#SeninCoaching:
#Lead for Good: Beware of suck up culture
Mohamad Cholid, Practicing Certified Executive and Leadership Coach
“Can you recall a time that someone overinflated the benefits of a particular aspects of a project in order to gain more support?” — Antonio Nieto – Rodriguez.
“Avoid self-righteousness like the devil – nothing is so self-blinding.” — Strategist B.H. Liddell Hart.
Ketika Kaisar Yongle pada 1421 memindahkan ibukota China dari Nanjing ke Beijing, ia tidak perlu mengundang para gubernurnya menginap di perkemahan melakukan ritual memulai proyek. Karena Beijing sudah menjadi kota sejak lama, bukan lahan kosong di kawasan hutan. Selain menugasi arsitek untuk menata ulang komplek istana kakaisaran seluas 72 hektar yang kemudian disebut Forbidden City (mulai 1406 selesai 1420, konon mengerahkan satu juta orang tenaga kerja), ada sejumlah proyek strategis yang mengiringinya, sekitar sepuluh tahun sebelum kepindahan.
Di antaranya memperkuat komando pertahanan wilayah utara, penjaga keamanan ibukota dan sekitarnya dari rongrongan suku-suku bangsa nomad. Untuk menopang kehidupan di Beijing, perlu kelancaran pasokan kebutuhan pangan dan logistik dari kawasan makmur di tepian Sungai Yangtze ke utara. Pelayanan angkutan tepian laut dari Semenanjung Shandong sejak tahun-tahun awal pemerintahan Yongle telah sukses direorganisasi dibawah kepemimpinan Panglima Armada Angkatan Laut Chen Xuan.
Jalur angkutan sungai di kawasan utara secara simultan direhabilitasi dan diperluas, juga di bawah komando Chen Xuan, sehingga tahun 1411 kapal-kapal angkutan bisa memasuki mulut Sungai Huang He di Shandong. Pada 1421, ketika Beijing menjadi ibukota negara, kemampuan angkutan logistik untuk memenuhi kebutuhan di sana mencapai 200 ribu ton lebih per tahun.
Kepindahan ibukota ke Beijing, sebagai upaya Yongle melakukan konsolidasi kekuasaan dan membangun China, mendapatkan dukungan tim yang kuat dan terlaksana secara cermat.
Membangun kembali Beijing, merehabilitasi jalur angkutan air Grand Canal, serta sejumlah ekspedisi ke luar negeri — mengirimkan 300 armada kapal besar ke Lautan India dan Afrika, dipimpin Laksamana Zheng He, sebagai proyek mengibarkan pengaruh dalam perdagangan luar negeri – membuktikan kekuatan kepemimpinan Yongle. Ia mampu mengerahkan ekonomi dan sumber daya manusia untuk mewujudkan proyek-proyeknya.
Yongle, generasi ketiga Dinasti Ming, kemudian dikenal sebagai salah seorang kaisar terhebat dalam sejarah China. Selain lihai mengatur strategi menghadapi lawan, salah satu keunggulan lainnya adalah kepiawaiannya di bidang human skills, hasil kegigihannya berlatih dengan para penasihat kerajaan sejak ia remaja – dalam sejumlah ketrampilan, ia melebihi semua saudaranya.
Hanya saja untuk menopang semua keinginan Yongle membangun supremasi China tersebut, ekonomi negara exhausted, kepayahan. Itu merupakan harga yang harus ditebus Yongle, berkuasa Juli 1402 – sampai Agustus 1424.
Human skills kelihatannya merupakan keterampilan yang tidak bisa ditawar wajib dikuasai oleh setiap orang yang dipercaya memimpin, di semua level (dari manajer yunior, direktur, sampai presiden atau kaisar), di organisasi apa pun, termasuk untuk mengepalai proyek-proyek, apalagi proyek kolosal.
Proyek mangkrak atau mengalami systemic failure lazimnya bukan disebabkan dimensi teknisnya kurang memadai, tapi akibat meremehkan dimensi manusia (termasuk di dalamnya adalah para stakeholder), plus melebih-lebihkan benefitnya agar dapat dukungan.
Para pimpinan proyek atau “pimpro” yang umumnya merupakan tugas simbolik dan terkait dengan jabatan resmi mereka di institusi, tendensinya kumoluhur, merasa selalu paling benar (hanyut dalam self-righteousness), memicu tumbuhnya budaya menjilat, sucking up culture. Ditambah dengan kebijakan dan eksekusi yang mengandalkan lebih banyak pada hard skills, terjebak pada urusan-urusan teknis, cenderung menomorduakan human skills, maka yang sering terjadi adalah keonaran mental.