Pertemuan budaya tradisional dengan teknologi digital melahirkan digitalisasi kebudayaan. Konsep pemanfaatan teknologi informasi dan komunikasi (TIK) ini, bertujuan meningkatkan daya guna dalam bidang kebudayaan, terutama dalam hal pengelolaan, pendokumentasian, penyebarluasan informasi dan pengetahuan dari unsur-unsur kebudayaan.
Agar potensi yang ada didayagunakan dan dikembangkan lagi untuk kepentingan kesejahteraan ekonomi dan transfer pengetahuan dari unsur budaya yang ada, maka pemanfaatan TIK menjadi hal yang mutlak untuk dilakukan.
Demikian benang merah pendapat staf pengajar Universitas Diponegoro Semarang Agustin Rina Herawati dalam webinar literasi digital bertema ”Pertemuan Budaya Tradisional dengan Kemajuan Teknologi Digital” yang dihelat Kementerian Kominfo untuk masyarakat Kota Semarang, Jawa Tengah, Jumat (9/7/2021).
Diskusi virtual yang dipandu moderator Bobby Aulia itu, juga menghadirkan narasumber Frida Kusumastuti (dosen Universitas Muhammadiyah Malang), Rahmat Afian Pranowo (Fasilitator Nasional), Muhammad Mustafied (Ketua LPPM UNU Yogyakarta), dan Aditya Suryo selaku key opinion leader.
Rina menyatakan, digitalisasi budaya saat ini telah banyak dilakukan baik oleh pemerintah maupun sejumlah kalangan. Misalnya digitalisasi seni budaya gamelan (e-gamelan) oleh Universitas Dian Nuswantoro Semarang.
”Contoh lain, yaitu aplikasi digital angklung, e-book kebudayaan, iWOW (Indonesia World of Wonder), digitalisasi bahasa Sunda, kamus Jawa, bahkan digitalisasi sistem ekonomi bidang kuliner seperti ‘opensnap’ juga ada,” sebut Rina.
Menurut Rina, digitalisasi budaya setidaknya memiliki empat unsur pembentuk. Masing-masing adalah: Knowledge of Management System, E-Tourism, E-Business, dan E-Government.
Fungsi Knowledge Management Systems pada kebudayaan adalah bagaimana mengalihkan tacit knowledge, yaitu suatu pengetahuan yang personal, spesifik, dan umumnya susah diformalisasi dan dikomunikasi kepada pihak lain menjadi explicit knowledge, yaitu pengetahuan yang diformulasikan, disajikan dalam bentuk tulisan misalnya peraturan, buku-buku dan literatur.
Kemudian E-Tourism terkait pengeloaan atas potensi pariwisata di daerah-daerah yang sudah maju biasanya selalu memanfaatkan teknologi informasi untuk promosi dan transaksi jual-beli produk wisata. Dengan demikian konten yang terdapat pada E-Tourism selama ini sudah termasuk mendigitalisasikan unsur-unsur kebudayaan.
Berikutnya adalah konsep E-Business. Pada perspektif kebudayaan adalah kegiatan transaksi jual-beli barang dan jasa yang dilakukan secara otomatis melalui perangkat elektronik atau mengandalkan jaringan internet.
Dan yang terakhir, sebut Rina, ialah E-Government. Proses pengembangan dan pemanfaatan E-Government perlu mengakomodir unsur-unsur kebudayaan. Salah satu contoh konkret adalah memuat informasi tentang objek wisata budaya melalui website E-Government.
Narasumber fasilitator nasional Rahmat Afian Pranowo mencoba mengenalkan dua konsep mendukung kelestarian budaya dengan ikut menjaga budaya.
Pertama, konsep ”Cultural Experience”, merupakan pelestarian budaya yang dilakukan dengan cara terjun langsung ke dalam sebuah pengalaman kultural.
Kedua, konsep ”Cultural Knowledge”, yaitu pelestarian budaya yang dilakukan dengan cara membuat suatu pusat informasi mengenai kebudayaan yang dapat difungsionalisasi ke dalam banyak bentuk.