Jumat, Desember 27, 2024

Siapa masih nekad mempertaruhkan culture?

Must read

#SeninCoaching:

#Lead for Good: Why culture matters

Mohamad Cholid, Practicing Certified Executive and Leadership Coach

Kemeriahan festival dan mungkin juga pesta ternyata tidak hanya sah dinikmati orang yang masih hidup, tapi juga bagi yang sudah meninggal. Di Mexico City setiap tahun orang-orang mengerahkan dana dan kreativitas menyelenggarakan Dia de los Muertos, perayaan untuk anggota keluarga atau leluhur yang sudah berada di dimensi pasca kematian. It is about celebrating the lives of those who have passed away, kata mereka.

Itu menjadi dua hari libur di awal November. Belakangan perayaannya semakin spektakuler, konon mereka dapat inspirasi dari adegan pembukaan Spectre (2015), salah satu serial James Bond yang memperlihatkan action Daniel Craig memburu musuh dengan latar belakang arak-arakan Festival Kematian, Day of the Dead.

Bagi masyarakat berbudaya China di seluruh dunia, upacara penghormatan dan upaya-upaya memenuhi kebutuhan anggota keluarga yang sudah wafat juga dilangsungkan setahun sekali, itulah Qingming Festival atau populer juga disebut Cheng Beng – beberapa bulan sesudah Tahun Baru Imlek, tahun ini 5 April.

Upacara bersih-bersih kuburan ini lazimnya juga diiringi dengan kiriman semua hal yang mereka percayai sebagai kebutuhan hidup di seberang kematian. Di masa pandemi terakhir ini, kiriman dari keluarga bisa berupa satu paket keperluan menghadapi virus covid: ada vaksin, obat-obatan, masker, hand sanitizer, dan herbal – di Singapura satu paket harganya rata-rata S$ 3.80. Semuanya dalam bentuk kertas, bukan barang sungguhan, untuk kemudian mereka bakar.

Di tempat lain ada juga kiriman rumah, mobil mewah, uang, dan bahkan mistress (bagi yang masa hidupnya suka kelonan dengan “simpanan”), semuanya berupa kertas dibentuk dan diwarnai meniru aslinya dalam ukuran mini.  

Kepercayaan bahwa kematian merupakan event atau jembatan untuk melanjutkan perjalanan berikutnya, sudah ada sejak zaman ketika manusia hidup di gua dan kegiatan utamanya berburu.

Para antropolog menemukan kuburan-kuburan manusia Zaman Batu yang terserak di Eropa dan Asia berisi bekal untuk menjalani kehidupan lanjutan, ada senjata untuk berburu, tempat makanan, dan barang-barang berharga lainnya. Suku Bangsa Indian di Benua Amerika menyebut dimensi kehidupan pasca kematian sebagai Padang Perburuan Abadi.

Di komunitas agama-agama yang tumbuh kemudian, termasuk di Islam, yang relatif paling “muda” dibanding kepercayaan lain, ada juga tradisi ziarah kubur mendoakan keluarga atau orang tua yang sudah wafat agar memperoleh kemuliaan dari Tuhan. Lazimnya, selain membersihkan makam kegiatannya didominasi doa, tanpa pesta – karena tradisi ini juga dimaksudkan untuk mengingatkan diri bahwa kematian itu sebuah keniscayaan.

Itulah belief, keyakinan yang tertanam dalam benak. Apa kaitan semua itu dengan leadership dan organisasi (bisnis)?

Belief merupakan bagian terpadu dalam jati diri umat manusia, mahluk hidup yang selalu butuh makna dalam meneguhkan eksistensinya. “The involuntary mental drive is the cognitive imperative; it is the almost irresistible, biologically driven need to make sense of things,” kata Andrew Newberg, psikolog yang merintis penelitian bidang brain science dan belief.

- Advertisement -

More articles

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini

- Advertisement -

Latest article