Maka para gubernur (kecuali enam yang berhalangan hadir dan hanya mengutus wakilnya) bersama presiden menuang tanah dan air itu dalam guci besar. Sebuah simbol bahwa Ibukota baru adalah tanah bersama, milik semua suku di nusantara, dan sebuah ikatan kuat, sebuah persatuan dalam keberagaman.
Tanah menjadi semacam kesadaran spasial, tentang ruang hidup bersama, yang menghadirkan sebuah “political space” tentang konsep kebangsaan.
Sebuah potret yang beredar viral di media adalah adegan Presiden Jokowi yang duduk sendiri di depan tenda, yang dibangun khusus di tengah kepungan rimba bagi para pemimpin yang hadir di upacara itu. Dia seperti sedang merenungkan langkah-langkah besar untuk mengubah kawasan kosong itu menjadi sebuah Ibukota dalam dua dekade ke depan.
Saya melihat Jokowi yang duduk itu adalah seorang pemimpin dengan sebuah “purpose”, yang percaya keberagaman sebagai kekuatan. Nilai itulah yang mendasari visinya ke masa depan.
Sebuah kota yang dibayangkannya akan berdiri tegak di tengah kehijauan Kalimantan namun tak juga begitu jauh mengarah ke samudera. Sebuah kota yang cerdas secara teknologi, kota yang ramah kepada lingkungan, dan kota yang membahagiakan warga penghuninya. Sebuah tantangan berat di tengah ketidakmenentuan gerak politik dan ekonomi global di abad 21.
Melihat Jokowi duduk di depan tenda itu, saya tidak sedang membayangkan sebuah Ibukota yang akan dimulai pembangunannya dalam hari-hari ini. Saya membayangkan sebuah bangsa yang berani dan percaya diri: Indonesia.