Jumat, Desember 20, 2024

Siap jadi terbaik dalam ketidaksempurnaan?

Must read

#SeninCoaching:

#Lead for Good: Be at your imperfect best no matter what!

Mohamad Cholid, Practicing Certified Executive and Leadership Coach

Kegigihan Malala Yousafzai mengupayakan kesetaraan pendidikan bagi perempuan di lingkungan puaknya telah memicu kemarahan kelompok militan Tehrik-i Taliban Pakistan. Kelompok ini, entah berdasarkan penafsiran ajaran siapa, memaksakan paham bahwa perempuan dilarang bersekolah. Mereka mengedarkan ancaman dan mewujudkannya.

Hari itu, 9 Oktober 2012, dalam perjalanan bus pulang sekolah bersama teman-temannya, di Distrik Swat, Malala ditembak.

Satu peluru menembus kepala Malala, remaja 15 tahun, anak Ziaudddin Yousafzai, aktivis pendidikan yang mendirikan Khushal Girls High School and College di Mingora. Dalam keadaan kritis tidak sadarkan diri, Malala dibawa ke Rawalpindi Institute of Cardiology. Setelah kondisi membaik, ia diterbangkan ke Inggris, memperoleh rawatan lanjutan di Queen Elizabeth Hospital, Birmingham.

Beberapa pekan setelah kasus penembakan Malala, 50 ulama Pakistan mengeluarkan fatwa menentang pihak yang memerintahkan upaya pembunuhan tersebut. Sejumlah negara, para aktivis HAM dan pembela hak perempuan juga mengecam kelompok Tehrik-i Taliban.

Sebagaimana sudah Anda ketahui, Malala kemudian, pada usia 17 tahun, memperoleh Hadiah Nobel Perdamaian 2014 – berbagi dengan Kailash Satyarthi – atas upaya menegakkan hak-hak anak. Malala kemudian menjadi sosok penting di dunia, memperoleh sederet penghargaan dari pelbagai negara dan lembaga-lembaga terhormat.

Malala menjadi international brand atau icon untuk pendidikan (anak-anak dan perempuan) – satu dari sederet kontribusinya kemudian antara lain mendirikan sekolah untuk para pengungsi Syria di Lebanon. Ia simbol keteguhan memperjuangkan hak anak dan perempuan. Untuk itu, Malala telah mempertaruhkan nyawanya, dengan elegan.

Kabarnya, saat si penembak naik ke bus yang dinaiki Malala dan kawan-kawannya serta mengancam akan membunuh semua penumpang kalau tidak ada yang menunjukkan mana Malala, dengan berani Malala berdiri dan menyebutkan identitasnya, “Aku yang kau cari.”   

Bagaimana Malala bisa tumbuh dengan ketangguhan mental seperti itu? Jawaban Ziauddin, ayahnya, layak direnungkan oleh semua orang, utamanya kalangan orang tua. “Jangan tanya apa saja yang saya lakukan. Tanyalah apa yang tidak saya lakukan. I did not clip her wings, and that’s all,” katanya.      

Mengingat kembali Malala bisa sama pentingnya seperti mengenang sederet sosok lain di tempat dan waktu yang berlainan, termasuk sejumlah unsung hero di Indonesia yang pada gugur saat merebut dan mempertahankan kemerdekaan.

Di setiap wilayah, pada waktu berbeda, dan kaitan peristiwa dengan magnitude tidak sama, selalu ada orang-orang yang rela mempertaruhkan jiwa dan harta mereka, demi kehidupan bersama yang lebih baik. Mereka semua seperti mengepakkan sayap masing-masing. Ada yang kemudian memperoleh kemasyhuran di dunia. Ada juga yang mungkin lebih dikenal di Langit, sementara di Bumi kurang mendapatkan perhatian.

Mereka mempertaruhkan hidup, menghayati proses pergulatan menegakkan nilai yang mereka yakini, barangkali juga tidak begitu risau dengan hasil akhir.

Pada galibnya, kita ini setiap hari juga seperti bertaruh.

Para pengusaha mempertaruhkan uang (pribadi dan pinjaman) membangun bisnis. Para petugas yang membersihkan dinding luar gedung-gedung bertingkat bergelantungan tinggi, mempertaruhkan keselamatan diri demi tetap bisa mencari nafkah.

Kalangan orang yang terlibat politik transaksional mempertaruhkan reputasi, indikasinya juga integritas dan keimanan mereka, demi memperbesar pundi-pundi atau menebus kemewahan hari ini, alasan resmi mereka “demi dana kampanye.”

