Jika saya menemuinya di ruang dosen di UGM, kadang ia menerima telepon dan bicara tentang hal-hal yang sangat teknis tentang proses belajar-mengajar di sekolahan itu; bahkan juga tentang fasilitas sederhana di sana yang terganggu; mereka harus melaporkannya kepada Yahya karena ia ketua yayasan.
Begitulah, setiap Kamis sore ia pulang ke kampung halamannya untuk mengajar bahasa Inggris dan mengurus hal-hal lain di sekolah di sebuah kecamatan di Jawa Tengah. Saya tidak tahu apakah kewajiban mengajarnya tetap ia amalkan setelah ia menjabat mendiknas. Ia kemudian memperluas yayasannya dengan mendirikan Universitas Peradaban yang kini cukup maju, dengan menekankan studi tentang isu-isu lokal.
Optimismenya, juga keikhlasannya — misalnya berupa kesediaan mengajar di SMP kecil itu — tampaknya didorong oleh semangat dan pemahaman keagamaannya yang bersahaja. Ia melihat dan menempatkan diri sebagai warga Muhammadiyah biasa, dengan segenap concern mashurnya dalam urusan pendidikan, dan menjalankan kewajiban-kewajiban standar seperti diajarkan oleh ajaran baku.
Ia tak pernah tertarik membahas isu-isu besar dalam agama, apalagi tentang seluk-beluk fikih yang bersumber dari literatur abad pertengahan.
Baginya, beragama berarti menjalankan saja semua perintah pokok agama sebisa-bisanya, lalu terus berusaha menjadi manusia terbaik, yaitu manusia yang berguna untuk sebanyak mungkin orang lain.
Dalam hampir semua hal — apalagi dalam isu khilafiyah keagamaan — ia cenderung memilih sisi yang mapan dalam suatu kontroversi. Ia, misalnya, mengikuti posisi mainstream dalam isu bunga bank.
Selama kuliah di Amerika ia menitipkan dana beasiswanya ke rekening bank Nono Makarim, karena takut pada tambahannya berupa interes. Ia hanya mau menerima dana sejumlah nominal beasiswa tersebut, dan merelakan bunganya kepada pemilik rekening yang dititipinya — yang dengan senang hati menerima hibah interes itu.
Begitu pula sikapnya dalam kontroversi di seputar disertasinya yang diterjemahkan dan diterbitkan oleh LP3ES Jakarta, berjudul “Bisnis dan Politik di Indonesia”.
Buku itu, yang dianggap banyak kemiripan dengan karya Richard Robison (Universitas Murdoch, Australia), memunculkan kehebohan politik. Ia mengungkap jalinan koneksi bisnis dengan kekuasaan. Bisnis para konglomerat bisa begitu besar, katanya, adalah berkat klientelisme dan patronase dari penguasa politik.