Sebuah kenang-kenangan …
Oleh Idrus F Shahab
Ini cerita tentang Jakarta sekitar tujuh dasawarsa silam. Ya, tatkala penduduk Jakarta belum lagi mencapai dua juta, trem masih merupakan kendaraan umum yang menghubungkan kampung-kampung yang mulai berubah di sepanjang Kampung Melayu – Tanah Abang – Glodok, dan bioskop-bioskop yang terletak di bilangan Mangga Besar dan Krekot memutar film-film yang dibintangi Kim Novak, Ray Rogers atau Elisabeth Taylor (dan Tarzan masih dibintangi Johny Weissmuller).
Hari itu, hari ke enam belas setelah imlek, atau hari kedua setelah Cap Go Meh. Di sebuah rumah di Pasar Lama Mester (kini Jatinegara), ada sebuah meja altar. Persis di seberangnya, tepatnya di depan papan nama dan foto-foto leluhur, para anggota keluarganya yang lebih tua membakar kertas doa dan persembahan. Di atas meja altar, tergeletak lima buah piring berisi aneka rupa kue manis dan buah-buahan, hasil tabungan keluarga selama beberapa bulan. Bahkan di antara asap hio yang semakin pekat, tampak sepasang ikan bandeng terhidang.
Bandeng ibarat ketupat dalam Lebaran: sajian favorit setiap orang yang merayakan Sin Cia atau Tahun Baru, dan –ini juga penting– merupakan persembahan khusus bagi para dewa dan leluhur. Dan mendapatkan bandeng terbaik merupakan buah perjuangan keras. Di tanah Betawi yang baru saja mengalami urbanisasi ini, tak ada tempat yang paling tepat buat memborong bandeng kecuali di Pasar Malam, di Jalan Toko Kaki Tiga, dekat Pancoran, Glodok.
Dalam sebuah cerita pendeknya, sastrawan Betawi Firman Muntaco menangkap sentimen orang yang tengah larut dalam hiruk-pikuk pasar malam itu. “Sincia tinggal dua hari lagi,” begitu ia mengawali ceritanya. Ratusan orang keluar dari sarangnya. Dari Tongkanpan, Jelaking, Roa Malaka, Penjaringan, Tiang Bendera, Pegareman, Pintu Kecil, Jembatan Lima dan sebagainya.
Ucapan Sin Chun Kiong Hie, Chiam Hok Siu bakal rame sedikit tempo lagi. “Duit mengalir tidak mengapa – asal Sincia bisa dicicipi dengan gembira, asal sembahyang samkhay bisa dilakukan dengan khidmat dan lengkap.” Buah-buahan yang mahal dibeli: apel, anggur, lengkeng –mudah-mudahan Cau Kun Kong, tepekong dapur itu mengasih keberkahan sepanjang musim.
Juga Cap Cay Sin, Malaikat Harta, kudu dihormati agar di tahun mendatang harta bertambah melimpah-limpah. Dan Mui Sin, Malaikat Pintu tidak boleh dilupakan agar keselamatan terjaga selama-lamanya. Demikian pula patung Dewi Kwan Im di atas meja Samkhay harus disoja (disembah), jika ingin Dewi Welas asih itu melimpahkan pengasihannya.