Kepemimpinan seseorang dalam praktik sehari-hari antara lain ditentukan oleh kesanggupannya mengelola dengan cerdas dinamika keinginan dan kebutuhan – dua maksud baik yang bisa berbeda seperti siang dan malam.
Jabatan, pangkat, atau posisi akan mejen, atau jadi sekadar omong kosong dalam kemewahan fasilitas, tidak berfungsi, jika orangnya tidak mampu menguraikan kekusutan akibat tarik-menarik antara want dan need yang berkecamuk tak terkendali.
Kompetensi mengatasi chaos tersebut merupakan syarat wajib dalam memimpin organisasi bisnis, nonprofit, dan pemerintahan – juga untuk memimpin diri sendiri sebagai orang dewasa bermasyarakat.
Dilihat dari perspektif dinamika want dan need, kasus represi sosial di Wadas dan kepedihan publik lainnya terkait events berbeda, eskalasi persoalannya jadi makin pelik indikasinya akibat komunikasi (publik) yang belum diselenggarakan secara cerdas. Ada penggelembungan ego, pembenaran sepihak, lalu berupaya meniadakan atau mengkerdilkan eksistensi pihak lain.
Belakangan ini kita menyaksikan sejumlah institusi bisnis, nonprofit, dan pemerintahan dalam berinteraksi dengan publik sering merasa sudah berkomunikasi, tapi sesungguhnya mereka sekadar menggelontorkan kehendak sepihak lewat corong mainstream media maupun media sosial.
Bagian komunikasi publik di institusi-institusi sampai setingkat kementerian, apalagi lembaga kepresidenan, sepatutnya juga punya peran sangat penting, diharapkan mampu lebih matang mengolah realitas persoalan multidimensi hari ini.
Sejauh mana para key persons bidang komunikasi diberi peluang oleh institusi mereka untuk mengembangkan diri jadi lebih efektif, agar lebih dari sekadar juru bicara atau membangun citra bos? Bukankah mereka diharapkan mampu mengembangkan kualitas interaksi publik yang sustainable?
Pertanyaan itu timbul karena para pihak yang mestinya berkomunikasi efektif – seperti antara atasan dengan tim; antara organisasi dengan para pemangku kepentingan; antara penguasa dengan rakyat — ternyata lebih sering hanya mendapatkan ilusi, seolah-olah satu pihak sudah mengetahui keinginan pihak lain. Kondisi menyakitkan ini sudah demikian pervasive, melahirkan sederet kemelut dan frustasi.
Di tengah perkembangan teknologi komunikasi yang makin mengagumkan, dengan pilihan variasi perkakas yang boleh dibilang tanpa batas, kualitas komunikasi dan interaksi antar manusia malah mundur seperti di masa kolonial. Selain terjadi kegagapan berdialog, muncul pula kecenderungan penggunaan cara-cara primitif, mengandalkan gada dan kekuatan fisik.
Psikolog Marshall Rosenberg, pendiri the Center for Nonviolent Communication, lembaga nirlaba internasional, pada 1960-an sudah mengembangkan model Nonviolent Communication (NVC). Ini sebuah proses komunikasi “that help people to exchange the information necessary to resolve conflict and differences peacefully.”