Perilaku kumoluhur umumnya menyebabkan orang-orang baik dan pintar pada gagal, utamanya karena merasa sudah sukses. Indikasi kemalasan eksekutif mengembangkan human skills dapat disimak antara lain dari perilaku mudah marah, utamanya saat meeting, hanya karena terpicu oleh urusan remeh-temeh. Ada pula tendensi melakukan backstabbing.
Anda pernah bekerja di lingkungan seperti itu? Pada akhirnya semua itu menghasilkan tragedi, utamanya bagi para staf, pemegang saham, pemangku kepentingan, dan publik.
Kenyataan semacam itu sering tidak dapat dihindari, akibat proses rekruitmen dan kenaikan jenjang karir kebanyakan berfokus pada kemampuan teknis, hard skills, terkait pos pekerjaan atau jabatan. Mereka umumnya belum dilatih dalam human skills secara real time on the job, sesuai tantangan nyata sehari-hari, di antaranya komunikasi efektif, menyikapi perubahan secara cerdas, kemampuan merangkul perbedaan untuk meningkatkan efektivitas tim — semua hal yang selama ini disebut soft skill.
Kalaupun ada pelatihan leadership umumnya kebanyakan teori atau jargon kurang berenergi. Buktinya, dalam praktik sehari-hari masih belum efektif memimpin tim. Sebagaimana kata Marshall Goldsmith, #1 Executive Coach in the World, “the major challenge faced by executive today: NOT understanding the practice of leadership (know how) BUT practicing their understanding of leadership (show how).”
Sesungguhnya human skills tidak soft. Bahkan bisa sangat hard, utamanya bagi golongan yang terbiasa mengharapkan gratifikasi dengan bekerja pas bandrol. Karena penguasaan human skills memerlukan keberanian (intelektual, moral, dan bahkan spiritual) agar bisa bersikap rendah hati, mengakui ketidaksempurnaan diri, terbuka menerima masukan dan saran para pemangku kepentingan, berdisiplin, konsisten terus memperbaiki kompetensi sesuai realitas yang kita hadapi. Common sense? Ya, tapi belum common practice.
Human skills, seperti oksigen untuk hidup atau kebutuhan cash demi kelanjutan usaha, menjadi mutlak bagi siapa pun yang disebut atau mengaku pemimpin. Tentu kita tidak perlu mengembangkan kemampuan human skills seperti Kaisar Yongle – tatanan sosial dan realitas tantangan kita beda. Bahkan di antara para eksekutif dalam satu organisasi juga bisa tidak sama persis human skills yang perlu dikembangkan. Pengembangan human skills hari ini juga sudah lebih sistematis dan hasilnya bisa diukur setiap periode.
Syaratnya sederhana, tapi sering sulit dikerjakan, yaitu bersedia menjadi manusia biasa, selalu mengingat awal dan tujuan penciptaan kita, menjaga keseimbangan menggunakan executive brain – ini pemikiran level tinggi. Sebaliknya, menurut para pedanda, ulama, cendekiawan, pendeta, membiarkan diri hanyut dalam ilusi sukses dan keangkuhan itu, maaf, dikategorikan kelas rendahan.
Mohamad Cholid is Member of Global Coach Group (www.globalcoachgroup.com) & Head Coach at Next Stage Coaching.
Alumnus The International Academy for Leadership, Germany.
Books: https://play.google.com/store/search?q=senincoaching&c=books
(http://id.linkedin.com/in/mohamad-cholid-694b1528
Please contact Ibu Nella + 62 85280538449 for consultancy schedule