Banyak pengusaha besar yang jengkel pada pengungkapan itu, dan salah satunya sampai menggugat ke pengadilan: Probosutedjo, adik tiri Presiden Suharto yang di pertengahan 1980an itu sedang di puncak kekuasaan. Semua sahabatnya lebih dari siap untuk membelanya di pengadilan. Inilah peluang emas untuk menunjukkan bahwa kaum aktifis, civil society, tidak akan tinggal diam menghadapi tekanan politik yang menggunakan topeng hukum.
Barisan dirapatkan, konsolidasi dirapikan di Jakarta, dan kantor LP3ES dijadikan posko perlawanan. Risiko dari perlawanan ini dirasa tidak terlalu gawat, meski yang dihadapi tak kurang dari adik Presiden Suharto. Setidak-tidaknya, isunya adalah isu bisnis, bukan isu politik.
Sebagai pengacara bereputasi tinggi, Nono Makarim siap mengerahkan segenap pengetahuan dan pengalamannya sebagai corporate lawyer. Semangat kaum intelektual itu pun dilandaskan pada isu fundamental berupa kemerdekaan akademis. Semua bidang sudah terkooptasi dan dijinakkan.
Jika kemerdekaan akademis pun dibekuk, tak ada lagi prinsip dan keluhuran apapun yang tersisa di Indonesia. Gugatan terhadap disertasi Yahya Muhaimin memenuhi semua elemen itu; sebuah karya akademis yang mau digugat dengan tuntutan nilai uang yang tak mungkin dipenuhi, bahkan kalaupun penulis buku itu menjual seluruh aset keluarga besarnya.
Gugatan Probosutedjo tidak bisa ditafsirkan lain kecuali sekadar cara memiskinkan dan menyengsarakan penulis buku dan keluarganya, dan sikap kapoknya pasti akan membuat jera siapa saja yang mau coba-coba bikin ulah serupa.
Genderang perang dari barisan aktivis sudah ditabuh bertalu-talu, semua persiapan untuk perang legal sudah matang. Lalu terjadi anti klimaks. Yahya Muhaimin menyatakan minta maaf atas hal-hal yang ditulisnya, khususnya tentang Probosutedjo dan bisnis-bisnisnya.
Buku ditarik dari peredaran. Case closed. Hidup kembali berjalan dengan sepenuh kedamaian — terutama bagi Yahya Muhaimin dan keluarganya.
Kami di Jogja, yang mengikuti perjalanan kasusnya dengan berdebar dan emosional, ikut kecewa berat. Saya mendatangi Pak Yahya di kantornya di kampus UGM, dan ia dengan kalem menceritakan inti urusannya.
“Saya sudah siapkan semua dokumen pendukung untuk dihadirkan di pengadilan,” katanya, menyebut timbunan dokumen bahan disertasinya, yang semuanya masih tersimpan rapi. “Tapi kemudian ibu saya melarang (meneruskan perkara). Jadi saya hentikan (upaya perlawanan).”
Menurut Yahya, Nono Makarim termasuk yang sangat kecewa. “Tapi saya bilang pada Nono: saya ini orang desa, No. Saya bukan orang kota seperti kamu. Saya tidak terbiasa berkonflik seperti ini. Dan ibu saya melarang saya…”