Kongsi antara kekuasaan dan uang, sebagaimana Anda bisa simak di sejumlah negara, sering kali lantas menghasilkan proyek-proyek besar yang tidak relevan dengan realitas ekonomi dan kehidupan – bahkan bisa muspro (sia-sia), kalau tidak menimbulkan keburukan.  

Serangan AS ke Irak akibat halusinasi para petinggi di Washington adanya proyek senjata pemusnah massal Saddam Hussein, disokong para pengusaha (pemasok perkakas militer) kroni Presiden George Bush, adalah satu contoh. Anda tentunya bisa menemukan di negara berbeda munculnya sejumlah mega projects yang indikasinya dipaksakan oleh kepentingan segelintir orang, semacam proyek George Bush menghancurkan Irak.

Situasinya mirip, biasanya dikerjakan dalam suasana seperti “kuda-kuda yang berlari kencang terengah-engah, memercikkan api, menimbulkan kepulan debu…” (pinjam istilah dari QS Al-Adiyat [100]). Mencerminkan ketergesaan, keangkuhan (tidak menimbang pemangku kepentingan yang lebih luas), dan menimbulkan impresi perilaku orang-orang yang ingkar, menggoncang tatanan keadaban.  

Apakah itu bisa masuk kategori “mempertaruhkan masa depan di altar hari ini” (demi kepentingan jangka pendek, mengorbankan kebaikan-kebaikan hari esok)?

Dalam menyikapi ketidakpastian, termasuk di dalamnya adalah ilusi kekuasaan dan uang, hari-hari ini orang-orang bertaruh, dengan niat dan cara masing-masing. Pertanyaannya, apakah pertaruhan itu worth it?

Pertanyaan senada dapat ditujukan juga kepada diri kita sendiri. Apakah yang kita pertaruhkan hari ini layak, apakah juga selaras dengan nilai dan tujuan hidup kita?

Kita bisa sama-sama melihat begitu banyak orang gagal, bahkan tercemar reputasinya, akibat ketergesaan, nafsu meraih keuntungan jangka pendek, sembrono, angkuh, dan ingkar.

Agar terhindar dari jebakan ilusi, Anda perlu membangun support system, bermitra dengan orang-orang yang bisa ngomong tanpa tabir kepentingan. Merekalah yang bisa melihat dengan jernih di tengah kecamuk, a constant eye in the storm – istilah dari Lifestorming, buku Alan Weiss dan Marshall Goldsmith (2017).

Selain membentuk support system tersebut, bersediakah Anda membuktikan dengan tindakan nyata secara berkesinambungan, bahwa perbaikan perilaku sehari-hari lebih penting ketimbang sukses yang manipulatif?

Penggagas, pemilik, dan para pendukung mega projects yang kontroversial (seperti serangan AS ke Irak dan proyek-proyek yang suasananya mirip dengan itu) misalnya, bisa saja merasa seolah-olah menang. Tapi, apa benar mereka hidup senang, ketika publik kemudian mengetahui tipu muslihat di dalamnya?

Selanjutnya penting pula menyadari kapan berhenti bertaruh. Para penjudi buruk biasanya bertindak seperti orang kesurupan, meniru babi buta, terus bertaruh sambil berkhayal memperoleh keberuntungan. Mempertaruhkan resources (duit, waktu, dan kecerdasan) untuk urusan yang bahkan tampak mulia, ada kalanya perlu tahu kapan injak rem. Karena nyatanya ada saja hal-hal di luar kendali kita.

Di sini diperlukan keseimbangan eksistensial. Cara setiap orang berbeda, karena punya pengalaman fisik, batin, dan kadar spiritualitas tidak sama. Kuncinya adalah setiap hari berupaya menjadi diri kita yang terbaik, “Be at your imperfect best no matter what!”, kata Marshall Goldsmith. Mau membuka “sayap-sayap untuk terbang” atau menyalakan daya hidup, dalam ketidaksempurnaan sebagai manusia.   

Mohamad Cholid is Member of Global Coach Group (globalcoachgroup.com) &Head Coach at Next Stage Coaching.

  • Certified Executive Coach at Marshall Goldsmith Stakeholder Centered Coaching
  • Certified Marshall Goldsmith Global Leadership Assessment (GLA 360)
  • Certified Global Coach Group Coach & Leadership Assessment.   

Alumnus The International Academy for Leadership, Germany.

Books: https://play.google.com/store/search?q=senincoaching&c=books

(http://id.linkedin.com/in/mohamad-cholid-694b1528

Please contact Ibu Nella + 62 85280538449 for consultancy schedule

- Advertisement -

More articles

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini

- Advertisement -

Latest article