter) sebagai Key Opinion Leader.