Sabtu, November 16, 2024

Ade Armando

Must read

Persis pada saat itu juga muncul gerakan-gerakan mahasiswa di luar kampus. Mereka mengambil gerakan yang sangat berbeda, yakni gerakan kiri. Eksperimen gerakan sosialis pun dimulai. Dari luar kampus.

Gerakan ini hanya sempat muncul sebentar hingga direpresi habis-habisan oleh rejim Orde Baru pada 1996. Sementara di kampus-kampus elit gerakan Islam semakin kuat, gerakan yang mengatasnamakan mahasiswa agak melemah.

Faksi kiri dalam gerakan mahasiswa menjadi semakin radikal. Banyak dari mereka melepaskan atribut mahasiswa dan menjadi organisator massa akar rumput.

Akhir-akhir kekuasaan Suharto, pelaku aksi-aksi mahasiswa tidak lagi terpusat di kampus-kampus elit. Banyak aktivis berasal dari kampus-kampus non-elit. Karakter gerakan pun berubah. Taktik di jalanan ketika melakukan demo pun berubah.

Jika pada masa-masa sebelumnya para pendemo mahasiswa cenderung menghindar dari bentrokan dengan aparat, maka dalam tiga tahun periode akhir Suharto, para pendemo justru mencari-cari cara bentrokan dengan aparat. Mereka mempersiapkan diri dengan baik — dengan bom molotov, ban-ban untuk dibakar, serangan terkomando, lengkap dengan rute evakuasi.

Banyak orang bilang, inilah pertama kali kehadiran “generasi tawuran” dalam demo-demo. Generasi ini tidak segan-segan melakukan kekerasan — baik terhadap aparat maupun terhadap lawannya.

Saya kira, kekerasan seperti bentrok fisik dan serangan kepada aprat keamanan sudah menjadi “repertoire” dalam aksi-aksi mahasiswa. Memang sebagian besar aksi mahasiswa bisa dilakukan secara damai — seperti gerakan #ReformasiDikorupsi misalnya. Namun itu pun tidak lepas dari kekerasan. Waktu protes-protes itu ada banyak insiden kekerasan yang melibatkan para demosntran dengan aparat.

Aparat keamanan pun terlihat semakin mempersiapkan diri untuk menghadapi para demonstran ini. Pemakaian air dan gas air mata menjadi sangat intensif untuk membubarkan massa. Juga pasukan-pasukan bermotor yang mobile untuk mengantisipasi kekerasan.

Akhir-akhir ini, ada juga fenomena yang lebih baru khususnya di Jakarta yaitu keterlibatan anak-anak sekolah menengah — SMA dan SMK — dalam demonstrasi-demonstrasi mahasiswa. Dan di lapangan, saya kira, mereka lebih keras lagi. Tidak jarang demo-demo berubah seperti menjadi ajang tawuran.

Sekalipun ‘repertoire’ gerakan itu berubah, ada yang tidak berubah, yakni para pemimpin-pemimpin demo ini. Para pelaku demo dengan kekerasan pada tahun 1990an ini sekarang menjadi pemimpin-pemimpin di negeri ini. Mereka duduk di DPR atau di lembaga-lembaga pemerintahan.

- Advertisement -

More articles

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini

- Advertisement -

Latest article